Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Kitab Yang Dinisbahkan Kepada Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- Dalam Masalah Tafsir Adalah Palsu

179020

Tanggal Tayang : 02-12-2015

Penampilan-penampilan : 22036

Pertanyaan

Apakah seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Abbas –radhiyallu ‘anhuma- menulis tafsir dengan judul “Tafsir Ibnu ‘Abbas”? Dan apakah kejadian “al Gharaniiq” yang disebutkan dalam Fathul Baari adalah benar?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Kitab tersebut yang dikenal dengan sebutan “Tafsir Ibnu Abbas” adalah kitab palsu hasil karangan. Tidak sah dinisbahkan kepada Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-, tidak diketahui juga bahwa beliau menulis buku tafsir maupun buku lainnya.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- bekata:

“Dan Musa bin Abdur Rahman –Ats Tsaqafi ash Shan’ani- termasuk mereka para pendusta. Abu Ahmad bin ‘Ady berkata tentang dia: “Haditsnya mungkar”. Abu Hatim Ibnu Hibban berkata: “Dajjal yang memalsukan hadits, ia memalsukan dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu ‘Abbas tentang kitab tafsir, ia mengumpulkannya dari al Kalbi dan Muqatil”. (Majmu’ Fatawa: 1/259)

As Suyuthi –rahimahullah- berkata: “Selemah-lemah jalurnya, yaitu; jalurnya tafsir dari Ibnu ‘Abbas adalah jalur al Kalbi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas, dan jika digabung dengan riwayat Muhammad bin Marwan as Sudi as Shagir, maka ia adalah jalur kedustaan”. (al Itqan fi ‘Ulumil Qur’an: 2/497-498)

Syeikh Muhammad Husain adz Dzahabi –rahimahullah- berkata: “Telah dinisbahkan kepada Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- sebagian besar dari sebuah kitab tafsir, dan dicetak di Mesir berkali-kali dengan nama: “Tanwir Miqyas min Tafsir Ibni Abbas”, disusun oleh Abu Thahir Muhammad bin Ya’kub al Fairuuz Abadi asy Syafi’i, pengarang kamus al Muhith. Saya sudah meneliti tafsir tersebut, maka saya mendapatkan penyusunnya menulis ketika menafsiri al Basmalah riwayatnya dari Ibnu Abbas dengan sanad seperti ini: “Abdullah ats Tsiqah bin Ma’mun al Harwi mengabarkan kepada kami bahwa ia berkata: Ayahku mengabarkan kepadaku dan berkata: Abu Abdillah Mahmud bin Muhammad ar Raazi ia mengabarkan kepada kami dan berkata: ‘Ammar bin Abdul Majid al Harwi telah mengabarkan kepada kami dan berkata: Ali bin Ishak as Samarqandi telah mengabarkan kepada kami dari Muhammad bin Marwan as Sudi as Shaghir, dari Muhammad bin as Saib al Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas.

Dan ketika mentafsiri awal surat al Baqarah saya mendapatkan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak ia berkata: Ali bin Ishak as Samarqandi meriwayatkan kepada kami dari Muhammad bin Marwan dari al Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas. Dan pada setiap awal surat berkata: dan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas.

Beginilah yang nampak jelas bagi kami bahwa semua yang ia riwayatkan dari Ibnu Abbas dalam kitab ini hanya seputar Muhammad bin Marwan as Sudi ash Shaghir dari Muhammad as Sa’ib al Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas”. (At Tafsir wal Mufassirun: 2/20)

Ia juga berkata:

“Seorang yang menentang tidak perlu menyanggah kami tentang tafsir Ibnu Abbas; karena tafsir tersebut tidak sah dinisbatkan kepada beliau, akan tetapi disusun oleh al Fairuz Abadi. Penisbatan kepada Ibnu Abbas adalah sengaja dilakukan dengan menyandarkan pada riwayat yang lemah, yaitu; riwayat Muhammad bin Marwan as Sudi dari al Kalbi dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas”. (at Tafsir wal Mufassirun: 2/6)

Telah diriwayatkan dari Syeikh Abdullah al Amin asy Syinqithi, anak pengarang buku “Adhwa’ul Bayan” bahwa tafsir (Ibnu Abbas tersebut) tidak disusun oleh Al Fairuz Abadi, karena manuskripnya sudah ada sebelum al Fairuz Abadi. (Bisa dibuka pada link berikut ini: www.ahlalhdeeth.com)

Terkait dengan As Sudi ini: Adz Dzahabi berkata tentang biografinya adalah sebagai berikut: “Muhammad bin Marwan as Sudi al Kuufi, ia adalah as Sudi ash Shaghir meriwayatkan dari Hisyam bin Urwah dan al A’masy. Mereka banyak yang meninggalkannya, sebagian mereka menuduhnya sebagai orang yang berdusta. Ia adalah teman al Kalbi”. (Mizan I’tidaal: 4/32)

Sedangkan al Kalbi ia adalah: “Muhammad bin sa’ib al Kalbi, Abu Nadhr al Kuufi seorang mufassir, pemalsu yang terkenal”.

Sufyan berkata: “Al Kalbi berkata kepadaku: Semua yang saya riwayatkan kepadamu dari Abu Shaleh adalah bohong”.

Ahmad bin Zuhair berkata: “Saya berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal: Apakah dihalalkan melihat tafsir al Kalbi ?, ia menjawab: “Tidak”.

Ibnu Hibban berkata: “Madzhabnya dalam masalah agama dan kedustaan yang jelas di dalamnya lebih nampak dari pada kebutuhan untuk mendalami sifat-sifatnya, ia meriwayatkan dari Abu Shaleh dari Ibnu Abbas tentang tafsir, dan Abu Shaleh belum pernah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, al Kalbi juga tidak mendengar dari Abu Shaleh kecuali huruf per huruf, tidak sah disebutkan di dalam sebuah kitab, apalagi dijadikan dalil?!”. (Mizan I’tidal: 3/557-559)

Ibnu Mu’in berkata: “Di Irak ada sebuah buku yang selayaknya dikubur, yaitu: Tafsir al Kalbi dari Abu Shaleh”. (Mizan I’tidal: 1/645)

Disana terdapat sebagian amal yang bermanfaat yang mengumpilkan riwayat dari Ibnu Abbas dalam masalah tafsir, yang tidak dibutuhkan seperti buku yang penuh dengan kedustaan ini, di antaranya adalah kitab “Tafsir Ibnu Abbas wa Marwiyyatuhu fit Tafsir min Kutub Sunnah, pengarangnya adalah Abdul Aziz bin Abdullah al Humaidy. Juga ada kitab “Ibnu Abbas wa Manhajuhu fit Tafsir, wa Tafsiratuhus Shahihah fi Tsulusil Awwal Minal Qur’an” pengarangnya adalah Adam Muhammad Ali.

Kedua:

Kisah “Gharaniq” para ulama telah berbeda pendapat, ada yang menetapkannya dan ada yang menafikannya. Ada sebagian tabi’in menyatakan kebenaran tentang “gharaniq” di antaranya adalah Sa’id bin Zubair, Abu Bakr bin Abdur Rahman bin al Harits, Abu ‘Aliyah, Qatadah dan Zuhri.

Akan tetapi tidak diriwayatkan dengan riwayat yang shahih melalui sanad yang lengkap dengan menyebutkan salah seorang sahabat.

Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: “Banyak para mufassir telah menyebutkan kisah “al Gharaniiq”, dan banyak kembalinya para muhajirin dari Habasyah; karena mereka mengira bahwa orang-orang musyrik Quraisy telah masuk Islam, akan tetapi dari jalur yang semuanya mursal, kami tidak melihatnya diriwayatkan dengan sanad yang shahih, wallahu a’lam”. (Tafsir Ibnu Katsir: 5/441)

Bisa jadi dikatakan: “Ini adalah kisah yang agung yang mewajibkan untuk diperhatikan periwayatannya jika riwayat tersebut shahih. Karena tidak diriwayatkan tidak juga dengan satu pun sanad yang shahih, maka hal itu sudah cukup untuk dihukumi bahwa kisah tersebut tidak benar”.

Dan bisa juga dikatakan: “Untuk menganggapnya benar cukup dengan pernyataan beberapa ulama salaf dengan sanad yang benar dari mereka, apalagi ditambah dengan sanad yang lemah yang diriwayatkan oleh mereka, inilah yang menunjukkan bahwa kisah tersebut memiliki dasar yang kuat”.

Bisa juga dikatakan sebagai jalan tengah: “Kalau misalnya kisah tersebut benar, maka hal itu merupakan bisikan syetan kepada telinga orang-orang kafir, tidak melalui sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“.

Dan sepertinya pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.

Lihat juga jawaban soal nomor: 4135 dan 103304.

Wallahu a’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam