Alhamdulillah.
Pertama:
Taqiyah dengan arti yang sudah dikenal termasuk pilar Syiah itsnai asyariyah yang menyalahi ahlus Sunnah wal jamaah. Mereka keluar dari jalan yang lurus. Taqiyah dalam agama mereka adalah seseorang memperlihatkan berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya dalam beragama. Mereka menyandarkan kebohongan dan penipuan dalam agama Allah secara zalim dan permusuhan. Keyakinan ini bukan termasuk keyakinan ahlus Sunnah wal jamaah sedikit pun juga. Bohong menurut ahlus Sunnah termasuk sifat orang-orang munafik. Seseorang yang senantiasa berbohong dan membuat kebohongan akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong. Adapun mereka (syiah) berbohong dan membuat kebohongan dalam segala sesuatu kemudian mereka menjadikan hal itu sebagai keyakinan dan agama.
Manhaj ahlu Sunnah adalah berdiri atas kejujuran dan keadilan, bukan dengan kebohongan dari agama mereka alhamdulillah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Rafidhah termasuk kelompok yang paling bodoh, pembohong dan paling jauh dari mengenal manqul (quran hadits) dan ma’qul (akal). Mereka menjadikan taqiyah termasuk pilar agamanya. Mereka berbohong terhadap keluarga Nabi kebohongan yang tidak dapat dihitung kecuali Allah. Sampai mereka meriwayatkan dari Ja’far As-Sodiq bahwa beliau mengatakan, “Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku.” Taqiyah adalah syiar kemunafikan, karena hakekatnya menurut mereka adalah mengatakan dengan lisannya apa yang tidak ada dalam hati mereka. Ini hakekatnya adalah kemunafikan.” (Majmu Fatawa, 13/263).
Beliau juga mengatakan, “Syiah asal bid’ahnya dari kezindikan, penyelewengan dan sengaja berdusta kebanyakan di antara mereka. Mereka mengikrarkan hal itu seraya mengatakan, “Agama kami adalah taqiyah. Yaitu mengatakan dengan lisan apa yang berbeda dalam hatinya. Ini adalah kebohongan dan nifak. Meskipun begitu mereka menganggap mereka adalah orang yang beriman, tidak seperti penganut agama lainnya. Mereka menjuluki generasi pertama (sahabat) dengan riddah dan nifak! Hal itu seperti ungkapan, “Engkau mencelaku karena aib yang justeru ada pada dirimu.” Karena, tidak ada yang berpenampilan islam namun lebih dekat dengan kemunafikan dan riddah dibandingkan dengan mereka. Dan tidak dijumpai orang-orang murtad dan munafik di suatu kelompok yang lebih banyak dibandingkan dari kalangan mereka.” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah, 1/30).
Terdapat dalam ‘Al-Mausuah Al-Muyassarah’ dalam penjelasan tentang prinsip-prinsip Syiah (1/54), “Taqiyah bagi mereka –maksudnya syiah Imamiyah- termasuk di antara pilar agamanya. Siapa yang meninggalkannya seperti posisi orang yang meninggalkan shalat. Ia adalah wajib tidak boleh diangkat sampai keluarnya sang Imam (Mahdi). Siapa yang meninggalkannya sebelum keluarnya Imam Mahdi, maka dia telah keluar dari agama Allah Ta’ala dan agama Imamiyah.”
Dr. Nasir bin Abdullah Al-Qaffari mengatakan, “Al-Mufid mendefinisikan taqiyah menurut mereka dengan mengatakan ‘Taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan di dalamnya, menyembunyikan sesuatu di hadapan orang yang berbeda dengannya serta tidak memperlihatkan kepada mereka kalau berdampak jelek dalam agama dan dunia. Mufid mendefinisikan taqiyah dengan menyembunyikan keyakinan khawatir terkena keburukan dari orang yang berbeda dengannya –mereka adalah ahlus Sunnah sebagaimana ungkapan yang seringkali diungkapkan kalau dikatakan perkataan seperti ini menurut mereka – yakni menampakkan mazhab ahlus Sunnah (yang mereka anggap batil) dan menyembunyikan mazhab Syiah yang mereka anggap benar. Dari sini sebagian ahlus Sunnah berpendapat bahwa pemilik akidah ini lebih jelek dari orang-orang munafik. Karena orang munafik meyakini bahwa apa yang tersembunyi dari kekufuran adalah batil dan pura-pura menampakkan keislaman karena ketakutan. Sementara mereka berpendapat bahwa apa yang mereka sembunyikan adalah benar, bahwa metode mereka adalah metode para rasul dan para imam.” (Usul Mazhab Syiah Imamiyah, 2/805).
Kedua:
Ada taqiyah –seperti permikiran yang tiba-tiba ada atau keringanan yang dibutuhkan secara tiba-tiba- menurut ahlus Sunnah. Akan tetapi, ini berbeda dengan taqiyah versi Rafidhah, baik secara umum maupun terperinci. Hal ini menurut ahlus Sunnah, dalam kondisi terpaksa, berbeda pada asalnya. Saat dalam konsisi yang mendesak sekali.
Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Taqiyah adalah seorang hamba mengatakan berbeda dengan apa yang diyakininya untuk menghindari yang akan menimpanya apabila dia tidak berkata dengan cara taqiyah.” (Ahkamu Ahli Zimmah, 2/103).
Asal diperbolehkannya adalah firman Allah Ta’ala:
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً (سورة آل عمران: 28)
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (QS. Ali Imran: 28)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Firman Allah ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.’ Maksudnya adalah kecuali orang yang takut pada dalam suatu tempat atau masa dari kejahatan mereka. Dia dibolehkan menyelamatkan dirinya secara zahir, bukan batin dan niatannya. Sebagaimana yang diceritakan Bukhari dari Abu Darda bahwa beliau mengatakan, “Sungguh, kadang kami tersenyum di hadapan wajah suatu kaum sementara hati kami melaknatnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/30)
Terdapat dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah (13/186-187), “Mazhab jumhur ahlus Sunnah bahwa asal dari taqiyah adalah dilarang. Diperbolehkan dalam kondisi terpaksa, maka diperbolehkan sesuai dengan keterpaksaan. Qurtuby mengatakan, “Taqiyah tidak dihalalkan kecuali disertai ketakutan terbunuh atau mendapatkan penyiksaan yang berat. . tidak dinukil ada yang menyalahi hal itu sepengetahuan kami kecuali apa yang diriwayatkan dari Muadz bin Jabal dari para shahabat. Dan Mujahid dari kalangan tabiin.”
Ssyarat diperbolehkannya taqiyah menurut ahlus Sunnah apabila disana ada ketakutan terjadi sesuatu yang tidak disukai. Maksudnya orang yang terkena beban (mukallaf) tidak bisa selamat dari kejahatan kecuali dengan taqiyah. Disyaratkan juga, bencana yang terjadi padanya adalah yang akibatnya berat dia tanggung. Selayaknya bagi orang yang mengambil taqiyah memperhatikan bahwa kalau ada jalan keluar dengan tanpa melakukan sesuatu yang haram, harus dia lakukan hal itu. Juga jangan sampai dia larut di dalamnya melampaui batasan keringanan (rukhsoh) sehingga terjerumus dalam perkara yang diharamkan setelah masa daruratnya habis. Dasar dari perkara ini adalah firman Allah Ta’ala terkait orang yang terpaksa:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيم (سورة القرة: 173)
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Allah juga mengingatkan terkait taqiyah akan hal itu ketika berfirman:
لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَل ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ (سورة آل عمران: 28)
“Janganlah orng-orang mukmin mengambil orrang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan oang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperigatkan kamu tehadap diri (siksa)Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (QS. Ali Imran: 28)
Maka Allah mengingatkan dari diriNya agar orang yang berlindung tidak terjerumus dan terus menerus.
Juga memperhatikan niat, yaitu niat melakukan haram karena terpaksa. Sementara dia mengetahui hal itu haram, hanya saj dia melakukannya untuk mendapatkan keringanan Allah. Kalau dia melakukannya namun dia menganggap hal itu sepele dan tidak mengapa, maka dia terjerumus dalam dosa.”
(Silahkan merujuk kitab ‘Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 191-200).
DR. Nasir Qofari mengatakan, “Taqiyah dalam Islam seringkali digunakan terhadap orang kafir. Allah berfirman:
إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
“Kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” (QS. Ali Imran: 28)
Ibnu Jarir Tobari mengtakan, “Taqiyah yang Allah sebutkan dalam ayat ini, sesungguhnya taqiyah terhada orang-orang kafir, bukan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf berpendapat bahwa tidak ada taqiyah setelah Allah memuliakan Islam. Muaz bin Jabal dan Mujahid mengatakan, “Dahulu taqiyah waktu Islam masih baru sebelum kaum muslimin kuat. Adapun sekarang Allah telah memuliakan kaum muslimin, tak perlu lagi taqiyah.”
Akan tetapi taqiyah orang Syiah justeru terhadap orang-orang Islam, terutama dengan ahlus Sunnah. Sampai mereka berpendapat masa waktu yang utama adalah masa taqiyah sebagaimana yang telah ditetapkan Syekh mereka Al-Mufid. Sebagaimana anda perhatikan pada teks-teks mereka yang mereka sandarkan kepada para Imam. Karena mereka menganggap bahwa ahlus Sunnah lebih keras kekufurannya dibandingkan Yahudi dan Nasrani. Karena yang mengingkari imam dua belas itu lebih keras kekufurannya dibandingkan orang yang memungkiri kenabian. Taqiyah –masudunya menurut ahlus Sunnah – adalah keringanan (rukhsah) dalam kondisi terpaksa. Oleh karena itu Allah kecualikan –dari asal larangan dari berwala’ kepada orang kafir. Allah berfirman:
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Imran: 28)
Maka Allah Subhanahu melarang memberikan loyalitas kepada orang kafir dan mengancam hal itu dengan ancaman keras, dalam firman-Nya: “Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” Maksudnya siapa yang melanggar larangan Allah ini, maka Allah berlepas diri darinya kemudian Allah lanjutkan, “kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka.” Maksudnya kecuali kalau dia takut di suatu negara atau di suatu waktu dari kejahatan mereka. Maka dia diperbolehkan menampakkan secara zahir apa yang berbeda batin dan niatnya. Para ahli ilmu sepakat bahwa taqiyah itu keringanan dalam kondisi terpaksa. Ibnu Munzir mengatakan, “Mereka bersepakat (ijmak) bahwa orang yang dipaksa dalam kekufuran hingga dia takut terbunuh, lalu dia menyatakan kekufuran sementara hatinya tenang dengan keimanan, maka dia tidak dihukumi kafir. Akan tetapi orang yang memilih azimah (tetap berpegang teguh) pada posisi ini, maka itu lebih utama.”
Ibnu Bathol mengatakan, “Mereka (ahli ilmu) bersepakat (ijma’) bahwa orang yang dipaksa kekufuran lalu dia memilih dibunuh, maka pahalnya lebih agung di sisi Allah.”
Akan tetapi taqiyah menurut orang Syiah berbeda dengan ini. Menurut mereka, taqiyah bukan sekedar keringanan (rukhsoh) tapi termasuk rukun (pilar) agama mereka. Seperti shalat atau bahkan lebih agung lagi.” (Usul Mazhab Syiah Imamiyah, 2/806-807).
Kesimpulan:
Bahwa disana ada perbedaan besar antara taqiyah dalam agama Allah dan taqiyah dalam agama Rofidhah. Dalam Islam taqiyah adalah keringanan dalam kondisi terpaksa. Sementara menurut Syiah adalah sepersembilan puluh agama. Bahwa tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyah menurut mereka.
Ibnu Babawah mengatakan, “Keyakinan kami dalam bertaqiyah adalah wajib. Siapa yang meninggalkannya seperti posisi orang yang meninggalkan shalat.” (Al-I’tiqad, hal. 114).
As-Shadiq mengatakan, “Jika saya katakan, orang yang meninggalkan taqiyah seperti orang yang meningggalkan shalat, maka dia itu jujur (benar).” (Jamiul Akhbar, hal. 110, Bikharul Anwar, 75/ 414, 412).
Sungguh sangat jauh sekali beda di antara keduanya.
Wallahu’alam .