Alhamdulillah.
..Pertama :
Sesungguhnya suami yang istrinya wajib meminta izin kepadanya manakala dia ingin keluar rumah adalah suami yang memiliki hak untuk melarang. Ketetapan hak tersebut tidak berlaku kecuali jika suami telah melunasi mahar yang belum terbayarkan, menyediakan tempat tinggal dan memberikan nafkah kepada istrinya.
Dari pertanyaan saudari penanya serta apa yang dipaparkannya perihal suaminya menjadi jelas bahwa dia tidak memiliki hak kepada istrinya untuk mencegah dan menahannya. Maka dalam hal ini istri berhak menolak untuk menuruti dan menyerahkan dirinya kepada suaminya sebelum suaminya menunaikan hak-hak dan kewajibannya kepada istrinya.
Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata, “Para ulama bersepakat bahwa bagi istri berhak untuk menolak keinginan senggama suaminya sebelum dia membayarkan maharnya.”
(Dari kitab “Al Ijma”, hal. 77. Anda dapat melihat dua jawaban soal no. 106150, 69937 ).
Jika terdapat ketetapan hak bagi istri untuk menolak penyerahan dirinya kepada suaminya, maka baginya tidak ada kewajiban untuk meminta izin kepada suaminya ketika dia hendak keluar rumah maupun hendak bepergian.
Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata, “Terkait masalah yang kami bicarakan tentang istri, maka dia berhak menolak penyerahan dirinya kepada suaminya dan dia dibolehkan bepergian tanpa seizin suaminya, karena suami tidak memiliki hak untuk melarang (jika belum tunaikan kewajibannya). Maka seakan-akan istri tersebut tidak memiliki suami. Jika masih ada sisa kewjiban pada suami – yaitu berupa mahar istri yang belum terbayarkan – walau hanya sejumlah satu dirham, maka hal itu seakan-akan belum terlunasi semua. Karena setiap yang baginya memiliki ketetapan untuk menahan semua pengganti, maka baginya ketetapan untuk menahan sebagiannya sebagaimana halnya hutang-hutang ”
(Dari kitab Al Mughni, 7 / 261. Lihat juga kitab Badai’us Shonai, 4/19).
Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata, “Apabila istri rela untuk tinggal bersama suaminya dengan kondisi semacam itu, tidak ada kewajiban bagi istri untuk melayani jimak dengan suaminya, karena dia belum menyerahkan mahar kepada istri, sehingga istri tidak ada kewajiban menyerahkan –kehormatan– nya. Sebagaimana seorang pembeli yang merasa berat dengan harga barang yang diperjualbelikan, maka sang penjual tidak ada kewajiban untuk menyerahkan barang tersebut kepadanya, sehingga wajib atas suami melepaskan jalannya dan membiarkannya mencari nafkah yang selanjutnya bisa menghasilkan sesuatu yang dipergunakan untuk membiayai dirinya. Karena sesungguhnya mengekangnya dengan tanpa diberikan nafkah akan menyakitinya. Apabila istri berkecukupan, maka tidak ada hak bagi suami untuk mencegahnya, karena dia baru memiliki hak untuk menahannya manakala dia telah mencukupi segala kebutuhan istrinya, dan memberinya kecukupan dari hal-hal yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya. Demikian juga dengan kebutuhan biologis, suami yang wajib dilayani oleh istri. Namun apabila dua perkara ini belum terpenuhi, suami tidak memiliki hak untuk menahan dan mencegahnya.”
(Dari kitab Al Mughni, 8/207. Dan lihat juga kitab Kassyaful Qina, 5/477). Lihat pula jawaban soal no. 119496 .
Kedua :
Suami memiliki hak untuk melarang istrinya bekerja di luar rumah, kecuali jika istri telah mengutarakan syarat sebelumnya bahwa dia akan tetap bekerja setelah menikah, atau dia akan melanjutkan profesinya, maka wajib bagi suami untuk menepati syarat tersebut, Allah ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ (سورة المائدة: 1)
“Wahai orang-orang yang beriman tepatilah oleh kalian janji-janji kalian.” (QS Al Maidah: 1)
Syekh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah berkata, “Suami memiliki hak untuk mencegah istrinya dari profesi mengajar, kecuali jika istri mensyaratkan kepadanya pada saat akad nikah bahwa dia akan tetap mengajar atau menjadi staff pengajar setelah pernikahan dan suami menerima syarat tersebut, maka wajib bagi suami menepati janji ini, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :
إنَّ أَحَقَّ مَا أَوْفَيْتُمْ مِنْ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوجَ ) متفق عليه(
“Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah syarat yang karena itu dihalalkan bagi kalian kemaluan wanita ” (Muttafaq Alaihi, dari kitab “As Syarhul Mumti’ ala Zaadil Mustaqni, 12 / 425-426). Anda juga bisa lihat jawaban soal no. 126316).
Wallahu A’lam.