Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Ikatan-ikatan Syari’at Yang Bermacam-macam Untuk Batasan Terjadinya Talak

Pertanyaan

Saya seorang muslim, dan beriman bahwa Allah memiliki hikmah, meskipun menurut kita bermasalah maka Dia Allah Jalla wa ‘Alaa, Maha Mengetahui bahwa hikmah dari mempersulit proses akad nikah adalah untuk menjauhi kerusakan sehingga tidak terjadi klaim dari wanita yang berzina, dan mengatakan saya sudah menikah. Dan akan tetapi mempermudah dalam masalah talak, dengan satu kalimat saja selesai ikatan pernikahan, tanpa saksi, dan pengumuman kepada banyak orang, dan juga talak ini terbatas hanya tiga kali saja, tidakkah hal ini mempermudah menghancurkan rumah tangga ?, sebagaimana tanpa adanya saksi pada talak, tidakkah dalam hal itu termasuk kerusakan yang memungkinkan kepada orang yang dicerai oleh suaminya, dan tidak ada saksi seorang pun bahwa ia meminta warisan, atau ia hamil karena zina dan menisbatkan kehamilannya kepada orang yang menceraikannya ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Islam telah mensyari’atkan pernikahan dan telah menyuruhnya karena berdampak kepada kemaslahatan, dan telah memberlakukan dengan keras pada talak –dan tidak seperti yang dikatakan oleh penanya bahwa talak ini mudah- dan telah ditetapkan ikatan dan hukum yang menyempitkan bagi seorang laki-laki untuk mentalak, dan diminimalisir terjadinya, dan tidak menjadikan talak berada di tangan seorang suami ia bisa mentalak kapan pun yang ia mau.

Dan kalau saja umat Islam melaksanakan hukum-hukum ini maka talak akan sangat sedikit terjadi, dan tidak terjadi kecuali karena apa yang diinginkan oleh suami, akan tetapi kebanyakan manusia tidak memperhatikan hukum tersebut, dan mereka berani melanggar batasan Allah, oleh karenanya banyak terjadi kasus perceraian, dan ada orang yang menduga bahwa Islam mempermudah urusan perceraian.

Dan dari hukum-hukum ini yang telah disyari’atkan oleh Allah untuk meminimalisir terjadinya perceraian adalah:

  1. Bahwa hukum asal penceraian ini dilarang, bisa jadi haram dan bisa jadi makruh.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Hukum asal talak adalah dilarang, akan tetapi dibolehkan karena kebutuhan, sebagaimana yang telah ditetapkan riwayatnya dalam Shahih dari Jabir dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

أن إبليس ينصب عرشه على البحر ويبعث سراياه فأقربهم إليه منزلة أعظمهم فتنة فيأتيه الشيطان فيقول : ما زلت به حتى فعل كذا ، حتى يأتيه الشيطان فيقول : ما زلت به حتى فرقت بينه وبين امرأته ، فيدنيه منه ، ويقول : أنت ، أنت ويلتزمه) ، وقد قال تعالى في ذم السحر : (فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ) البقرة/102

 

“Bahwa Iblis membangun singgasananya di lautan dan mengutus pasukannya, maka yang akan mendapatkan kedudukan terdekat kepadanya adalah yang paling besar membuat fitnah, lalu syetan mendatanginya dan berkata: “Saya masih berada di sisinya sampai ia melakukan ini, sampai ada syetan yang datang lalu berkata: “Saya masih di sisinya sampai saya memisahkan antara ia dengan istrinya, dan mendekatkannya dengannya. Dan dia (Iblis) berkata: “Kamu, kamu dan tetaplah dengannya”. Dan Allah Ta’ala telah berfirman dalam menghinakan sihir: “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya

[79].”. (QS. Al Baqarah: 102)

Selesai.

(Majmu’ Al Fatawa: 33/81)

Dan beliau juga berkata:

“Dan kalau bukan karena kebutuhan yang menuntut untuk perceraian, maka dalilnya menuntut untuk mengharamkannya, sebagaimana banyak atsar dan ushul yang telah menunjukkan hal itu, akan tetapi Allah Ta’ala telah membolehkannya sebagai bentuk rahmat dari-Nya kepada para hamba-Nya karena terkadang mereka membutuhkannya”. Selesai.

(Majmu’ Al Fatawa: 32/89)

  1. Bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan talak berada di pihak suami, bukan di pihak istri.

Kalau saja talak ini berada di pihak isteri, maka anda akan melhat kondisi perceraian semakin terjadi berlipat ganda, sebagaimana yang terjadi sekarang; karena pihak wanita dengan mudah emosi, dan cepat mengambil keputusannya.

Ibnul Hamam Al Hanafi –rahimahullah- telah menyebutkan, bahwa termasuk keindahan syari’at talak ini ia telah dijadikan berada di pihak suami bukan di pihak wanita, penyebabnya adalah: bahwa seorang laki-laki ini lebih banyak mampu mengendalikan dirinya dan mengukur akibat dari urusan.

(Lihat: Fathul Qadiir: 3/463)

  1. Bahwa tidak boleh bagi laki-laki menceraikan istrinya dalam kondisi haid, atau pada masa suci yang telah ia setubuhi.

Dan para ahli fikih telah berbeda pendapat dalam hal ini, apakah talak tetap terjadi atau tidak ?

Lihat penjelasannya pada jawaban soal nomor: 72417

Barang siapa yang ingin menceraikan isterinya dalam kondisi haid atau pada masa suci tapi ia telah mensetubuhinya, maka ia wajib menunggu sampai datang masa suci berikutnya, kemudian menjatuhkan talak sebelum ia menyentuhnya lagi, dan pada masa jedah ini, bisa jadi terkadang sampai sekitar satu bulan, dan umumnya bahwa suami setelah masa tunggu ini ia berubah pikiran tidak mentalak, dan penyebabnya yang mendorong ada keinginan untuk mentalak sudah hilang.

  1. Tidak mengeluarkan wanita dari rumahnya setelah terajadi perceraian, dan ia tidak boleh keluar rumah, dan dalam hal ini Allah Ta’ala telah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً

الطلاق/ 1

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”. (QS. At Thalaq: 1)

Dan termasuk kondisi hukum ini memberikan kesempatan kepada pasangan suami istri untuk menyelesaikan masalah, dan pihak suami merujuk isterinya yang jauh dari campur tangan pihak lain, karena campur tangan ini bisa jadi penyebab kerusakan bukan perbaikan.

Dan jika pihak wanitanya keluar dari rumahnya karena hanya terjadi perceraian, maka hal itu akan menyebabkan –sebagaimana pada realitanya- bertambahnya perbedaan dan pihak suami akan bersikukuh untuk tidak mau rujuk.

Dan Allah Ta’ala telah menjelaskan di dalam ayat tersebut hikmah dari hukum tersebut dengan firman-Nya:

لا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْراً

“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.

Yaitu perubahan kondisi dan pihak suami akan merujuk istrinya.

  1. Bahwa syariat telah menjadikan jumlah talak yang dimiliki oleh suami adalah tiga kali.

Hikmahnya dari hal itu nampak, sehingga bagi seorang laki-laki mempunyai kesempatan jika ia menyesali talaknya ia bisa merujuk istrinya, bisa jadi yang bersalah dari keduanya memperbaiki kesalahannya, kemudian pihak suami telah memberikan kesempatan lain, maka jika ia telah menceraikan tiga kali, maka hal ini menunjukkan –pada umumnya- bahwa perkara itu tidak akan selesai antar keduanya, maka tidak ada yang tersisa kecuali perpisahan.

At Thahur bin ‘Asyuur –rahimahullah- berkata:

“Hikmah dari syari’at yang agung ini adalah peringatan kepada pasangan suami-istri untuk menganggap ringan hak-hak pasangan mereka, dan telah menjadikan mereka permainan di dalam rumah mereka, dan telah menjadikan bagi suami pada talak pertama sebagai kelalaian, dan talak kedua sebagai percobaan, dan talak ketiga sebagai perpisahan, sebagaimana sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits Musa dan Khidir:

“Bahwa yang pertama dari Musa adalah lupa, dan yang kedua adalah syarat, dan yang ketiga adalah  kesengajaan, oleh karena itu Khidir berkata kepada beliau pada yang ketiga:

هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنك

الكهف : 78

“"Inilah perpisahan antara aku dengan kamu”. (QS. Al Kahfi: 78)

(HR. Bukhori: 2578 dan Ahmad: 56/35 dan telah ditashih oleh para peneliti)

(At Tahrir wa Tanwir: 2/415)

Ibnul Hamam Al Hanafi –rahimahullah- berkata di dalam Bayan Hikmatis Syar’i fii Ja’li ‘Adadit Tathliqat Tsalatsan:

“Karena nafsu ini pendusta, maka bisa jadi nampak tidak butuh kepadanya atau kebutuhan untuk meninggalkannya dan menelantarkannya, lalu jika terjadi penyesalan dan dadanya menjadi sesak dan kesabaran menjadi berat, maka Allah Suhbanahu wa Ta’ala telah mensyari’atkan tiga kali untuk mencoba jiwanya pada pertama kali, maka jika realitanya telah membenarkannya maka dilanjutkan sampai masa iddah berakhir, dan jika tidak maka memungkinkan baginya untuk merujuknya, kemudian jika nafsunya kembali lagi seperti kondisi semula, dan telah mendominasi sehingga kembali menceraikannya, maka ia juga melihat apa yang telah terjadi, maka apa yang akan terjadi pada yang ke tiga kali, ia telah mencoba dan memahami kondisi dirinya, dan setelah yang ketiga maka alasannya pun menjadi rusak”. Selesai.

(Lihat: Syarah Fathul Qadiir: 3/465-466)

  1. Disyari’atkannya nasehat bagi isteri, dan berpisah ranjang dengannya, dan memukulnya dengan pukulan ringan, jika dikhawatirkan ia meninggi dan sombong kepada suami, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيراً

النساء/34

“Dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An Nisa’: 34)

Maka seorang suami tidak memulai menceraikan isterinya saat terjadi masalah paling remeh antara ia dengan isterinya, maka di sana ada kesempatan untuk memperbaikinya sebelum talak.

  1. Disyari’atkannya tahkim (menunjuk hakim) pada saat terjadi apa yang akan melemahkan pasangan suami isteri untuk mencari solusi dari masalah keduanya, dan dalam hal ini Allah Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

النساء/35

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. An Nisa’: 35)

Maka seorang suami tidak bersegera menjatuhkan talak pada saat susah menyelesaikan masalah, bahkan di sana ada usaha lain melalui jalur dua hakim ini.

Maka hal ini menjadi jelas, bahwa Islam tidak mudah mensyariatkan dan terjadinya talak, bahkan mengencangkan dan mempersempit kepada pihak laki-laki, untuk meminimalisir terjadinya perceraian, dan tidaklah hal itu terjadi karena talak ini termasuk yang dibenci di sisi Allah Ta’ala, dan tidak disukai.

Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- telah ditanya:

“Islam ini tidak menempatkan talak kecuali sebagai solusi terakhir untuk memisahkan antar pasangan suami-isteri, dan telah menempatkannya sebagai solusi awal sebelum beranjak kepada talak, kalau kita bicarakan wahai Syeikh yang terhormat tentang solusi ini yang telah ditetapkan oleh Islam untuk mengurai persengketaan antar pasangan suami-isteri sebelum beranjak ke talak ?   

Beliau menjawab:

“Allah telah mensyari’atkan ishlah (perbaikan) antar suami-isteri  dan mengambil sarana yang menggabungkan yang berserak dan menjauhi ancaman perceraian, di antaranya adalah: menasehati, pisah ranjang, pukulan ringan, jika nasehat dan pisah ranjang tidak mempan, sebagaimana firman Allah Subhanahu-:

وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

النساء/34

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An Nisa’: 34)

Di antaranya juga dengan mengutus dua hakim/fasilitator dari keluarga suami dan keluarga isteri pada saat terjadi perpecahan antar keduanya untuk memperbaiki antar pasangan suami-isteri, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

النساء/35

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. An Nisa’: 35)

Maka jika sarana-sarana ini tidak bermanfaat dan tidak memudahkan untuk berishlah dan terus terjadi perpecahan, maka disyari’atkan kepada pihak suami untuk menjatuhkan talak jika penyebabnya darinya, dan telah disyari’atkan kepada pihak isteri yang mengganti dengan harta jika suami tidak menceraikannya tanpa hal itu, jika kesalahan dan kemarahan berasal darinya, berdasarkan firman Allah subhanahu:

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

البقرة/229

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al Baqarah: 229)

Dan karena perpisahan dengan baik lebih baik dari pada perpecahan dan perbedaan, dan tidak terwujud tujuan menikah yang telah disyari’atkan, maka dari itu Allah subhanahu berfirman:

وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللّهُ كُلاًّ مِّن سَعَتِهِ وَكَانَ اللّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا

النساء/130  

“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana”. (QS. An Nisa’: 130)

Dan telah ada hadits shahih dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

أنه أمر ثابت بن قيس الأنصاري رضي الله عنهما لما لم تستطع زوجته البقاء معه لعدم محبتها له وسمحت بأن تدفع إليه الحديقة التي أمهرها إياها أن يقبل الحديقة ويطلقها تطليقة ففعل ذلك رواه البخاري في الصحيح .

“Bahwa Beliau telah menyuruh Tsabit bin Qais Al Anshari –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa isterinya tidak bisa lagi bertahan bersamanya, karena ia tidak mencintainya, dan ia telah mengizinkan untuk membayar kepadanya (suaminya) kebun yang telah menjadi mas kawin sebelumnya, dan (pihak suami) menerima kebun ini dan menceraikannya, dan ia pun melakukannya”. (HR. Bukhori di dalam Shahihnya)

(Fatawa Ulama Al Balad Al Haram: 494-495)

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam