Alhamdulillah.
Pertama:
Tidak masalah bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi obat-obatan medis dengan tujuan agar keluar haid, namun para ulama memberikan beberapa syarat dalam masalah ini, di antaranya adalah hal itu dilakukan namun tidak mengurangi hak suami. Karena pendeknya masa iddah pada talak raj’i (talak yang masih bisa rujuk lagi) akan mengganggu hak suami; karena dia masih berhak untuk merujuk istrinya kapan pun dia mau selama masa iddah yang rata-rata selama tiga bulan atau sekitar itu.
Maka tidak boleh bagi seorang wanita untuk mempercepat untuk mengakhiri masa iddah pada talak raj’i.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Adapun menggunakan pemicu untuk mendorong keluarnya haid dibolehkan dengan dua syarat:
1.Agar tidak menjadi alasan untuk menggugurkan kewajiban, seperti mengggunakannya saat mendekati bulan Ramadhan, agar bisa tidak puasa atau agar tidak melaksanakan shalat, dan lain sebagainya.
2.Agar melakukannya dengan seizin suami; karena datangnya masa haid menghalanginya untuk menjadikan suaminya puas, maka tidak boleh menggunakan hal yang akan menghalangi hak suami tanpa seizinnya, meskipun sang istri statusnya sudah dicerai; karena hal itu akan mempercepat gugurnya hak suami untuk merujuknya, jika dia masih boleh rujuk”.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 11/239)
Kedua:
Menggunakan obat-obatan medis dengan tujuan untuk mempercepat masa iddah, bertumpu pada masalah yang masih menjadi perbedaan di antara pada ulama, yaitu; batasan minimal masa suci antara dua haid. Barang siapa yang melihat adanya masa yang normal antara dua haid, yaitu selama 13 hari –menurut madzhab Hambali- atau 15 hari -menurut madzhab Hanafiyah-, menurut mereka jika darah tersebut keluar pada siklus biasanya maka darah tersebut adalah haid, dan jika keluar di luar waktunya maka bukanlah darah haid.
Syeikh Musthafa Ar Rahibani –rahimahullah- berkata:
“Seorang wanita boleh meminumnya (obat) agar keluar darah haid, karena hukum asalnya halal sampai ada dalil yang melarangnya dan ternyata tidak ada, masa iddahnya akan berakhir dengan masa haid yang telah dipicu oleh obat-obatan, syaratnya adalah jika jeda antara dua haid selama 13 hari atau lebih”. (Mathalib Ulin Nuha: 1/289)
Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah (18/328):
“Madzhab Hanafi telah menyatakan dengan tegas bahwa jika seorang wanita mengkonsumsi obat, lalu darahnya keluar pada jadwalnya haid, maka hal tersebut dianggap haid dan dengannya masa iddah akan berakhir”.
Dan di antara para ulama ada yang menyatakan:
“Bahwa tidak ada batasan minimal masa suci, sebagaimana madzhabnya Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah-, menurut beliau jika ada seorang wanita yang mengkonsumsi sesuatu yang menyebabkan datang bulan lebih cepat, darah haid pun keluar sesuai dengan sifat-sifatnya, maka ia beriddah dengan haid tersebut, meskipun keluarnya haid kedua baru satu minggu jaraknya dari haid pertama”.
Disebutkan dalam Al Fatawa Al Kubro karya Ibnu Taimiyah (3/350):
“Tentang seorang ibu menyusui yang haidnya terlambat, maka ia mengkonsumsi obat agar datang bulan, maka hasilnya ia telah haid sebanyak tiga kali, sedangkan ia dalam kondisi dicerai oleh suaminya, maka apakah masa iddahnya sudah habis atau belum ?”
Yang difatwakan di dalam website kami, bahwa tidak ada batas minimal masa suci antara dua haid, dan telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 49671 dan 20898.
Baca juga untuk penjelasan lebih lanjut pada jawaban soal nomor: 180651
Kesimpulan:
Bahwasanya dibolehkan bagi seorang wanita mengkonsumsi obat untuk mempercepat masa iddah dengan syarat hal itu tidak terjadi pada talak raj’i.
Wallahu A’lam.