Ahad 23 Jumadil Ula 1446 - 24 November 2024
Indonesian

Apa Hukum Puasa Setiap Hari

144592

Tanggal Tayang : 12-10-2016

Penampilan-penampilan : 134293

Pertanyaan

Apakah merupakan suatu kebaikan berpuasa setiap hari?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Puasa setiap hari –selain hari-hari yang terlarang berpuasa seperti dua hari raya- dinamakan dalam istilah agama adalah ‘Puasa Dahr’ atau ‘Puasa selamanya’. Para ahli ilmu berbeda pendapat terkait hukumnya menjadi beberpa pendapat, sampai satu mazhab sendiri berbeda pendapat. Sehingga terjadi kegoncangan dalam menukil yang menjadi patokan utama dalam mazhab karena sebab ini.

Yang Nampak, bahwa perbedaan dalam masalah ini –secara global- ada dua pendapat,

Pendapat pertama, larangan berpuasa dahr secara umum. Baik dimakruhkan seperti pendapat mazhab Hanafiyah dan pilihan Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah dari mazhab Hambali yang berbeda dengan mazhab. Dan ini juga pilihan Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta, 23/221, atau diharamkan sebagaimana pendapat mazhab Ibnu Hazm.

Dalam kitab Ad-Durarol Mukhtar, (2/84) dari kitab mazhab Hanafi, “Dan makruh tanzih (lebih ke arah mubah/boleh) seperti puasa dahr.”

Ibnu Humam A-Hanfi mengatakan, “Dimakruhkan puasa dahr karena melemahkan atau apabila menjadi tabiatnya. Sementara ibadah itu dibangun untuk menyalahi kebiasaan.” Fathul Qadri, 2/350

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Yang kuat menurutku adalah bahwa puasa dahr itu makruh meskipun dia tidak berpuasa di hari-hari ini –maksudnya dua hari raya dan hari tasyriq-. Kalau dia berpuasa (hari-hari ini), maka dia telah melakukan sesuatu yang haram. dimakruhkan puasa dahr, karena di dalamnya ada kepayahan dan melemahkan. Mirip dengan tabattul (membujang) yang dilarang.” Al-Mughni, 3/53.

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Asalnya tidak dihalalkan puasa dahr itu.” Al-Muhalla, 4/41.

Kelompok pendapat ini berdalil berikut ini:

1. Sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam,

لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ  (رواه البخاري، رفم 1977 ومسلم، رقم 1159)

 “Tidak ada puasa bagi orang yang puasa selamanya,” (HR. Bukhari, no. 1977 dan Muslim, no. 1159)

2. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu berkata,

جَاءَ ثَلاثُ رَهطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَسأَلُونَ عَن عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخبِرُوا كَأَنَّهُم تَقَالُّوهَا ، فَقَالًوا : وأَينَ نَحنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ ؟ قَد غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ، قَالَ أَحَدُهُم : أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي الَّليلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهرَ وَلَا أُفطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : أَنتُمُ الَّذِينَ قلُتُم كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخشَاكُم للَّهِ وَأَتقَاكُم لَه ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَن رَغِبَ عَن سُنَّتِي فَلَيسَ مِنِّي )رواه البخاري ، رقم 5063 ومسلم، رقم  1401)

 “Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi sallallahu alaihi wa sallam bertanya tentang ibadah Nabi sallallahu’alahi wa sallam. Ketika mereka diberitahukan, seakan-akan mereka merasa remeh. Dan mengatakan, “Dimana kita dari (ibadahnya) Nabi sallallahu’alaihi wa sallam? Beliau telah diampuni oleh Allah dosa yang lalu maupun yang akan datang. Salah satu di antara mereka mengatakan, “Sementara saya akan shalat malam selamanya.” Yang lain mengatakan, “Saya akan berpuasa selamanya dan tidak berbuka.” Dan lainnya mengatakan, “Saya akan menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya.” Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam datang dan bersabda, “Apakah anda semua yang mengatakan ini dan itu? ‘Demi Allah, sesungguhnya saya adalah yang paling takut kepada Alah dan paling bertakwa kepada-NYa. Akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat (malam) dan beristirahat dan saya menikahi wanita. Siapa yang tidak menyukai sunahku (kebiasaanku), maka dia bukan dari (golongan)ku.” (HR. Bukhari, no. 5063 dan Muslim, no. 1401).

Ucapan beliau, “Akan tetapi saya berpuasa dann berbuka…. Dan siapa yang tidak menyukai sunahku, maka dia bukan termasuk dari golonganku.” Bahwa puasa dahr (selamanya) itu menyalahi sunah Nabi sallallahu’alaihi wa sallam.

3. Dari Umar bin Khottob radhiallahu’anhu, bahwa beliau bertanya kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam,

كَيْفَ بِمَنْ يَصُومُ الدَّهْرَ كُلَّهُ ؟ قَالَ : لَا صَامَ وَلَا أَفْطَرَ (رواه مسلم ، رقم 1162)

“Bagaimana bagi orang yang berpuasa selamanya? Beliau bersabda, “Tidak (mendapatkan) puasa dan tidak berbuka.” )HR. Muslim, no. 1162).

4. Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu’anhu berkata, “Rasulullah bersabda kepadaku,

يَا عَبْدَ اللَّهِ ! أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ ، وَتَقُومُ اللَّيْلَ ؟ فَقُلْتُ : بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَالَ : فَلَا تَفْعَلْ ، صُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ...إلى آخر الحديث . وفي رواية : فَقُلْتُ : إِنِّي أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ (رواه البخاري، رقم 1975 ومسلم، رقم 1159)

”Wahai Abdullah! Saya dapat kabar bahwa anda (terus menerus) puasa di siang hari dan berdiri (shalat) waktu malam hari?” Saya menjawab, “Ya wahai Rasulullah! Beliau mengatakan, “Jangan lakukan, berpuasalah dan berbuka. Berdiri shalat dan tidurlah. Karena jasad anda ada haknya… sampai akhir hadits. Dalam redaksi lain, saya mengatakan, “Saya mampu melakukan itu”  Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih baik dari itu.” (HR. Bukhari, no. 1975 dan Muslim, no. 1159).

Yang berbeda pendapat memberikan jawaban terhadap dalil-dalil ini sebagaimana yang dijawab oleh Imam Nawawi rahimahullah dimana beliau mengatakan, “Salah satunya adalah jawaban Aisyah radhiallahu anha dan diikuti oleh banyak ulama. Maksud dengan puasa dahr yang benar adalah dia berpuasa terus, termasuk puasa hari raya dan hari tasyriq. Ini dilarang menurut ijma’ Ulama.

Kedua, bahwa maksud - hadits (Tidak ada puasa bagi orang yang puasa selamanya) – maksudnya bahwa dia tidak mendapatkan kepayahan sebagaimana yang didapatkan oleh orang lain, karena terbiasa dan mudah baginya. Sehingga maksudnya adalah kabar bukan doa. Maka maknanya adalah ‘Tidak ada puasa bagi yang ada kepayahan besar di dalamnya, tidak juga berbuka. Bahkan jika ia berpuasa mendapatkan pahala puasa.

Ketiga, maksudnya orang yang payah dengan puasa terus menerus atau tidak terpenuhinya hak. Hal itu dikuatkan dalam hadits Abdullah bin Amr bin Ash. Maka pelarangan ini ditujukan kepadanya. Terdapat ketetapan dalam hadits yang shahih, bahwa beliau tidak mampu di akhir umurnya dan menyesal karena tidak menerima keringanan. Beliau mengatakan, “Alangkah baiknya kalau saya menerima keringanan dari Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam.” Maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang Ibnu Amr bin Ash karena belaiu mengetahui akan lemahnya hal itu. Hal ini dikuatkan oleh Hamzah bin Amr –haditsnya akan dijelaskan nanti- karena tahu bahwa hal itu tidak mendapatkan kepayahan.” Selesai

(Al-Majmu, 6/443. Silakan melihat Fathul Bari, 4/222-224. Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 28/16. Meskipun tidak dinukil secara menyeluruh dari perkataan para mazhab)

Pendapat kedua:

Dianjurkan puasa dahr. Ini pendapat Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah. Malikiyah dan Syafiiyah dengan tegas menganjurkannya. Sementara Hanabilah, nash yang ada dengan kata-kata ‘Dibolehkan’. Anjuran (berpuasa dahr) semuanya memberikan aturan bahwa puasa dhar tidak menjadikan mengurangi pelaksanaan hak dan kewajiban atau dikhawatirkan kepayahan pada dirinya. Kalau terjadi hal tersebut, maka dimakruhkan menurut Syafiyyah dan Hanabilah. Dan dibolehkan menurut Malikiyah.

Telah ada dalam kitab Mawahibul Jalil, 2/442 dari kitab Malikiyah, “(Puasa Dahr) maksudnya itu dibolehkan. Apakah hal itu lebih utama atau yang lebih utama itu sebaliknya. Malik mengatakan, melanjutkan puasa itu lebih utama. Ibnu Rusyd mengatakan, “Maksud perkataan Malik bahwa melanjutkan puasa itu lebih utama kalau hal itu tidak menjadikan dia lemah dari amal kebaikan

Telah ada dalam kitab ‘Al-Minhaj’ karangan Imam Nawawi, “Puasa dahr –selain puasa hari raya dan tasyriq- dimakruhkan kalau khawatir menyebabkan kepayahan atau tidak dapat menunaikan hak. Dan dianjurkan kepada selainnnya.” (Tuhfatul Muhtaj, 3/459).

Terdapat dalam ‘Kasyful Qanna’, (2/342) dari kitab Hanabilah, “Dibolehkan puasa dahr dan tidak dimakruhkan kalau tidak meninggalkan hak dan tidak khawatir kepayahan. Dan tidak berpuasa pada hari-hari ini (lima hari, dua hari raya dan tiga hari tasyriq). Kalau dia melakukan puasa (di lima hari), maka dia telah meelakukan sesuatu yang haram.”

Kelompok yang berpendapat ini berdalil sebagai berikut:

1. Keumuman ayat dan hadits yang menunjukkan keutamaan ibadah dan amal kebaikan, diantaranya firman Allah ta’ala :

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا )سورة الأنعام: 160)

“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” SQ. Al-An’am: 160.

2. Dari Abi Said Al-Khudri radhiallahu’anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا ( رواه البخاري، 2840، ومسلم، رقم 1153)

“Siapa yang berpuasa sehari di jalan Allah, Maka Allah akan jauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun. “ )HR. Bukhari, no. 2840) dan Muslim, no. 1153)

Dijawab dari dua dalil ini, bahwa keduanya itu umum untuk semua puasa. Sementara dalil-dalil tadi mengkhususkan puasa dahr dari keumuman  anjuran (puasa).

3. Dari Abu Musa dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ الدَّهْرَ ضُيِّقَتْ عَلَيْهِ جَهَنَّمُ هَكَذَا وَقَبَضَ كَفَّهُ  (رواه أحمد في " المسند  32/484)

“Siapa yang puasa dahr, disempitkan baginya neraka Jahanan seperti begini. Dan menggenggam tangannya.” (HR. Ahmad dalam Musnad,(32/484).

Nawawi rahimahullah mengatakan, “Maksud ( ضيقت عليه ) maksudnya ‘darinya’ yaitu tidak akan masuk ke dalamnya.” (Al-Majmu’, (6/442).

Dijawab, bahwa (derajatnya) lemah sampai ke Nabi (Marfu). Para ahli hadits terdahulu dan para pakar peneliti di percetakan Muassasah Ar-Risalah menshahihkan hanya sampai ke Abu Musa saja.

4- عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :

4. Dari Aisyah radhiallahu’anha sesungguhnya Hamzah bin Amr Al-Aslamy bertanya kepada Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dan berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ ! إِنِّي رَجُلٌ أَسْرُدُ الصَّوْمَ أَفَأَصُومُ فِي السَّفَرِ ؟ قَالَ : صُمْ إِنْ شِئْتَ ، وَأَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ .( رواه مسلم،  رقم 1121)

“Wahai Rasulullah ! Sesungguhnya saya adalah orang yang melanjutkan puasa. Apakah saya (dibolehkan) berpuasa dalam safar? Beliau menjawab, “Puasalah jika anda suka. Dan berbukalah jika anda suka.” (HR. Muslim, (1121).

Kesimpulan dalilnya adalah bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak mengingkarinya melanjutkan puasa.

5. Adanya riwayat para shahabat yang melanjutkan puasanya. Diantaranya adalah perkataan Nawawi rahimahullah,”Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma beliau ditanya tentang puasa dahr dan mengatakan, “Kami anggap mereka itu dikalangan kami termasuk orang-orang yang giat.” HR. Baihaqi.

Dari Urwah sesungguhnya Aisyah (biasanya berpuasa dahr, baik dalam safar maupun di rumah). HR. Baihaqi dengan sanad shahih. Dan dari Anas berkata, “Dahulu Abu Thalhah tidak berpuasa pada zaman Nabi sallallahu alaihi wa sallam karena (ikut) peperangan. Ketika Nabi sallallahu’alaihi wa sallam wafat, saya tidak pernah melihat beliau berbuka kecuali hari raya idul fitri dan adha.”(HR. Bukhari di Shahihnya.” (Al-Majmu, 6/443).

Ibnu Hazm telah menjawab terkait dengan hadits Hamzah bin Amr Al-Aslamy dan shahabat lainnya yang meneruskan berpuasa, bahwa melanjutkan puasa itu bukan puasa dahr semuanya. Akan tetapi melanjutkan puasa pada bulan yang panjang sampai dikatakan ‘Tidak berbuka’. Bukan puasa setahun penuh. Dan terdapat ./ dari sebagian shahabat seperti Umar bin Khottob radhiallahu’anhu larangan jelas tentang puasa dahr.

Al-Hafid Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Mengomentari pertanyaan Hamzah, sesungguhnya dia bertanya tentang puasa waktu safar bukan tentang puasa dahr. Dan tidak mesti melanjutkan puasa itu termasuk puasa dahr. Usamah bin Zaid telah mengatakan bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam biasanya melanjutkan puasa sampai dikatakan tidak berbuka. Diriwayatkan oleh Ahmad. Telah diketahui bahwa Nabi sallallahu alaihi wa sallam tidak pernah puasa dahr. Maka tidak mesti jika dikatakan melanjutkan puasa itu maksudnya adalah puasa dahr.” (Fathul Bari, 4/223).

Kesimpulannya bahwa yang kuat adalah pendapat pertama. Diputuskan makruh melakukan puasa dahr dan ada larangannya. Hal itu karena dalilnya kuat dan lebih jelas. Sementara dalil pendapat kedua tidak ada kejelasan dalam dalilnya. Sebagaimana para ulama juga telah menjawabnya sebagaimana yang telah dikutip tadi.

Wallahua’lam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam