Pertama:
Hak asuh artinya melindungi seorang anak dan orang-orang sepertinya dari hal yang membahayakan dirinya, dan merawatnya dengan cara yang baik untuknya.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang paling berhak atas hak asuh anak setelah ibu apabila meninggal atau tidak lagi layak memegang hak asuh anak adalah: ibu-ibunya yang segaris Perempuan, berdasarkan kedekatan kekerabatan, yaitu nenek dari pihak ibu, dan seterusnya. Lihat “al-Mughni” (8/197), “al-Mausu’ah al-fiqhiyah” (15/122).
Sebagian lagi ulama berpendapat bahwa ayah lebih berhak daripada nenek dari pihak ibu, ini adalah pendapat yang diambil oleh syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim rahimahumallah.
Ibnul Qayyim rahimahullah telah memaparkan urainya dalam masalah ini dan menerangkan sebab-sebab perbedaan pendapat di dalamnya.
Beliau rahimahullah berkata: “karena Perempuan dianggap memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih dalam membesarkan anak-anak, lebih sabar, lebih lembut dan lebih leluasa dalam hal ini, dan karena itulah dalam hal ini ibu lebih diutamakan daripada ayah.
Dan karena lelaki lebih mampu mengurus kepentingan anak dan peduli terhadap kebutuhan-kebutuhan, maka ayah dalam hal ini lebih diutamakan daripada ibu, mendahulukan ibu dalam hal hak asuh anak adalah merupakan salah satu keindahan syariah, demikian pula dalam hal kepedulian menjaga anak-anak, melihat perkembangan mereka, dan mengutamakan ayah dalam urusan harta dan perkawinan.
Jika hal ini sudah jelas, apakah ibu lebih diutamakan dikarenakan pihaknya lebih diutamakan daripada pihak ayah dalam hak asuh, diutamakannya ibu adalah semata karena sifat keibuan, atau diutamakanya ibu atas ayah adalalah karena Perempuan lebih mampu daripada laki-laki dalam hal memenuhi tujuan pengasuhan dan dalam hal membesarkan anak-anak, sehingga diutamakannya adalah karena semata demi sifat kewanitaan?
Dalam hal ini ada dua pendapat: keduanya dari pendapat madzhab imam Ahmad,
Terdapat dua pendapat tentang hal ini, keduanya dari madzhab Ahmad. Dampaknya terlihat jelas dalam mendahulukan wanita-wanita kerabat atas kerabat ibu, atau sebaliknya, seperti nenek dari pihak ibu, nenek dari pihak ayah, saudara perempuan dari ayah, saudara perempuan dari ibu, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, bibi ibu dari pihak ayah, dan bibi ayah dari pihak ibu dan ayah yang masih berkerabat dengan ibu dan ayah. Terdapat dua riwayat dari Imam Ahmad.
Pertama, mendahulukan kerabat ibu atas kerabat ayah.
Kedua, yang memiliki dalil lebih kuat dan di ambil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mendahulukan kerabat ayah. Hal ini disebutkan oleh al-Kharqi dalam kitab "Mukhtasar"-nya, ia mengatakan: "Saudara perempuan dari pihak ayah memiliki hak lebih besar daripada saudara perempuan tiri dan lebih besar daripada bibi dari pihak ibu, dan bibi dari pihak ayah memiliki hak lebih besar daripada bibi dari pihak ibu. Berdasarkan hal ini, ibu dari pihak ayah memiliki keutamaan atas ibu dari pihak ibu, sebagaimana yang disebutkan oleh Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat."
Ia mengatakan: “pendapat yang benar adalah: Perempuan di dahulukan meskipun mereka setara, sebagaimana ibu diutamakan atas ayah ketika mereka setara. Tidak ada alasan untuk mengutamakan laki-laki atas perempuan, meskipun perempuan setara dengannya, dan memiliki keistimewaan karena kuatnya alasan pengasuhan dan kemampuan membesarkan anak yang ada dalam dirinya."
Dan beliau, semoga Allah merahmatinya, berkata: “Syekh kami, Syekh al-Islam Ibnu Taimiyah, memaknai bab ini dengan makna lain. Beliau mengatakan: Hal yang paling mendekati makna bab tentang hak asuh adalah dengan mengatakan: Karena hak asuh adalah perwalian yang didasarkan pada kasih sayang, pendidikan, dan sikap lemah lembut, maka orang yang paling berhak menerimanya adalah mereka yang paling memenuhi syarat dalam kriteria-kriteria ini, dan mereka adalah kerabatnya. Dilihat yang paling dekat dengannya dan paling memenuhi syarat dalam kriteria hak asuhlah yang semestinya didahulukan. Jika ada dua orang atau lebih, dan derajat mereka sama, maka yang perempuan didahulukan atas yang laki-laki, sehingga ibu didahulukan atas ayah, nenek didahulukan atas kakek, bibi didahulukan atas paman dari pihak ibu, dan saudara perempuan didahulukan atas saudara laki-laki. Jika ada dua laki-laki atau dua perempuan, salah satu di antaranya didahulukan dengan cara undian, dalam hal ini jika derajat mereka sama. Jika derajat mereka terhadap anak berbeda, jika mereka dari pihak yang sama, yang paling dekat dengannya didahulukan, sehingga saudara perempuan didahulukan atas putrinya, dan bibi didahulukan atas bibi dari pihak ibu dari kedua orang tua... Jika mereka berasal dari dua pihak, seperti kekerabatan ibu dan kekerabatan ayah, seperti bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu, saudara perempuan dari pihak ayah, saudara perempuan dari pihak ibu, ibu ayah, ibu ibu, bibi ayah, dan bibi dari pihak ibu, dalam hal ini yang di pihak ayah didahulukan dalam semua itu menurut salah satu dari dua riwayat di dalamnya,” akhir kutipan dari “Zad Al-Ma’ad” (5/438-451).
Syeikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan: “urutan yang disebutkan oleh penulis tidak ada dasar dalil dan alasan apa pun, ada kontradiski di dalamnya, yang membuat jiwa tidak nyaman, karena itulah para ulama banyak berbeda pandangan dalam urutan hak asuh, bahkan semuanya pendapat yang ada tidak memiliki dasar yang kuat, dan karenanya Syekh Al-Islam rahimahullah secara mutlak mendahulukan kerabat terdekat, baik ayah, atau ibu, atau dari pihak ayah, atau dari pihak ibu, dan jika meraka sejajar maka Perempuan yang didahulukan, jika mereka berdua laki-laki atau Perempuan (sederajat) maka dilakukan undian diantara satu jalur, jika tidak maka yang didahulukan adalah dari pihak ayah.
Konsep inilah yang menurut Ibnul Qayyim rahimahullah lebih kuat, beliau mengatakan: “ini adalah konsep yang paling dekat, dan atas dasar ini ibu dan kakek, ibu lebih diutamakan karena posisi ibu lebih dekat, ayah dan nenek (ibu dari ibu) maka ayah lah yang di dahulukan karena ia lebih dekat, ayah dan ibu, ibu lah yang di dahulukan karena mereka apabila sederajat dalam kedekatannya maka Perempuan lebih di utamakan, kakek dan nenek, nenek lah yang di dahulukan, paman dan bibi, bibi lah yang di dahulukan, atas dasar konsep ini maka ambilah kiasannya, nenek dari pihak ibu dan nenek dari pihak ayah, maka nenek dari pihak ayah lah yang lebih di utamakan menurut konspep (kaidah) syeikh Al-Islam rahimahullah, hal ini berbeda dengan pendapat yang ambil oleh penulis” akhir kutipan dari “As-Syarh al-Mumti’” (13/536).
Kesimpulan: bahwa dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara kalangan ulama, dan semestinya ayah dan nenek saling memahami apa yang menjadi maslahat dan manfaat bagi anak-anak, dan apabila terjadi perselisihan dalam hal ini maka sebaiknya dikembalikan kepada pengadilan agama.
Kedua:
Jika suami mengemudi dengan kecepatan tinggi sehingga tidak mungkin luput dari kecelakaan yang semestinya bisa dihindari jika ia mengemudikan mobil dengan kecepatan yang wajar, maka inilah penyebab kecelakaan, dan dia bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi, maka wajib baginya untuk membayar denda karena pembunuhan yang tidak di sengaja untuk setiap korban yang meninggal dalam kecelakaan, dia juga bertanggung jawab membayar ganti rugi kepada ahli waris jika mereka menuntutnya, hanya saja uang tebusan tersebut wajib dibayarkan oleh keluarga laki-lakinya karena hal tersebut merupakan pembunuhan yang tidak disengaja. Jika keluarga laki-lakinya tidak mampu membayarnya, maka wajib baginya.
Dan untuk memastikan bahwa kecepatan tinggi adalah penyebab terjadinya kecelakaan atau sebab ketidakmampuan untuk menghindarinya dikembalikan kepada para ahli dalam hal ini.
Syekh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: "Dari Muhammad bin Ibrahim kepada Ketua Mahkamah Arar yang terhormat,
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kami telah menerima surat Anda No. 125, tertanggal 19/2/1383 H, yang memuat fatwa tentang sebuah mobil yang terbalik di jalan Qassim, yang mengakibatkan seorang pria meninggal dunia dan seorang lainnya terluka. Pengemudi mengatakan bahwa penyebabnya adalah karena ban depan pecah, tetapi selain itu ia tidak melaju lebih dari enam puluh kilometer, remnya dalam kondisi baik, dan pengemudinya berpengalaman, dll.
Jawaban: Alhamdulillah, Prinsip dasarnya adalah pengemudi tidak bersalah. Jika terbukti ia bersalah atas sesuatu yang dianggap melanggar atau lalai, seperti mengemdi dengan kecepatan tinggi, rem bermasalah, ban yang kurang tekanan angin, kelebihan muatan, dan sebagainya, yang masuk dalam kategori kelalaian pengemudi , maka itu sah. Jika tidak, mereka tidak memiliki apa pun terhadapnya kecuali sumpah. Akhir kutipan dari "Fatawa al-Syekh Muhammad bin Ibrahim" (11/278).
Wallahu a’lam.