Alhamdulillah.
Pertama:
Allah telah menjadikan bulan sebagai tanda malam, maka dia dijadikan sebagaimana tanda masuknya malam.
Allah Taala berfirman,
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ آيَتَيْنِ فَمَحَوْنَا آيَةَ اللَّيْلِ وَجَعَلْنَا آيَةَ النَّهَارِ مُبْصِرَةً لِتَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ وَلِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ وَكُلَّ شَيْءٍ فَصَّلْنَاهُ تَفْصِيلًا
“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segalah sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.” (QS. Al-Isra: 12)
Ibnu Katsir berkata, “Dia menjadikan tanda bagi malam, maksudnya adalah tanda yang dengan itu malam dapat dikenali, yaitu gelap dan munculnya bulan. Demikian pula siang hari diberikan tanda, yaitu cahaya dan terbitnya matahari yang bersinar. Dia memberikan jeda waktu antara terang bulan dan sinar matahari untuk membedakan antara yang satu dan yang lain, sebagaimana firmanNya,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ
“Dialah yang menciptakan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta menentukan tempat-tempatnya agar kalian mengetahui bilangan bulan dan perhitungan. Tidaklah Allah menciptakan semua itu kecuali dengan kebenaran.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 5/50)
Karena itu, semua hukum yang terkait dengan bulan hanya dapat ditentukan di malam hari, bukan di siang hari.
Abu Al-Hasanat Al-Laknawi berkata, “Hal itu menunjukkan bahwa bulan merupakan tanda malam, bukan tanda siang. Maka rukyatul hilal di siang hari tidak dianggap, dan bahwa dia merupakan standar waktu bagi manusia dalam perkara haji, puasa dan lainnya.” (Al-Falaku Ad-Dawair Fi Ru’yatil Hilal Bin-Nahar, hal. 18)
Karena itu, para ahli fikih menjelaskan bahwa shalat gerhana bulan tidak dapat dilakukan walau bulan tampak mengalami gerhana di siang hari, karena masanya sudah berlalu.
An-Nawawi berkata, “Seandainya gerhana bulan tampaknya di siang hari, maka tidak perlu shalat gerhana tanpa ada perbedaan (dalam mazhab syafii).” (Al-Majmu Syarhul Muhazab, 5/54)
Kedua:
Mayoritas ulama, yang dijadikan patokan dalam empat mazhab, bahwa rukyatul hilal di siang hari tidak memberikan dampak apapun secara hukum. Seandainya seorang yang berpuasa melihat hilal di siang hari tanggal 30 Ramadan, hendaknya dia melanjutkan puasanya dan jangan berbuka. Seandainya orang yang tidak berpuasa pada siang hari tanggal 30 Sya’ban, dia tidak diharuskan menghentikan makan dan minum atau qadha. Rukyah di siang hari tidak dianggap. Tapi yang dianggapa adalah rukyah setelah matahari terbenam saja.
Di dalam Mushanaf Ibnu Abi Syaibah (3/67) dengan sanad shahih dari Abu Wail dia berkata, “Sampai kepada kami surat dari Umar saat kami berada di Khaniqin, isinya bahwa hilal sebagian lebih besar dari sebagian lainnya. Jika kalian melihat hilal di siang hari, janganlah kalian berbuka sampai ada dua orang laki-laki muslim bersaksi bahwa keduanya telah melihatnya kemarin.”
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Salim bin Abdullah bin Umar, “Orang-orang melihat hilal akhri Ramadan di siang hari. Maka Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma menyempurnakan puasanya hingga malam hari.” Dia berkata, “Tidak (jangan berbuka) sebelum hilal dapat dilihat di malam hari.” (Sunan Al-Baihaqi, 2/435)
Disebutkan dalam kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah (1/197), “Jika mereka melihat hilal sebelum atau sesudah matahari tergelincir, tidak dapat dijadikan patokan untuk berpuasa atau berbuka.”
Abu Ishaq Asy-Syirazi berkata, “Berpuasa dan berbuka tidak dikaitkan kecuali berdasarkan hilal yang terlihat setelah matahari terbenam.” (Al-Muhazab, 3/33)
Syamsudin Ar-Ramli berkata, “Adapun jika hilal terlihat pada hari ke duapuluh Sembilan dan tidak terlihat di malam hari, maka tidak ada pendapat yang menyatakan bahwa hal itu memberikan pengaruh hukum. Maka jelaslah bahwa rukyah hilal di siang hari tidak memberikan pengaruh.” (Fatawa Ar-Ramli, 2/78)
Disebutkan dalam kitab Kasyaful Qana, 2/303, “Tidak ada pengaruhnya rukyah hilal di siang hari. Yang dianggap adalah rukyah setelah matahari terbenam.”
Al-Laknawi berkata, “Para ulama empat mazhab berkata, pendapat yang shahih adalah bahwa rukyah hilal di siang hari tidak berlaku. Yang dianggap adalah rukyah di malam hari.” (Al-Falak Ad-Dawwar, hal. 19)
Hadits-hadits yang mengaitkan puasa dan berbuka (awal dan akhir Ramadan) dengan rukyah hilal, yang dimaksud adalah melihatnya di malam hari, bukan di siang hari.
Shadiq Hasan Khan berkata, “Rukyah yang dianggap syariat dalam sabdanya (Berpuasalah karena melihatnya) maksudnya adalah rukyat di malam hari, bukan rukyat di siang hari, karena hal itu tidak dapat dianggap, apakah rukyatnya sebelum atau sesudah matahari tergelincir. Siapa yang beranggapan berbeda dengan ini, maka dia belum mengenal maqashid syari’ah.” (Ar-Raudhah An-Nadiah, 2/11)
Syekh Ibnu Utsaimin berkata, “Masuknya bulan tidak dapat ditentukan kecuali terlihatnya hilal setelah matahari terbenam.” (Majmu Fatawa Wa Rasail Al-Utsaimin, 16/301)
Ketiga:
Terdapat ucapan dari banyak ahli fikih bahwa apabila hilal terlihat di siang hari, maka dia bagian dari malam berikutnya, bukan malam sebelumnya. Pernyataan ini bukan menunjukan adanya pengaruh dari terlihatnya hilal di siang hari. Karena maksud dari ucapan mereka adalah bahwa hilal yang terlihat pada hari ketigapuluh bulan Sya’ban atau bulan Ramadan, maka ketika itu, mereka menghukuminya sebagai hilal untuk malam berikutnya, karena bulan telah sempurna mencapai tigapuluh hari. Jadi pernyataan ini termasuk dalam bab menyampaikan kenyataan yang terjadi, bukan menunjukkan adanya pengaruh hukum atas rukyah di siang hari juga sebagai bantahan atas orang yang berpendapat bahwa hilal tersebut adalah untuk malam sebelumnya, seperti pendapat qadhi Abu Yusuf rahimahullah.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Jika mereka melihat hilal di siang hari, maka hilal itu untuk malam berikutnya, apakah mereka melihatnya sebelum atau sesudah matahari tergelincir. Inilah mazhab kami, tidak ada perbedaan di dalamnya. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Abu Hanifah, Malik dan Muhamad.” (Al-Majmu Syarah Al-Muhazab, 6/279)
Serupa dengan hal itu juga dinyatakan dalam kitab Al-Mughni, Ibnu Qudamah (3/173), Al-Qalyubi berkata, “Tidak ada pengaruhnya rukyat terhadap hilal di siang hari. Maksudnya adalah bahwa hal itu bukan untuk malam sebelumnya sehingga mereka sudah boleh berbuka (tidak berpuasa) atau bukan pula untuk sesudahnya, sehingga Ramadan sudah ditetapkan, misalnya. Yang menganggap bahwa rukyat hilal (di siang hari) untuk malam berikutnya dianggap benar jika rukyatnya terjadi pada hari ketigapuluh, akan tetapi hal itu tidak ada pengaruhnya, karena jumlah harinya sudah sempurna (sebulan tiga puluh hari). Berbeda jika rukyatnya terjadi pada (siang hari) tanggal duapuluh Sembilan, maka hal itu tidak dapat menggantikan rukyat setelah matahari terbenam untuk malam berikuatnya sebagaimana dugaan sebagian orang.” (Hasyiah Kanzu Ar-Raghibin, 2/65)
Ibnu Abidin berkata, “Bahwa rukyah untuk malam berikutnya tidak berarti bahwa hasil rukyah dianggap berlaku di siang hari, karena menurut keduanya (Abu Hanifah dan murinya Muhamad bin Al-Hasan) rukyah di siang hari tidak berlaku. Tapi yang berlaku menurut mereka adalah dengan menyempurnakan bilangan, karena perbedaan pendapat yang ada, sebagaimana dinyatakan dalam kitab Al-Bada’i dan Al-Fath, adalah dalam masalah rukyah pada hari syak (meragukan), yaitu pada hari tanggal tigapuluh Sya’ban atau tigapuluh Ramadan. Jika pada hari Jumat yang disebutkan dalam pertanyaan tersebut adalah tanggal tigapuluh, lalu pada hari itu hilal terlihat di siang hari, maka menurut Abu Yusuf itu adalah hari pertama awal bulan, sedangkan menurut mereka berdua (Abu Hanifah dan Muhamad) rukyah tersebut tidak dianggap, maka awal bulan jatuh pada hari Sabtu, apakah ada rukyah atau tidak. Karena satu bulan tidak lebih dari tigapuluh hari, maka rukyah tersebut tidak bermanfaat apa-apa. Ketika itu, ucapan mereka ‘rukyah ini untuk malam berikutnya’ menurut mereka berdua hanya penjelasan dari fakta yang ada serta pernyataan untuk membantah pendapat bahwa rukyah tersebut untuk malam sebelumnya. Maka tidak ada pertentangan dengan ucapan mereka bahwa rukyah tersebut untuk malam berikutnya dengan ucapan bahwa rukyah pada siang hari tidak dijadikan patokan menurut mereka berdua. Karena sumber perbedaan pendapat adalah dalam masalah rukyah pada hari syak (meragukan), yaitu pada hari ketigapuluh. Karena rukyah pada hari keduapuluh Sembilan, tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa hal itu untuk malam sebelumnya, agar jangan sampai terjadi dalam satu bulan terdiri dari duapuluh delapan hari, sebagaimana telah dijelaskan para ulama peneliti.” (Hasyiah Ibnu Abidin, 2/392)
Syekh Ibnu Utsaimin berkomentar atas ucapan Al-Hijawi, “Apabila terlihat siang hari, maka dia untuk malam berikutnya.” Beliau berkata, “Dhamir (kata ganti) kembali kepada hilal, pengarang tidak bermaksud menetapkan hukum bahwa hilal itu untuk malam berikutnya, akan tetapi dia ingin menafikan pendapat orang yang berkata bahwa hilal (yang terlihat di siang hari) adalah untuk malam sebelumnya, karena ada sebagian ulama yang berkata, ‘Jika hilal terlihat di siang hari sebelum matahari terbenam di hari itu, maka dia untuk malam sebelumnya, maka ketika itu, orang-orang wajib berpuasa. Sebagian ulama lainnya membedakan antara terlihat sebelum matahari tergelincir dengan sesudahnya. Pendapat yang benar adalah bahwa hilal tersebut tidak untuk malam sebelumnya.” (Asy-Syarhul Mumti, 6/307)