Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Beberapa Permasalah Tentang Hukum Makelar dan Mediator Bisnis

Pertanyaan

Apa hukum makelar mengambil komisi dari dua belah pihak atau salah satu pihak tanpa sepengetahuan pihak yang lainnya?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama.

Upah makelar dan mediator boleh diambil dari penjual atau pembeli, atau dari keduanya sesuai dengan syarat yang ditentukan dan adat kebiasaan yang mengatur. Inilah pendapat yang dianut oleh madzhab Maliki. Menurut mereka (madzhab Maliki), jika belum disyaratkan atau belum ada adat kebiasaan yang mengatur, maka upah makelar diambil dari penjual saja.

Dr. Abdurrahman Shalih Al-Athram Hafizhahullah mengatakan, “Jika tidak ada kesepakatan atau aturan yang berlaku di masyarakat, pendapat yang lebih tepat, komisi makelar menjadi tanggungan orang yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator. Jika penjual yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator, maka komisi menjadi tanggungan penjual. Jika pembeli yang memerintahkannya, maka pembayaran komisi mengikatnya. Demikian juga, jika keduanya, penjual dan pembeli, menjadikannya sebagai mediator mereka, maka komisi berasal dari keduanya.”
(Kitab Al-Wasathah At-Tijariyah, hal. 382).

Silahkan lihat kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi (3/129).

Dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (13/129) disebutkan, “Banyak sekali perdebatan seputar besaran komisi yang diambil oleh makelar. Ada yang mengatakan 2,5 % dan ada yang mengatakan 5%. Berapakah besaran komisi yang sesuai dengan syariat, ataukah hal itu sesuai dengan kesepakatan antara penjual dan makelar?”

Jawaban, “Jika tercapai kesepakatan antara makelar, penjual, dan pembeli bahwa makelar  menerima komisi dari pembeli atau penjual, atau dari keduanya, dengan besaran upah tertentu, maka hal itu diperbolehkan. Tak ada batasan untuk besaran upah dengan persentase tertentu. Berapa pun besarannya diperbolehkan, selama disepakati dan  disetujui oleh pihak yang menyerahkan upah. Akan tetapi, diharapkan upah tersebut tetap berada dalam batasan yang berlaku di masyarakat, dengan besaran yang memberikan manfaat kepada broker sebagai kompensasi atas mediasi dan upaya yang telah dikerahkannya untuk menyukseskan transaksi antara penjual dan pembeli. Besaran upah bagi broker juga diharapkan tidak memberatkan penjual atau pembeli karena adanya tambahan yang melebihi kebiasaan.”

Bakr Abu Zaid, Shalih Al-Fauzan, Abdul Aziz Ali Syaikh, Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Kedua.

Jika makelar bekerja kepada salah satu pihak yang bertransaksi, ia tidak boleh berkonspirasi dengan pihak lain untuk menambah atau mengurangi harga transaksi, karena hal itu termasuk penipuan dan pengkhianatan. Terlebih lagi jika makelar diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan transaksi (kontrak). Ia adalah wakil dalam kondisi tersebut. Wakil adalah orang yang diberikan kepecayaan, sehingga setiap keuntungan yang dihasilkan diberikan kepada orang yang menjadikannya sebagai wakil.
Dikatakan dalam kitab Mathalib Ulin Nuha (3/132), ”Status hibah (pemberian) dari penjual yang diberikan kepada wakil yang membeli barang darinya seperti pengurangan harga, sehingga nilai hibah tersebut disertakan pada akad karena diperuntukkan bagi orang yang menjadikannya wakil.”

Jika kewenangan broker terbatas pada kegiatan memandu penjual atau pembeli, tanpa diberi kewenangan untuk melaksanakan transaksi (akad); serta tidak ada harga spesifik yang ditetapkan bagi broker, tapi ia diminta untuk mencari harga yang terbaik –baik harga penjualan atau harga pembelian-, maka konspirasi yang dilakukannya bersama dengan selain pihak yang mempekerjakannya merupakan kecurangan dan pengkhianatan.

Silahkan lihat kitab Al-Wasathah At-Tijariyah, karangan DR. Abdurrahkan bin Shalih Al-Athram, hal. 115.

Ketiga.

Jika broker bekerja untuk salah satu pihak yang bertransaksi dengan imbalan tertentu, maka ia tidak wajib memberitahukannya kepada pihak yang lain meski imbalan tersebut dibebankan ke dalam harga transaksi selama besarannya tidak mencolok (ziyadah fahisyah) yang menyebabkan kerugian. Maka hal ini dilarang.

Jika penjual berkata, Juallah barang ini dengan harga 100, dan komisimu sebesar 10 dari harga tersebut.’ Jika ternyata barang itu di pasaran hanya seharga 90, broker tidak wajib memberitahukan besaran komisinya kepada pembeli selama ia menyetujui harga barang tersebut, serta tidak terdapat kecurangan dan penipuan.

Sejumlah ahli fikih menegaskan bahwa upah broker berasal dari biaya yang dibebankan pada harga dalam transaksi murabahah yang berdasarkan pada amanah untuk menginformasikan harga transaksi. Tentu lebih layak hal itu diterapkan dalam hal upah broker yang dibebankan pada harga transaksi dalam transaksi jual-beli yang masih terjadi tawar-menawar harga, dimana tidak ada kewajiban untuk menginformasikan harga yang sebenarnya.

Al-Kasani mengatakan tentang jual-beli Murabahah, “Tidak apa-apa jika upah orang yang memutihkan, orang yang mewarnai, orang yang mencuci,  orang yang membuat tali, orang yang menjahit, orang yang menjadi perantara, orang yang menggembalakan kambing, harga sewa, ongkos yang dihabiskan untuk makan, pakaian, dan item lain yang diperlukan budak pekerja secara wajar, dan pakan hewan disertakan dalam modal suatu barang dan barang itu lalu dijual secara murabahah atau tauliyah dengan menyertakan semua upah di atas dengan mempertimbangkan aturan yang berlaku di masyarakat; karena kebiasaan yang dipraktikkan para pedagang adalah mereka menyertakan seluruh item tersebut ke dalam modal dan menganggapnya sebagai bagian dari modal.” (Bada’i’us Shanai’, 5/223).

Syaikh Khalid Al-Musyaiqih Hafizhahullah pernah ditanya, “Saya mempunya kantor di salah negara timur, pekerjaannya sebagai wakil antara penjual dan pembeli. Pembeli datang dari berbagai negara. Saya membantu pembelian dan pengiriman. Sebagai imbalannya, saya diberikan komisi yang telah disepakati. Apakah komisi ini halal ataukah haram? Kalau sekiranya saya mengambil komisi dari perusahaan setelah akad (kontrak) ditulis dan disetujui oleh pembeli, akan tetapi komisi ini diambil tanpa sepengetahuan pembeli? Terima kasih.”

Beliau menjawab, “Segala puji hanya milik Allah semata. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah. Amma ba’du. Komisi yang Anda ambil ini adalah upah makelar. Upah bagi makelar ini asalnya hukumnya boleh. Hal itu berdasarakan firman Allah Azza wa Jalla,

يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود

المائدة:1

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah : 1).

Juga firman Allah Ta’ala,

وأحل الله البيع وحرم الربا 

البقرة:275

“...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah : 275).

Juga sabda Nabi Shallallahu ’Alaihi wa Sallam,

المسلمون على شروطهم رواه الترمذي (1352) وأبو داود (3594) وغيرهما من حديث عمرو بن عوف المرني - رضي الله عنه -

“Orang-orang Islam itu sesuai dengan persyaratannya.” (HR. At-Tirmidzi (1352) Abu Dawud (3594) dan lainnya dari hadits Amr bin Auf Al-Muzani Radhiyallahu ’Anhu).

Kecuali kalau mengandung larangan agama, seperti menyalahi aturan yang mengenai penduduk suatu negara, atau menyalahi aturan yang harus dipenuhi kedua pihak yang berakad (baik penjual maupun pembeli), dan seterusnya. Yang penting, kalau di sana ada penyimpangan yang telah sama-sama diketahui oleh kedua belah pihak atau yang telah disepakati oleh kedua belah pihak atau adat kebiasaan yang telah dikenal di negara itu, bahwa dia tidak diperbolehkan mengambil komisi (upah) dari perusahaan jika dia telah mengambil upah dari pembeli. Dan begitulah, dia tidak diperbolehkan. Kalau tidak ada hal semacam itu, maka hukum asalnya adalah mubah.” (Fatawa Al-Islam Al-Yaum).

Selayaknya ada pengecualian dari hal itu apabila ada resiko (bahaya) yang menimpa pembeli atau salah satu pihak, dikarenakan mahalnya upah makelar atau terlalu makelar mendominasi akad dalam rangka menjaga kemaslahatannya.

Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar As-Syinqithi Hafizhahullah ditanya, “Ada orang ingin menjual tanah dengan harga 100, kemudian orang lain (makelar) mengatakan, ‘Saya menjualkannya 120 untukmu. Saya akan memberitahu pembeli bahwa pemilik tanah ingin harga 120.” Jual beli pun terlaksana. Kemudian penjual memberikan 100 dan dia (makelar) mengambil 20 di samping tambahan prosentasi upah dari pembeli. Apakah hal ini sah? Terima kasih. Semoga Allah memberikan pahala kepada Anda.”

Beliau menjawab, “Permasalahan ini banyak sekali yang menanyakan.

Pertama, terkait dengan pemilik tanah yang sebenarnya. Kalau dia mengatakan kepada Anda, “Juallah seharaga 100, maka hendaknya Anda memperhatikan kepentingan saudara-saudara anda kaum Muslimin, terutama kalau anda dapatkan mereka membutuhkan tanah ini, atau orang-orang yang akan membelinya membutuhkan dana. Maka hendaknya Anda bertakwa kepada Allah. Ini termasuk nasihat untuk semua kaum Muslimin.

Tidak selayaknya seseorang itu terlalu tamak tanpa melihat hak-hak dan kebutuhan saudara-saudaranya. Kalau orang lain melakukan hal itu kepada dirinya, dia tidak akan rela dengan hal ini. Seorang Muslim itu mencintai sesuatu pada saudaranya sebagaimana dia mencintai sesuatu pada dirinya sendiri. Ia membenci sesuatu pada saudaranya sebagaimana dia membenci sesuatu pada dirinya sendiri. Selayaknya dia tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan padahal mampu menjualnya dengan harga lebih murah.” Beliau melanjutkan, “Yang lebih utama adalah bertakwa kepada Allah dalam masalah saudara-saudaranya. Jangan menjadikan keuntungan pribadinya merusak (harga) di pasaran.” (Syarh Zadul Mustaqni’).

Sebaiknya dikecualikan juga dari masalah tersebut, yaitu kalau seandainya pembelinya adalah teman atau kerabat yang berbaik sangka kepada si makelar. Si pembeli sama sekali tidak tahu masalah kemakelaran dan pengambilan komisi, maka penawaran yang disertai sanjungan yang dilakukan si makelar terhadap barang dagangan itu termasuk penipuan kepadanya.

Dr. Shalah As-Shawi pernah ditanya, “Saya mengambil sejumlah uang sebagai komisi tanpa sepengetahuan pihak pembeli, apakah hal ini haram atau halal?”

Beliau menjawab, ”Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat serta orang yang loyal kepadanya. Amma ba’du.

Sesungguhnya pada dasarnya komisi makelar itu halal, jikalau transaksi yang dimediasikannya adalah transaksi yang disyariatkan. Akan tetapi, masalah yang Anda tanyakan itu berbeda dengan kondisi kenyataan. Kalau pembeli berasumsi kepada Anda bahwa pekerjaan ini sukarela tanpa ada balasan, karena sebelumnya ada ikatan kedekatan, maka selayaknya Anda mengambil komisi yang tidak diperkirakan oleh pembeli. Sementara kalau permasalahannya tidak seperti itu, maka pada dasarnya komisi itu halal.

Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam