Alhamdulillah.
Tidak mengapa masjid berada di bawah bangunan atau di atasnya. Kalau sejak semula dibangun dengan bentuk seperti ini. Dalam kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah’ dikatakan, bahwa kalangan Syafiiyyah, Malaikiyah dan Hanbaliyah membolehkan menjadikan bagian atas rumah sebagai masjid bukan di bawah, begitu juga sebaliknya (dibolehkan). Karena keduanya (bangunan atas dan bawah) adalah dua hal yang boleh diwakafkan, maka dibolehkan mewakafkan salah satunya tanpa yang lainnya.”
Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya:
”Saya membangun rumah, sementara niat telah bulat sebelum membangun (rumah) akan membangun masjid di bawahnya. Bangunan telah selesai dan bangunan telah ditetapkan kiblatnya, begitu pula sudah dibangun kamar mandi khusus untuk masjid dan para tukang jaga, tinggal mengecat dinding saja. Dan masjid sudah sesuai dengan bentuk yang Islami. Saya mendengar dari sebagian (orang) bahwa menjadikan masjid di bawah rumah tidak dibolehkan. Akhirnya saya tidak menempati bangunan tersebut serta tidak meneruskan pembangunan masjid sejak lima tahun lalu sampai mendapatkan kejelasan. Maka apa pendapat para ulama yang kami muliakan tentang membangun masjid di bawah rumah? Perlu diketahui bahwa di sana sudah ada masjid-masjid kecil selain masjid ini yang dibangun di sekitarnya sejak masa (penghentian) ini. Dan mulai mulai banyak masjid-masjid kecil. Berikanlah kami kejelasan, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan?
Mereka menjawab:
“Tidak mengapa kenyataan masjid dibawah rumah, jika masjid dan rumah dibangun sejak pertama seperti ini. Atau menjadikan masjid baru di bawah rumah. Adapun jika kemudian membangun rumah di atas masjid, maka hal ini tidak boleh. Karena atap dan atas masjid mengikuti (masjid).” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/220. Jilid II)
Kedua: Asalnya adalah melaksanakan wasiat tanpa merubahnya, selagi tidak mengandung suatu dosa. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (سورة البقرة: 181)
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 181)
Adapun jika merubahnya kepada yang lebih baik, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
”Merubah wasiat kepada yang lebih utama, diperselisihkan para ulama. Di antara mereka mengatakan, hal itu tidak boleh. Berdasarkan keumuman firman Allah “Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya’ (QS. Al-Baqarah: 181). Tanpa ada pengcualiaan melainkan kalau ada dosa di dalamnya. Maka urusannya tetap semula tidak berbubah. Di antara mereka ada yang berpendapat, justeru dibolehkan merubah ke yang lebih utama. Karena tujuan dari wasiat adalah mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dan manfaat orang yang diberi wasiat. Maka segala sesuatu yang lebih mendekatkan diri kepada Allah serta lebih bermanfaat kepada yang diberi wasiat, akan lebih utama juga. Orang yang berwasiat adalah manusia biasa yang terkadang tak tampak baginya apa yang lebih utama. Bisa jadi yang utama dalam satu waktu, tidak yang lebih utama pada waktu lain. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah membolehkan merubah nazar ke yang lebih utama disertai harus menunaikannya.
Menurut pendapat saya dalam masalah ini, kalau wasiat itu (untuk orang) tertentu,maka tidak dibolehkan merubahnya. Seperti kalau wasiat untuk Zaid saja atau mewakafkan suatu wakaf kepada Zaid, maka tidak diperkenankan merubahnya, karena haknya tergantung kepada orang tertentu. Kalau sekiranya tidak ditentukan –seperti untuk masjid atau orang-orang fakir – maka tidak mengapa diberikan kepada yang lebih utama.” (Tafsir Al-Qur’an, karangan Syekh Al-Utsaimin, 4/254)
Dengan demikian, dibolehkan membangun masjid sendiri dan tempat kegiatan-kegiatan sosial secara terpisah, begitu pula dibolehkan menjadikan semuanya dalam satu bangunan.
Wallallhu’alam .