Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Telah Meyepakati Bahwa Maharnya Adalah Ibadah Umrah Akan Tetapi Dia Belum Menepati Janjinya

180016

Tanggal Tayang : 07-04-2015

Penampilan-penampilan : 10291

Pertanyaan

Saya menikah semenjak dua tahun yang lalu, dan dahulu mahar yang saya minta dari suami saya pada saat itu adalah melaksanakan ibadah umrah saya dan suami saya. Suami saya sepakat dan dia memberikan kepada saya sejumlah uang untuk saya simpan hingga pada saat yang tepat untuk melaksanakan umrah maka kita akan berangkat bersama-sama. Akan tetapi sangat disayangkan suatu saat dia marah kepada saya dan memita kembali uang yang pernah diberikan kepada saya dan dia membelanjakannya untuk sesuatu yang lain, dan ketika saya membuka pembicaraan tentang masalah ini dia langsung marah dan menjadi-jadi, dan kemudian mendorong saya untuk segera menutup pembicaraan tersebut. Lalu beberapa kali dia berusaha untuk memberikan kepada saya sesuatu yang lain agar saya mundur dari keinginan menjalankan ibadah umrah, akan tetapi saya menolak, maka bagaimanakah hukum perbuatannya ini ? Terlebih lagi saya telah membatalkan pembiayaan umrah saya yang dia berikan dan mengatakan kepadanya: Saya akan menanggung biaya umrah saya sendiri, sehingga dia tidak punya dalih untuk menunda-nunda dan menangguhkan keberangkatan umrah.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

.. 

Pertama : 

Tidak jadi masalah seorang istri mensyaratkan agar maharnya berupa ibadah umrah. Di dalam fatwa-fatwa Al Lajnah Ad Daaimah (19/37) disebutkan: “Tidak ada larangan bagi anda apabila anda mensyaratkan mahar anda berupa ibadah umrah, karena terdapat riwayat dalam shahih Bukhari dan Muslim: 

أن النبي صلى الله عليه وسلم زوج رجلا من أصحابه بامرأة على ما معه من القرآن

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu Alaihi wasallam menikahkan seorang lelaki dari sahabat beliau dengan seorang wanita berdasarkan apa yang dia hafalkan dari Al Qur’an.” 

Al Lajnah ad Daaimah Lilbuhuts al Ilmiyyah wal Ifta:

Anggota: Bakar Abu Zaid, Anggota : Shalih al Fauzan, Wakil Ketua : Abdullah bin Ghadyaan, ketua: Abdul Aziz bin Abdullah Alus Syaikh...

Dan untuk tambahan pengetahuan lihat jawaban soal no. 150807

Kedua : 

Tidak halal bagi seorang suami mengambil sesuatu dari apa yang telah diberikan kepada istrinya dari maharnya, dan tidak halal juga bagi suami membuat istrinya tidak nyaman yang menjadikannya membatalkan sesuatu dari mahar ; Allah Ta’ala berfirman : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا * وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا * وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا (سورة النساء: 18-20)

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An Nisaa: 19-21). 

Syaikh As Sa’di Rahimahullah berkata :

“Penjelasan dari ayat tersebut: Sesungguhnya seorang istri sebelum dilangsungkan akad nikah dia masih haram atas suaminya dan dia belum ridha dengan kehalalannya untuk suaminya sebelum mahar dibayarkan suami bagi dirinya. Maka jika suami masuk kepadanya dan berhubungan suami-istri dengannya padahal sebelumnya hal tersebut diharamkan, seorang istri tidak ridha menyerahkannya melainkan dengan pengganti  yang berupa mahar tersebut, maka sesungguhnya dia telah memenuhi syarat untuk mendapatkan pengganti atas suami.  Maka bagaimana bisa, syarat pergantian sudah dipenuhi, lalu kemudian suami meminta kembali pengganti yang telah diberikan? ini merupakan kedzaliman yang terbesar.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 172 ) 

Dan dari Uqbah bin ‘Amir dia berkata Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :

إِنَّ أَحَقَّ الشَّرْطِ أَنْ يُوفَى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ (رواه البخاري، رقم 2721 ومسلم، رقم 1418(

“Sesungguhnya syarat-syarat Yang paling berhak kalian penuhi adalah ketika kalian memenuhi – haknya – sesuatu yang menjadikan halal bagi kalian kehormatan wanita.” (HR. Bukhari, no. 2721 dan Muslim, no. 1418) 

Akan tetapi apabila ada sebab-sebab yang menghalangi suami untuk safar dalam melaksanakan ibadah umrah pada waktu mendatang maka tidak ada salahnya dia menunda sampai ada peluang dan waktu yang dimudahkan, demikianlah jika memang dia belum mendapatkan ongkos untuk pelaksanaan umrah. 

Dan apabila antara suami dan istri sepakat bahwa suami akan memberikan kepada istri uang atau harta benda yang lain sebagai pengganti ibadah umrah, maka tidak ada dosa bagi keduanya dalam hal tersebut. 

Dan jika istri membatalkan maharnya atau sebagian dari mahar bagi suaminya, maka yang demikian dibolehkan apabila hal itu berasal dari kerelaan dan kebaikan hatinya. 

Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Dan apabila seorang istri merelakan semua mahar yang menjadi kewajiban atas suaminya atau sebagiannya atau menghibahkannya untuk suami setelah dalam kendalinya, maka hal tersebut dibolehkan dan dibenarkan, dan kami tidak mengetahui ata perbedaan dalam hal ini, sebagaimana Firman Allah Ta’ala: 

إلا أن يعفون

“Melainkan apabila mereka merelakannya ” 

Maksudnya mereka adalah para istri-istri. 

Dan Allah Ta’ala berfirman : 

فإن طبن لكم عن شيء منه نفساً فكلوه هنيئا مريئاً

“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” 

Imam Ahmad berkata dalam riwayat Al Marwadzi: Tidak ada sesuatu apapun bagi suami -  Allah Ta’ala berfirman:

فكلوه هنيئاً مريئاً

“Maka makanlah ( ambillah ) pemberian itu ( sebagai makanan ) yang lezat lagi baik.” 

Selain mahar, yang telah dihibahkan oleh istri kepada suaminya. Dari kitab Al Mughni (7/196). 

Dan atas suami seharusnya dia bertakwa kepada Allah Ta’ala dan hendaknya dia menepati dengan janji yang telah disepakati dan tidak boleh mengingkarinya, karena mengingkari janji merupakan salah satu dari sifat-sifat orang munafik, kita memohon kepada Allah Ta’ala keselamatan dan kesehatan dan bisa dilihat jawaban soal nomer ( 30861 ).

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam