Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Puasa Nadzar Lebih Didahulukan Dari Pada Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Pertanyaan

Pada saat saya sakit, saya telah bernadzar jika saya diberikan kesembuhan saya akan berpuasa selama 15 hari karena Allah, dan saya tidak menentukan kapan pelaksanaannya. Alhamdulillah, saya telah diberikan kesembuhan saya memulai puasa pada bulan Rajab, setelah saya berpuasa 5 hari saya merasa capek, lalu saya lanjutkan 5 hari lagi pada bulan Sya’ban, kemudian datang bulan Ramadhan dan saya melaksnakan puasa Ramadhan, sekarang sudah bulan Syawal. Maka mana yang lebih utama dilakukan puasa enam hari di bulan Syawal atau meneruskan sisa puasa nadzar selama 5 hari ?. Semoga Allah memberkahi anda semua.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama anda harus menyelesaikan sisa dari puasa nadzar anda, kemudian setelah itu berpuasa enam hari di bulan Syawal jika masih memungkinkan, dan jika anda meninggalkannya pun tidak apa-apa; karena puasa enam hari di bulan Syawal adalah sunnah bukan wajib. Adapun puasa nadzar adalah wajib, anda wajib mendahulukan yang wajib dari pada yang sunnah. Jika anda telah berniat untuk melaksanakan puasa nadzar anda dengan berurutan selama 15 hari, maka anda wajib melaksanakannya dengan berurutan tidak boleh terputus dan puasa yang lalu dianggap batal.

Adapun jika anda telah berniat untuk tidak dilaksanakan dengan cara berurutan, maka anda hanya wajib melaksanakan sisanya yaitu 5 hari –in sya Allah- dan selesai urusan anda.

Dan setelah itu anda sebaiknya tidak perlu bernadzar, sebagaimana sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

(لَا تَنْذِرُوا ، فَإِنَّ النَّذْرَ لَا يَرُدُّ شَيْئًا مِنْ الْقَدَرِ ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ(

“Janganlah kalian bernadzar; karena nadzar itu tidak bisa menolak takdir, akan tetapi hal itu diperuntukkan bagi orang yang kikir”.

Sebaiknya nadzar tidak dilakukan, baik bagi orang yang sakit atau bagi orang yang sehat, akan tetapi kapan saja seseorang bernadzar dalam rangka taat kepada Allah, maka dia wajib menepatinya, seperti puasa dan shalat, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

(مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ) رواه البخاري في الصحيح.

“Barang siapa yang bernadzar dalam rangka untuk taat kepada Allah, maka laksanakanlah, dan barang siapa yang bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka jangan dilaksanakan”. (HR. Bukhori dalam Shahihnya)

Maka jika seseorang bernadzar untuk berpuasa pada hari tertentu, atau untuk shalat dua rakaat, atau untuk bersedekah dengan sejumlah tertentu, maka dia wajib menepatinya karena termasuk nadzar dalam rangka ketaatan; karena Allah telah memuji orang-orang yang beriman dalam firman-Nya:

(يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا) الإنسان/7 .

“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana”. (QS. Al Insan: 7)

Karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menyuruh untuk menepatinya sebagaimana dalam hadits di atas, nadzar tidaklah menjadi sebab dari kesembuhan, tidak juga menjadi sebab tercapainya keinginannya, sebenarnya dia tidak membutuhkan nadzar, akan tetepi dia telah mewajibkan pada dirinya sendiri dan mengeluarkan dirinya dari kekikiran, kemudian setelah itu dia menyesal dan terjebak dalam kesulitan dan mengatakan kalau saja sebelumnya tidak bernadzar. syari’at ini datang dengan yang lebih lunak dan lebih bermanfaat bagi manusia yaitu adanya larangan bernadzar.

Yang terhormat Syeikh Abdul Aziz bin Baaz –rahimahullah- .

Refrensi: Fatawa Nuur ‘Ala Darb: 3/1261