Alhamdulillah.
Telah dijelaskan di dalam website kami beberapa fatwa yang menjelaskan dengan panjang lebar bahwa tidak boleh orang fasik dan munafik menjadi pimpinan, dan dilarang memberikan julukan “Sayyid” kecuali kepada yang berhak menerimanya dari kalangan mereka yang dikenal ketaqwaannya, kashalihan dan kebaikannya.
Anda bisa merujuk dalam masalah ini pada fatwa nomor: 12625, 112022, 131191, 132136 dan 135664.
Akan tetapi hal itu tidak mencakup semua hal, nampaknya hanya terjadi pada surat-menyurat administrasi formal di lembaga profesi dan perusahaan, tanpa melihat orang yang dikirimi surat tersebut, keagamaan, madzhab dan aqidahnya, karena beberapa sebab:
Pertama:
Yang dilarang adalah menyebutkan kata “Sayyid” untuk mengagungkan dan penghormatan, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Alan Ash Shadiqi (1057 H): “Larangan untuk memanggil orang fasik dan ahli bid’ah dengan kata “Sayyid” atau yang serupa dengannya, jika menunjukkan pengagungan kepadanya; karena hal itu berarti mengagungkan orang yang dihinakan oleh Allah”. (Dalil Falihin dengan sedikit perubahan: 8/542)
Faktanya penggunaan kata “Sayyid” pada surat-menyurat administrasi tidak dianggap mengandung sifat yang sebenarnya dalam kepemimpinan sebagaimana yang dimaksud oleh orang-orang Arab terdahulu. Kata tersebut dahulu digunakan sebagai tanda kemuliaan dan kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, baik karena tingginya nasab yang mulia kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- atau karena menjadi pemimpin di kaumnya dan benar-benar mempunyai kedudukan yang tinggi atau karena menguasai banyak budak.
Namun sekarang ini, kata tersebut banyak digunakan untuk formalitas (basa-basi) dalam masyarakat, tidak menunjukkan arti yang sebenarnya, akan tetapi sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan secara umum untuk penghormatan dan kesopanan, bukan untuk mengagungkan atau kepemimpinan yang sebenarnya.
Bahkan pada surat-menyurat resmi administrasi dan dalam pemerintahan hanya dianggap sebagai protokoler dan rutinitas yang sudah tidak asing lagi, tidak berkaitan dengan diri orang yang dituju namun berkaitan dengan jabatannya, oleh karenanya biasanya ditulis untuk orang yang tidak dikenal oleh penulis dan orang yang dituju.
Oleh karena itu, tidak masalah jika digunakan secara umum sebagai administrasi surat-menyurat atau sebagai formalitas saja atau julukan kemuliaan untuk banyak orang. Tanpa berlebih-lebihan dalam mencari keyakinan dan keistiqamahan orang yang dituju tersebut.
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata tentang larangan seorang tuan berkata kepada bawahannya “budakku”:
“Yang jelas bahwa yang dimaksud dengan larangan tersebut jika digunakan untuk mengagungkan dan meninggikan (kedudukannya), tidak untuk mensifati dan pengenalan”. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim: 15/7)
Kedua:
Jika seandainya larangan penggunaan kata “Sayyid” untuk umum tidak hanya untuk yang bertaqwa, maka ulama melarangnya karena makruh bukan karena haram, akan tetapi dari sisi etika penggunaan kata bukan dari sisi halal dan haram.
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata:
“Dari hasil penggabungan beberapa hadits tersebut maka tidak masalah menyebutkan “Fulan Sayyid” secara umum dan “Ya Sayyidi” atau yang serupa dengannya, jika orang yang dituju termasuk orang baik dan mulia, baik karena ilmunya, keshalihannya, atau karena yang lainnya. Namun jika yang dituju termasuk orang fasik atau agamanya masih dipertanyakan atau karena lainnya, maka makruh hukumnya menyebutnya dengan sayyid”. (Al Adzkaar: 362)
Baca juga Fathul Baari / Ibnu Hajar: 5/179.
Sebagaimana yang diketahui bahwa makruh bisa gugur karena ada udzur (alasan) atau kebutuhan juga karena kondisi tertentu. Pendapat kami bahwa apa yang dinamakan dengan protokoler administrasi sebagai udzur yang cukup untuk membebaskan seorang pegawai dari dosa karena menggunakan julukan tersebut dan tidak mempersempit ruang gerak pekerjaannya dalam hal surat menyurat.
Ketiga:
Para ulama juga memberikan pengecualian dari yang awalnya makruh karena ada maslahat atau mencegah kerusakan atau karena kondisinya menuntut untuk itu, sebagaimana Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga menyebutkan Heraclius sebagai “’Adzimu Ruum” (Penguasa / Pembesar Romawi), meskipun keagungan yang sesungguhnya tidak diraih kecuali dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi kemaslahatan guna melembutkan hatinya kepada Islam menuntut untuk itu, sebagaimana perkataan Ibnu Hajar: “Tidak membiarkannya untuk tidak menghormati karena kemaslahatan untuk melembutkan hati”. (Fathul Baari: 1/38)
Mula Ali al Qaari tentang hukum penyebutan kata “Maula” kepada non muslim:
“Jika yang dimaksud adalah untuk mengagungkannya maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak boleh. Namun jika yang dimaksud adalah salah satu dari arti kata “maula” sebagaimana yang disebutkan sebelumnya maka hal itu tidak masalah, apalagi jika dibutuhkan atau karena mendesak, jalan keluarnya adalah disebutkan karena tauriyah (penyebutan kata tertentu, namun yang dimaksud adalah artinya yang lain pent.)”. (miqaatul Mafatiih: 7/3009)
Keempat:
Hukum asal makruhnya masalah ini adalah bukan termasuk perkara yang qath’i (pasti), akan tetapi termasuk perkara yang dzanni (belum pasti) masih menerima ijtihad dan pendapat lain; karena sumbernya dari satu hadits, sedangkan hadits tersebut masih dipermasalahkan, meskipun sebagian ulama menyatakannya sebagai hadits shahih, akan tetapi tidak menutup pintu ijtihad dan pendapat.
Hadits tersebut adalah hadits Qatadah dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( لَا
تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ، فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ
أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ ) رواه أبو داود (4977)
.
وعلة هذا الحديث هي أن الإمام البخاري رحمه الله قال : " لا
يعرف سماع قتادة من ابن بريدة " انتهى من " التاريخ الكبير " (4/12(
“Janganlah kalian mengatakan kepada orang munafik sebagai sayyid, karena jika dia menjadi sayyid maka kalian telah menjadikan Rabb –‘Azza wa Jalla- kalian marah”. (HR. Abu Daud: 4977, yang menjadi celah dari hadits ini adalah bahwa Imam Bukhori –rahimahullah- berkata: “Tidak diketahui bahwa Qatadah telah mendengar dari Ibnu Buraidah)
(Tarikh Kabir: 4/12)
Tirmidzi –rahimahullah- berkata:
“Sebagian ahli hadits berkata: “Kami tidak mengetahui bahwa Qatadah telah mendengar dari Abdullah bin Buraidah”. (Sunan Tirmidzi)
Para ulama biografi telah menuturkan pada kitab-kitab biografi, seperti Ibnu Hajar, Al ‘Ala’i dan yang lainnya tentang keterputusan antara Qatadah dan Abdullah bin Buraidah. (Ahadist Mu’allah Dzahiruha Shihhah: 71-72)
Maka dengan adanya perbedaan dan pembahasan pada asal penetapan larangan tersebut serta apa yang telah disebutkan beberapa kemungkinan sebelumnya, maka bagi kami tidak perlu memperketat larangan tersebut secara umum, pada kondisi tertentu larangan tersebut akan menyebabkan kesulitan, bahaya atau meninggalkan kemaslahatan yang nyata baik kemaslahatan menurut agama maupun keduniaan.
Ketentuan ini umum, tanpa melihat ada kaitannya masalah tersebut dengan apa yang telah disebutkan dalam pertanyaan di atas, bahwa pakaiannya isbal, mencukur jenggotnya, dan sejauh mana termasuk dalam larangan atau tidak. Maka hal itu tidak dibutuhkan di sini.
Wallahu A’lam .