Senin 11 Rabi'uts Tsani 1446 - 14 Oktober 2024
Indonesian

Hukum Puasa Wanita Hamil Jika Berdampak Negatif

Pertanyaan

Apakah diperbolehkan bagi orang hamil berpuasa Ramadan dan Asyura (10 Muharram)?
Saya nasehati isteriku agar tidak berpuasa selama Ramadan, dan dia tidak melakukannya, karena dirinya sedang hamil. Kondisinya sangat lemah, disamping itu dia mengalami darah rendah selama hamil. Di penghujung Ramadan dia keguguran, yaitu pada minggu kedua belas (bulan ketiga kehamilan). Apa hukum terkait dengan hari-hari yang dia berbuka di bulan Ramadan? Apakah harus diqada sebelum (memasuki) Ramadan depan? Apakah memungkinkan dia berpuasa seperti biasa dikala hamil? Dia memaksa terus untuk berpuasa disela-sela kehamilan. Jika ada keterangan medis bahwa puasa tidak membahayakan janin, akan dapat membatu dalam masalah ini.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Wab’du.

Dalam pertanyaan di atas ada tiga hal,

Pertama: Hukum berbuka (puasa) bagi wanita hamil di bulan Ramadan.

Kedua: Apa dampak keguguran di bulan Ramadan.

Ketiga: Hukum qada setelah Ramadan.  

Adapun berkaitan dengan wanita hamil, dibolehkan berbuka puasa kalau dia khawatir, menurut perkiraan kuat, membahayakan dirinya atau diri dan anaknya. Bahkan wajib berbuka kalau dia takut binasa pada dirinya atau kepayahan yang sangat. Konsekwensinya, dia harus mengqada tanpa membayar fidyah (memberi makanan kepada fakir miskin). Hal ini sesuai dengan kesepakatan para ulama fiqih.

Berdasarkan firman Allah; “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian”

Dan firmanNya: “Dan janganlah kalian campakkan diri kalian kepada kebinasaan.”

Mereka juga bersepakat bahwa wanita dalam kondisi seperti ini tidak membayar fidyah. Karena dia kedudukannya seperti orang sakit yang takut kepada dirinya. Adapun kalau dia takut terhadap janinnya saja, maka sebagian ulama berpendapat: Dia dibolehkan berbuka dan diharuskan mengqada serta membayar fidyah (yaitu memberi makanan kepada orang miskin untuk setiap harinya).

Sebagaimana terdapat riwayat dari IbnuAbbas radhaillahu ‘anhuma dalam (menafsirkan) firman Allah:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”

Beliau (Ibnu Abbas) berkata: “Ayat ini adalah dispensasi untuk orang tua renta, baik laki-laki maupun wanita yang sudah tidak kuasa berpuasa, agar mereka berbuka, lalu memberi makan kepada orang miskin sebagai pengganti setiap harinya. Demikian juga bagi wanita hamil dan menyusui, Abu Dawud berkata, maksudnya jika mereka khawatir kepada anaknya, maka dia boleh berbuka (puasa)." (HR. Abu Daud, no. 1947, dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab Irwa'ul-Ghalil,  4/18, 25)

Silakan lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 16/272.

Dari sini jelas bahwa jika wanita tersebut berpuasa dan akibatnya sangat membahayakan dirinya atau janinnya, maka dia harus berbuka. Dengan catatan, apabila dokter yang merekomendasikannya adalah dokter yang  ucapannya terpercaya. Ini berkaitan dengan berbuka di bulan Ramadan. Adapun puasa Asyura (10 Muharam) bukan perkara wajib menurut ijma (konsensus ulama), ia hanyalah sunnah. Seorang wanita dilarang berpuasa sunnah jika suaminya ada, kecuali dia mengizinkan. Kalau dia melarang berpuasa, maka isterinya harus mentaatinya. Apalagi hal itu berkaitan dengan kebaikan janin.

Terkait dengan masalah keguguran, kalau kondisi realnya seperti apa yang anda sebutkan bahwa kegugurannya terjadi pada bulan ketiga dari usia kandungan, maka darah yang keluar bukan termasuk darah nifas, ia adalah darah istihadhah. Karena yang keluar hanyalah segumpal daging, belum berbentuk manusia. Karenanya, dia harus shalat dan berpuasa meskipun darahnya keluar. Akan tetapi dia harus berwudhu setiap kali hendak shalat. Maka, dia harus mengqadha puasa dari hari-hari yang dia berbuka dan shalat-shalat yang dia tinggalkan. Silahkan lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/218.

Mengenai qadha hari-hari yang terlewatkan, diharuskan bagi setiap orang yang mempunyai  tanggungan hari-hari (tidak puasa) di bulan Ramadan, untuk mengqadanya sebelum Ramadan depan. Diperbolehkan baginya mengakhirkannya hingga bulan Sya’ban. Kalau sampai datang Ramadan berikutnya dia belum mengqadanya tanpa uzur, maka dia berdosa karenanya, dan dia harus tetap mengqada serta memberi makanan untuk setiap harinya kepada orang miskin. Sebagaimana hal itu difatwakan oleh para  shahabat Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam. Ukuran makanan adalah setengah sha (satu kilo setengah) untuk setiap harinya dari makanan pokok negaranya. Diberikan kepada sejumlah orang miskin,  meskipun cuma satu orang.

Kalau sekiranya ada uzur dalam mengakhirkannya karena sakit atau bepergian, maka dia cukup mengqadanya saja, tanpa memberikan makanan. Berdasarkan keumuman firman Allah Subhanahu: “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185) Wallahu Al-Muwaffiq.  Fatawa Syekh Ibnu Baz, 15/340.

Refrensi: Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajid