Alhamdulillah.
Dibolehkan bagi anda untuk meminjami uang kepada keluarga di atas yang sedang membutuhkan uang untuk merenovasi rumah mereka, kemudian untuk melunasinya diambilkan dari uang zakat yang mereka terima, karena posisi anda sebagai peminjam uang dan mereka yang mempunyai hutang, dan orang yang mempunyai hutang termasuk dari delapan golongan yang berhak menerima zakat, dan tidak disyaratkan harta zakat diberikan kepada mereka dahulu, jadi boleh langsung dibayarkan kepada peminjam uang langsung.
Semua ini jika memang terjadi hutang-piutang yang jelas antara anda dan mereka, demikian juga jika anda memberikan dana untuk merenovasi rumah mereka untuk menghentikan permusuhan sedang anda berniat kembalinya uang tersebut dari penerima zakat.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- mentarjih pendapat ketiga, yaitu; boleh membayarkan uang kepada yang berhak menerimanya –meskipun tidak ada permusuhan sebelumnya- dengan niat sebagai zakat dari salah seorang yang kaya, jika si kaya tadi meridhoi dan membolehkannya, maka uang tersebut sudah dianggap sebagai zakatnya.
Tiga opsi inilah yang boleh dalam masalah anda; yaitu: memberikan pinjaman yang jelas, memberikan harta kepada mereka untuk membantu sesama dengan niat uang itu akan kembali dari harta zakat, dan membayarkan hutang mereka dengan harta zakat seseorang yang memang mempunyai kewajiban membayar zakat, setelah dibayarkan baru dia dikabari bahwa zakatnya sudah dibayarkan.
Disebutkan dalam “Kasyful Qana’ ” (2/283): “Harta zakat yang dibayarkan kepada orang yang meminjami uang tanpa persetujuan si fakirnya, maka hukumnya tetap sah dan pemilik harta telah terbebas dari kewajiban membayarkan zakat; karena ia membayarkan zakat untuk melunasi hutang si fakir tadi, sama dengan ketika harta zakat tersebut dibayarkan kepada si fakir, baru si fakir membayarkan kepada anda”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Ishlah dzatil bain (memperbaiki hubungan sesama) adalah seperti jika terjadi permusuhan antara dua kubu, lalu ada pihak ketiga yang mendamaikannya, dan bisa jadi tidak bisa damai kecuali dengan mengeluarkan uang, dengan berkata misalnya: “Saya menjamin masing-masing di antara kalian mendapatkan 10.000 riyal, dengan syarat berdamai. Mereka pun menerima tawaran tersebut, maka pihak ketiga di atas boleh diberikan 20.000 dari harta zakat karena teleh mendorong kedua belah pihak untuk berdamai.
Dan jika ia melunasinya dengan hartanya sendiri maka tidak perlu diberikan harta zakat, karena ia mampu melunasinya sendiri dan bukan termasuk “gharim” (orang yang mempunyai hutang).
Akan tetapi hal tersebut perlu dirinci, tetap diberikan harta zakat dalam dua kategori:
1.Jika belum mampu membayar hutangnya, berarti ia mempunyai tanggungan dan masih perlu dibantu.
2.Jika ia sudah mampu melunasi hutangnya dengan berniat terbebas sebagai orang yang berhak menerima zakat untuk menutup pintu ishlah. Sebagaimana firman Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
( لاَ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ ) النساء/114؛
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia”. (QS. An Nisa’: 114)
Dan karena kondisi yang menuntut untuk segera dibayarkan.
(Syarh Mumti’: 6/233)
Beliau juga berkata:
“Para ulama mengatakan: Demikian juga bagi siapa saja yang melunasi hutang orang lain, jika berniat untuk menggugurkan maka ia boleh menggugurkan, meskipun tanpa seizinnya. Kecuali jika pelunasan hutang tersebut berkaitan dengan orang yang mempunyai hutang, maka ia tidak boleh menggugurkan tanpa izin, seperti: zakat dan kaffarat (denda); karena yang berkewajiban membayar zakat belum berniat juga tidak mewakilkannya.
Contoh:
Seseorang berkata: “Saya mau bergabung dengan para mujahid, maka berilah saya bagian tertentu dari harta zakat”. Saya sebelumnya telah mengetahui bahwa sahabatku tadi memiliki banyak harta yang wajib dizakati, maka orang tadi saya beri 30.000 sebagai zakat dari temanku, apakah bisa saya menggugurkannya?, jawabannya: tidak; karena bayar zakat harus dengan niat, dan disini yang wajib berzakat belum berniat, dan 30.000 tadi tidak akan hilang pahalanya shadahnya di sisi Allah diberikan kepada yang membayarnya.
Kalau seandainya saya memberitahu dia dengan berkata: “Saya telah membayarkan zakat anda”. Dan ia pun berkata: “Jazakallahu khoiran, saya mengizinkanmu untuk melakukan hal itu”. Madzab Hambali tidak membolehkan hal ini; karena tidak ada niat pada saat penyerahannya, namun pendapat yang benar adalah hal tersebut benar dan sah zakatnya, berdasarkan hadits Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- pada saat beliau menjaga kurma, posisi dia adalah wakil Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menjaga zakat fitrah. Suatu malam dia didatangi oleh syetan dan mengambil sebagian kurma, maka Abu Hurairah pun menangkapnya. Syetan tadi berujar: “Saya adalah orang yang miskin dan mempunyai keluarga”, Abu Hurairah pun terenyuh dan melepaskannya. Demikian juga pada malam kedua dan malam ketiga. Abu Hurairah pun berkata: “Kamu harus menemui Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ia pun takut kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan berkata: “Saya akan memberitahumu sebuah ayat yang jika kamu baca pada malam hari, maka Allah akan sediakan bagimu sang penjaga yang akan tetap menjagamu sampai pagi syetan pun tidak akan mendekatimu. Ia pun memberitahunya tentang ayat kursi. Pada pagi harinya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepadanya: “Apa yang dilakukan tawananmu tadi malam ?”, beliau pun bersabda: “Ia jujur dengan perkataannya, meskipun sebenarnya ia adalah pendusta”. Beliau pun bertanya kepadanya: “Tahukah engkau siapa yang mendatangimu selama tiga malam ?”. Abu Hurairah menjawab: “Tidak”. Beliau pun bersabda: “Dia adalah syetan”.
Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dalam hadits di atas pada saat memberikan harta zakat ia tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, namun Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membolehkannya.
Maka yang benar adalah jika seseorang membayarkan zakat orang lain, dan orang tersebut membolehkannya maka hal itu dibolehkan.
(Asy Syarhul Mumti’: 9/199)
Wallahu a’lam.