Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

Apakah Orang Awam Boleh Mengkafirkan Orang Yang Mencela Agama Tanpa Merujuk Kepada Para Ulama?

178080

Tanggal Tayang : 01-01-2014

Penampilan-penampilan : 9707

Pertanyaan

Apakah bagi orang awam, apabila mendengar ada seseorang yang mencela Allah dan agama, atau Rasulullah shallalalhu alaihi wa sallam, mereka boleh mengkafirkan orang itu, tanpa Merujuk Kepada Para Ulama?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Tidak diragukan lagi bahwa mencaci Allah Ta'ala, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan tersebut, atau mencaci Rasul-Nya dan agama-Nya, merupakan kekufuran besar kepada Allah. Siapa yang melakukan hal tersebut maka dia telah berbuat kufur besar yang dapat mengeluarkannya dari agama. Jika dia mati dalam keadaan demikian sebelum bertaubat, maka dia termasuk ahli neraka yang kekal selama-lamanya.

Syekh Ibn Baz rahimahullah berkata, "Para ulama sepakat bahwa seorang muslim, kapan saja dia mencela agama, atau melecehkannya, atau mencela Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau meremehkannya, atau menghinanya, maka dia telah murtad, kafir, halal darah dan hartanya."

Fatawa Nurun Alad-Darb, Ibn Baz, hal. 139

Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah ditanya,

"Apa hukum orang yang mencela agama dan mencela Allah? Apa kaffarahnya? Perlu diketahui bahwa orang itu telah berkeluarga, apakaha dengan demikian haram baginya isterinya atau tertalak?

Beliau menjawab, "Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan tersebut merupakan sikap murtad dari Islam dan kekufuran kepada Allah yang berhak bagi pelakunya dikenakan hukuman mati atau dia bertaubat. Isterinya diceraikan darinya dan terputuslah hubungannya kepada kerabatnya. Dia tidak mewarisi dari mereka dan mereka tidak mewarisi darinya. Akan tetapi, jika dia taubat, menyesal, mohon ampun serta mengakui kesalahannya, Allah akan menerima taubatnya dan dia berhak rujuk kembali kepada isterinya jika belum selesai masa iddahnya. Jika telah habis masa iddahnya, wanita tersebut berhak atas dirinya, dan tidak halal baginya kecuali jika wanita itu ridha (dinikahi kembali)."

Fatawa Islamiyah, 3/533

Kedua:

Siapa yang mendengar langsung dengan mata kepala sendiri ada seseorang yang mencaci Allah secara terang-terangan, atau telah jelas baginya berbagai bukti atas hal tersebut, maka tidak mengapa dirinya meyakini kekafiran orang yang mengucapkannya. Karena itu bentuk cacian yang paling nista, tidak ada yang berani melakukannya kecuali orang yang benar-benar telah mencapai puncak kesesatan serta ditundukkan oleh sifat tercela dengan kedudukan Allah yang Maha Agung. Atau orang yang akalnya sudah tidak waras, tidak menyadari apa yang dia katakan.

Penghinaan seperti itu bukanlah masalah yang tersembunyi sehingga membutuhkan ketetapan hukum dari para ulama atau ijtihad atau pandangan. Tapi dia merupakan perkara yang tampak dan dapat diketahui orang yang bodoh atau orang pandai dan dianggap tercela oleh anak kecil maupun orang dewasa.

Akan tetapi, selayaknya dipertimbangkan tujuan syariat dalam mengingkari hal tersebut dan mengecamnya. Intinya adalah bagaimana menghilangkan kemungkaran tersebut atau mencegahnya dan berusaha menarik pelakunya ke jalan taubat dan kembali kepada Tuhannya, meskipun dia telah dianggap murtad dan keluar dari agama. Memintanya untuk bertaubat merupakan perkara yang telah diketahui dan ditetapkan. Maka seharusnya ada upaya untuk memberinya peringatan dan nasehat yang sesuai dengan kondisinya serta menjelaskan buruknya perbuatannya dan dipertimbangkan pula jalan yang ditempuh terhadapnya sesuai ketetapan syari dan sesuai kondisinya.

Al-Lajnah Ad-Daimah berkata:

"Mencaci agama, kita berlindung kepada Allah dari perbuatan tersebut, merupakan kekufuran yang nyata berdasarkan nash dan ijmak. Berdasarkan firman Allah Ta'ala,

أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ  (سورة التوبة: 5-6)

"Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman." (QS. At-Taubah: 5-6)

Serta ayat lain yang semakna. Orang tersebut wajib dinasehati dan diingkari perbuatannya. Jika dia menerima nasehat, alhamdulillah. Jika tidak, maka tidak boleh memberikan salam kepada orang yang mencaci agama dan tidak boleh menjawab salam jika dia memulainya. Undanganya tidak boleh disambut dan dia wajib dijauhi secara total hingga dirinya bertaubat. Atau dilaksanakan hukum Allah berupa hukum mati melalui keputusan pemerintah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

  من بدل دينه فاقتلوه ( خرجه البخاري في صحيحه، رقم 3017)

"Siapa yang mengganti agamanya, hendaknya kalian membunuhnya." (HR. Bukhari dalam shahihnya, no. 3017."

(Fatawa Allajnah Ad-Daimah, 2/12)

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, "Sesungguhnya, jika seseorang taubat dari dosa apa saja, walapun dosa karena mencaci agama, maka taubatnya akan diterima selama semua syaratnya terpenuhi sebagaimana kami sebutkan. Hendaknya perlu diketahui bahwa sebuah ucapan dapat dikatagorikan kufur dan murtad, akan tetapi belum tentu yang mengucapkannya dianggap kufur apabila ada faktor penghalang yang menghalanginya untuk ditetapkan kufur terhadapnya. Seseorang yang dikatakan mencaci agama dalam keadaan marah, maka kita katakan kepadanya, "Jika marah anda sangat besar, sehingga anda tidak menyadari apa yang anda katakan, dan anda tidak menyadari apakah anda berada di langit atau di bumi, dan anda mengucapkan kata-kata yang tidak anda ingat dan anda kenal, maka ucapan tersebut tidak ada hukumnya, dan orangnya tidak dapat dihukumi murtad, karena ucapan itu keluar tanpa dikehendaki. Semua ucapan yang keluar tanpa dimaksud, maka Allah Ta'ala tidak menghukumnya. Dia berfirman dalam masalah sumpah,

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ  (سورة البقرة: 225)

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu." (QS. Al-Baqarah: 225)

(Fatawa Nurun Alad-Darb, 2/24)

Untuk mengetahui batasan dalam menetapkan kufur, hendaknya diperiksa kembali jawaban soal no. 85102

Wallahu Ta'ala A'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam

Tema-tema Terkait