Kamis 25 Jumadits Tsani 1446 - 26 Desember 2024
Indonesian

Pertanyaan Tentang Pengasuhan Anak

Pertanyaan

Saya tahu bahwa pasangan suami istri jika bercerai, maka pihak wanita mempunyai hak terbesar atas pengasuhan anak, akan tetapi jika ia menikah lagi maka hak suami menjadi lebih besar. Pertanyaan saya adalah bahwa seorang ayah jika belum menunaikan hak nafkah kepada anak-anaknya, maka apakah ia masih mempunyai hak untuk mengambil anak-anaknya dari ibu mereka ?, saya berbicara tentang seseorang yang berkata bahwa ia mampu menafkahi. Ia menikah dengan wanita lain dan dengannya ia mempunyai satu anak, dan ia memberi nafkah kepada anak tersebut akan tetapi tidak memberi nafkah kepada dua anaknya dari istri sebelumnya. Ia berkata kepada istri pertamanya bahwa jika ia telah menikah lagi maka ia akan mengambil anak-anaknya, maka apakah hal ini benar ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Termasuk ijma’ di antara para ulama, bahwa seorang wanita lebih berhak untuk pengasuhan anak selama ia belum baligh dan mumayyiz, bahwa seorang anak pada periode usia ini membutuhkan kasih sayang dan pengasuhan yang tidak mampu melakukannya kecuali para wanita, akan tetapi hak ini akan gugur jika ia telah menikah lagi; karena ia akan sibuk dengan suaminya untuk melayani anaknya, dan karena bertentangan dengan kemaslahatan anak yang diasuh dan kemaslahatan suaminya, dan Ibnul Mundzir –rahimahullah- telah menukil ijma’nya para ulama atas gugurnya hak seorang ibu akan pengasuhan ini dengan menikah.

Lihat: Al Kaafi karya Ibnu abdil Barr (1/296) dan Al Mughni (8/194)

Dan yang menunjukkan hadits ini adalah Abdullah bin Amr –radhiyallahu ‘anhuma- bahwa seoran wanita berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً ، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً ، وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً ، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي ، وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي ، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي  رواه أحمد (6707) وأبو داود (2276) ، وحسنه الألباني في صحيح أبي داود ، وصححه ابن كثير في "إرشاد الفقيه" (2/250) .

“Wahai Rasulullah, sungguh anakku ini dulu perut saya jadi wadahnya, dan ASI saya jadi air minumnya, dan pangkuan saya jadi pengasuhannya, dan sungguh ayahnya telah menceraikan saya, dan ia ingin mencabut (hak asuh) dari saya, maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Kamu lebih berhak dari padanya selama kamu belum menikah”. (HR. AhmadL 6707 dan Abu Daud: 2276) dan telah dinyatakan hasan oleh Albani di dalam Shahih Abu Dau dan telah dinyatakan shahih oleh Ibnu Katsir di dalam Irsyadul Faqih: 2/250)

Kedua:

Menafkahi anak-anak adalah kewajiban ayahnya sesuai dengan kesepakatan para ulama, baik ia menahan istrinya atau menceraikannya, dan baik istrinya dalam kondisi fakir atau kaya, maka pihak istri tidak wajib menafkahi anak-anaknya jika ayahnya masih hidup.

Dan pada kondisi pengasuhan wanita yang dicerai kepada anak-anaknya, karena nafkah anak-anak menjadi kewajiban ayah mereka, dan mantan istri yang mengasuh dan menyusui hendaknya meminta upah atas pemberian ASI kepada anaknya.

Dan nafkah kepada anak ini meliputi tempat tinggal, makanan, minuman, pakaian dan pendidikan...., dan semua yang mereka butuhkan, ditentukan kadarnya sesuai dengan kema’rufan dan diperhatikan juga kondisi suami; berdasarkan firman Allah Ta’ala:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

الطلاق/7

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. At Thalaq: 7)

Hal ini berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, dan dari satu orang dengan orang lainnya.

Maka jika pihak suami kaya, maka nafkahnya sesuai dengan kadar kekayaannya, atau jika ia fakir atau pertengahan maka sesuai dengan kondisinya juga. Dan jika kedua orang tua telah menyepakati untuk kadar uang tertentu, sedikit atau banyak. Maka urusannya sesuai dengan kesepakatan mereka. Adapun pada saat sengketa maka akan memutuskan adalah pihak hakim / pengadilan. Dan dibolehkan bagi wanita yang diceraikan untuk meminta kepada suaminya upah menyusui anaknya sesuai dengan kesepakatan para ulama.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata:

“Upah menyusui anak dibebankan kepada ayahnya saja, dan ia tidak boleh memaksa ibunya untuk menyusuinya, jika ia telah diceraikan, kami tidak mengetahui pendapat yang berbeda dengan itu”. Selesai. (Al Mughni: 11/430) dengan sedikit perubahan.

Beliau juga berkata:

“Seorang ibu jika ia meminta menyusui dengan upah dengan wanita sebayanya, maka ia berhak dengannya, baik ayah (dari anak itu) telah mendapatkan wanita donor menyusui atau belum mendapatkannya”. (Al Mughni: 11/431)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Adapun upah pengasuhan ASI maka itu menjadi haknya, sesuai dengan kesepakatan para ulama, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فإن أرضعن لكم فآتوهن أجورهن

“kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya”. (QS. At Thalaq: 6)

Selesai. (Al Fatawa Al Kubro: 3/347)

Ketiga:

Bahwa pengasuhan anak –sebagaimana yang telah didefinisikan oleh banyak para ulama-: “Upaya menjaga anak yang belum bisa membedakan dan belum mandiri dengan urusannya, pendidikannya, kemaslahatannya, dan penjagaannya dari apa saja yang akan menyakitinya”. (Raudhatut Thalibin: 9/98)

Dan bahwa maksudnya merawat anak kecil, dan membantu urusannya, yang perlu diperhatikan dalam pengasuhan adalah kemaslahatan yang diasuhnya, oleh karenanya jika seorang ayah enggan untuk melakukan kewajiban ini –di antaranya termasuk nafkah- untuk anaknya maka ia berdosa, dan hak pengasuhannya gugur darinya. Telah disebutkan di dalam Ar Raudh Al Murabba’: “Dan anak balita (masih dalam pengasuhan) tidak tinggal di tangan orang yang tidak menjaganya, dan memperbaikinya karena terlantarnya tujuan dari pengasuhan”. (Ar Raudh Al Murabba’: 3/251)

Ibnu Qudamah Al Maqdisi berkata:

“Pengasuhan anak ini akan tetap sesuai dengan bagian anak, maka tidak disyari’atkan pada kondisi yang akan membinasakannya dan merusak agamanya”. (Al Mughni: 8/190)

Ibnul Qayyim berkata:

“Bahwa jika kami ajukan salah satu dari kedua orang tua, maka kami harus memperhatikan keterjagaannya kepada si anak, dan karenanya Imam Malik dan Al Laits berkata: “Jika ibunya tidak dalam kondisi yang aman, atau karena ia tidak ridha, maka hendaknya ayahnya mengambil anaknya darinya, demikian juga imam Ahmad –rahimahullah- dalam riwayat yang terkenal. Bahwa beliau menganggap kemampuannya dalam menjaga dan merawat. Maka teledor dari hal tersebut, atau karena lemah atau tidak ridho, atau acuh, dan ibunya sebaliknya, maka tidak diragukan lagi bahwa ibunya yang lebih berhak dengan anak tersebut. Syeikh kami berkata: “Jika salah satu dari kedua orang tuanya meninggalkan pendidikan anaknya, dan urusannya yang telah Allah wajibkan kepadanya, maka ia termasuk berdosa, dan ia tidak lagi mempunyai kuasa kepadanya, bahkan setiap orang yang tidak melaksanakan kewajiban dalam ranah kekuasaannya, maka ia tidak ada lagi kuasa baginya, akan tetapi bisa jadi tangannya berlepas dari kekuasaannya dan diberikan kepada orang yang mau melaksanakan kewajiban, atau ditambahkan orang yang mau melaksanakan kewajiban tersebut, karena tujuannya adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya sesuai kemampuan...., jika ditakdirkan bahwa ayahnya telah menikahi wanita yang tidak memperhatikan kemaslahatan anak tiri perempuannya, dan tidak menghiraukannya, dan ibunya lebih berhak akan kemaslahantan anak tersebut dari pada ibu tirinya, maka pengasuhannya pasti kembali kepada ibunya”. (Zaad Al Ma’ad: 5/424)

Syeikh Abdurrahman As Sa’di berkata:

“Adapun jika salah satu dari keduanya menelantarkan apa yang menjadi kewajibannya, dari pengasuhan dan kemaslahatan bagi anaknya, maka kekuasaannya akan gugur dan berpindah kepada orang lain”. (Al Fatawa As Sa’diyyah: 535)

Maka atas dasar ini, jika seorang ayah enggan untuk memberi nafkah kepada anak-anaknya, maka haknya akan gugur untuk mengasuh mereka, meskipun keengganannya bertujuan untuk membahayakan ibu mereka (mantan istrinya), maka hal ini menunjukkan bahwa ia tidak bisa dipercaya untuk kemaslahatan anak-anaknya, dan ibunya hendaknya mengadukannya kepada hakim agar ia mau memberi nafkah kepada anak-anaknya.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam