Ahad 23 Jumadil Ula 1446 - 24 November 2024
Indonesian

HUKUM VAKSIN

159845

Tanggal Tayang : 21-09-2011

Penampilan-penampilan : 19727

Pertanyaan

Vaksin yang diberikan kepada bayi menjadi pertanyaanku. Teori yang umum dikenal mengatakan bahwa sekedar memberikan kadar sedikit vaksin terhadap penyakit tertentu, sudah cukup membuatnya kebal dari penyakit tersebut sepanjang hidupnya. Akan tetapi kekhawatiranku bertambah setelah membaca bahwa vaksin-vaksin tersebut umumnya terbuat dari darah rusak untuk menciptakan kekebalan, dari nanah sapi yang sakit, darah babi, otak kelinci, ginjal anjing, isi perut ayam dan masih banyak lagi. Yang ingin aku ketahui adalah hukum semua itu dan bolehkan bagi seorang ayah memberi vaksin-vaksin tersebut kepada anaknya. Jika informasi yang aku baca benar, berarti seluruh anak di dunia ini telah diberi vaksin dari benda-benda najis dan busuk. Bukankah Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah tidak menjadikan obat bagi umatku bersumber dari penyakitnya? Apa yang harus dilakukan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama,

Vaksin adalah upaya menjadikan tubuh yang mengkonsumsinya memproduksi zat yang disebut antibodi, tugasnya adalah menghalau penyakit dan pada dasarnya tidak menyebabkan penyakit bagi yang mengkonsumsinya. Kalaupun ada efek samping akibat mengkonsumsinya, tidak sebanding dengan manfaat yang didapat di masa depan insya Allah.

Dalam ensiklopedi Arab Internasional disebutkan, ‘Vaksin adalah serum yang mengandung unsur yang dapat memproduk kekebalan tubuh karena tubuh akan memproduk zat antibodi tertentu bagi penyakit tertentu. Antibodi tersebut melindungi seseorang apabila terkena virus yang menyebabkan penyakit.

Serum yang terdapat dalam vaksin tersebut mengandung zat yang kuat dan cukup bagi tubuh untuk memproduksi zat antibodi. Akan tetapi tidak sampai pada kekuatan yang mendatangkan penyakit. Sebagian besar virus mengandung bakteri yang menyebabkan penyakit atau virus yang telah mati, sebagian lainnya mengandung bakteri yang masih hidup, namun dalam kondisi lemah hingga tidak mengakibatkan penyakit. Serum macam ini dikenal dengan istilah toxin, dibuat dari racun yang diproduksi zat renik yang menyebabkan penyakit. Racun ini secara kimia dapat memberikan kekebalan tanpa menyebabkan sakit.

Kedua;

Hukum vaksin kembali kepada bahan baku yang digunakan dan akibat yang ditimbulkan. Perkara ini ada beberapa macam;

Pertama;

Yang berasal dari bahan baku yang boleh digunakan dan tampak manfaatknya. Hal ini tidak diragukan kebolehannya, bahkan termasuk nikmat Allah yang besar kepada makhluknya. Penemuan medis seperti ini telah berjasa besar menghalau epidemi sebuah penyakit.

Syekh Sa’ad bin Nashir Asy-Syitsri hafizahullah berkata,

“Termasuk perkara-perkara terkait penyebaran penyakit menular; Hukum menggunakan serum untuk diberikan dengan tujuan melindungi diri dari penyakit tersebut, maka kami katakan, ‘Vaksin yang diberikan itu ada dua macam,

Pertama; Yang telah diketahui manfaatnya berdasarkan pengalaman bahwa hal tersebut dapat melindungi atas izin Allah dari penyakit tersebut. Perkara seperti ini hukumnya sama dengan pengobatan lainnya, dan dia termasuk salah satu jenis pengobatan dan termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Berobatlah kalian.” Maka hal tersebut termasuk hukum berobat. Sebagian ahli fiqih meragukan masalah vaksin ini, dia berkata, ‘Vaksin ini adalah penyakit ringan yang dimasukkan ke dalam tubuh agar tubuh dapat melawan penyakit yang berat (sehingga tubuh terbiasa melawan penyakit). Mereka berkata, ‘Bagaimana kita membolehkan memasukkan penyakit ke dalam tubuh?’ Yang lebih kuat adalah bahwa perbuatan ini tidak mengapa, bahkan termasuk ibadah, karena memasukkan sesuatu yang berbahaya di sini tidak menimbulkan bahaya, justeru ada kebaikan untuk melindungi orang yang divaksin dari penyakit yang berat. Ini merupakan dalil tidak dilarangnya menggunakan vaksin.

(Hukum Fiqih Berkaitan Dengan Penyebaran Penyakit).

https://web.archive.org/web/20110604224336/www.al-adwa.net/?p=181

Perhatikan pula ucapan Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam jawaban soal no. 20276.

Apakah bahan bahannya berasal dari benda yang dibolehkan seperi virus atau bakteri atau semacamnya. Semua itu termasuk perkara yang boleh dikonsumsi apabila dampaknya bermanfaat.

Lihat hukum berobat dengan racun dan menggunakan vaksin dalam soal jawab, no. 109424.

Bagian Kedua;

Apabila bahan dasarnya berasal dari zat yang boleh digunakan, namun lebih banyak menimbulkan efek negatif ke tubuh dibanding manfaatnya, atau tidak ada manfaat sama sekali.

Vaksin seperti ini tidak diragukan lagi tidak boleh dikonsumsi. Karena kita dilarang mendatangkan bahaya bagi diri kita lewat makanan, minuman, obat-obatan atau selainnya.

Bagian Ketiga;

Apabila bahan dasarnya bersumber dari zat yang diharamkan atau dasarnya najis, akan tetapi diproses secara kimia atau ditambahkan zat lainnya sehingga berubah namanya dan sifatnya menjadi zat yang dibolehkan, atau apa yang disebut dengan istilah istihalah. Dan zat tersebut memberikan efek positif.

Disebutkan dalam Al-Mausu’ah A’alamiah, “Sebagian vaksin dibuat dari bagian atau zat yang dikeluarkan oleh sesuatu yang menjadi sumber penyakit. Sedangkan vaksin yang lain ada yang terdiri dari zat hidup yang mirip dengan zat yang menyebabkan penyakit. Bahan-bahan tersebut memberikan kekebalan, namun tidak menimbulkan penyakit.”

Vaksin-vaksin tersebut boleh dikonsumsi, karena proses istihalah (perubahan) telah merubah zat tersebut, baik nama maupun sifatnya, maka berubah pula hukumnya sehingga boleh digunakan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Adapun asap najis, maka hukumnya dikembalikan kepada asalnya, yaitu benda najis yang kotor, jika telah berubah hingga menjadi baik, maka dia seperti lainnya yang berasal dari benda yang halal. Seperti misalnya ada darah atau bangkai babi yang jatuh ke air asin, lalu menjadi garam yang halal sebagaimana umumnya garam.

Dalam hal ini, ulama memiliki dua pandngan.

Pertama; Tidak suci. Seperti pendapat Asy-Syafii, ini merupakan salah satu pendapat dalam Mazhab Malik dan pendapat ini yang terkenal dalam mazhab Ahmad, sedangkan dalam riwayat lain, mazhab ini berpendapat bahwa hal tersebut suci. Ini juga pendapat dalam mazhab Abu Hanifah.

Adapun kaum Zahiri dan lainnya, mereka berpendapat bahwa hal tersebut suci. Pendapat inilah yang benar. Karena benda (yang telah berubah nama dan sifatnya) tersebut tidak terkena nash pengharaman, baik dari segi lafadz atau makna. Maka dia bukanlah benda haram, tidak juga bermakna sebagai benda haram. Maka tidak ada alasan untuk mengharamkannya. Justeru dia lebih dekat kepada nash yang menghalalkannya, karena perkara thayib (baik), dari segi makna juga telah disepakati kehalalannya. Maka berdasarkan nash dan qiyas memberi makna bahwa benda tersebut halal.” Majmu Fatawa, 21/70-71.

Keempat:

Vaksinya yang terbuat dari bahan berbahaya dan diharamkan sedangkan pengaruhnya tidak dapat dipastikan. Para ahli kedokteran dan para pakar masih memperdebatkan manfaat dan kegunaannya.

Vaksin seperti ini tidak boleh dikonsumsi, karena kemungkinan dapat menyebabkan jiwa pada kehancuran dan penyakit.

Syekh Saad bin Nasir Ats-Tsitsri hafizahullah berkata,

Di antara perkara yang terkait dengan wabah penyakit menular adalah hukum menggunakan vaksin yang diberikan untuk memberikan perlindungan dari penyakit tersebut. Maka kami katakan bahwa vaksin terdiri dari dua macam;

Pertama, ………… (Telah disebutkan sebelumnya)

Kedua; Vaksin terhadap penyakit menular yang belum dapat dipastikan dampaknya dan belum dikenal hasilnya berdasarkan eksperimen atau masih diperdebatkan oleh kalangan medis dalam masalah ini sehingga belum dapat dijadikan patokan masyarakat atau tidak ada satu pendapat di antara pendapat mereka yang dikuatkan. Maka ketika itu kembali kepada asal, dilarang mengkonsumsinya, karena tidak dipastikan pengaruhnya dapat melindungi diri dari penyakit. Karena yang dipastikan adalah bahwa benda tersebut berbahaya, sebab kita memasukkan sesuatu yang berbahaya ke dalam tubuh dan belum dapat memastikan bahwa benda tersebut mendatangkan manfaat lebih besar. Karenanya, kami mencegah hal tersebut, karena tidak ingin membolehkan suatu perbuatan jika tidak hal tersebut dipastikan bahayanya, sedangkan manfaatnya belum teruji. Maka ketika itu, hal tersebut dilarang.”

(Ahkamu Fiqhiyyah Tata’allaqu bil Aubi’ah).

https://web.archive.org/web/20110604224336/www.al-adwa.net/?p=181

Wallahua’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam