Alhamdulillah.
Rumusan ketidaktahuan yang pelakunya dimaafkan dan tidak dianggap batal puasanya jika ia melakukan hal-hal yang membatalkan puasa adalah ia tidak tahu akan keharamannya dan ia tidak tahu kalau hal itu sebagai pembatal puasa.
Siapa yang tidak mengetahui keharaman onani dan tidak mengetahui bahwa onani termasuk yang membatalkan puasa. Maka kalau dia beronani siang Ramadan, puasanya tidak batal (rusak).
Barang siapa mengetahui akan haramnya onani/masturbasi, akan tetapi ia tidak tahu kalau onani membatalkan puasa, maka tidak ada uzur baginya, karena ia dituntut untuk menjauhi onani dalam kondisi ia tahu keharamannya, sementara dia tidak melaksanakannya, maka hal ini menunjukkan akan keteledoran dan melampaui batas, sehingga puasanya menjadi rusak.
Syeikh Abu Bakar Ad Dimyathi –rahimahullah- berkata:
“Ucapan وبكونه مفطرا ‘membatalkan (puasa)’ kalimat ini ma’thuf (lanjutan) dari kalimat بتحريم ‘haram’, maksudnya dia tidak mengetahui akan keharamannya dan tidak mengetahui bahwa hal itu membatalkan”.
Kata sambung dengan huruf “wawu” ini mengandung arti bahwa ketidaktahuannya tidak bisa dimaafkan kecuali dia tidak mengetahui akan keduanya (keharamannya dan membatalkan puasa) dan memang begitu adanya, kalau dia tidak mengetahui akan keduanya –artinya dia mengetahui akan keduanya atau mengetahui salah satunya- itu merusak dan tidak ada uzur; karena kalau dia mengetahui keharamannya dan tidak mengetahui kalau membatalkan atau sebaliknya, maka dia seharusnya akan menahan diri untuk tidak melakukannya”. (Hasyitu I’anatu At Thalibin: 2/260)
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Wajib kita ketahui perbedaan antara tidak tahu hukum dan tidak tahu konsekuensi hukum:
Jika tidak tahu hukum, maka ia akan dimaafkan dan tidak ada dampak apapun setelahnya.
Jika tidak tahu akan konsekuensi hukum, maka kewajibannya tidak menjadi gugur, contoh: jika ada seorang laki-laki yang berjima’ di siang hari pada bulan Ramadhan, ia mengetahui bahwa hal itu hukumnya haram, akan tetapi ia tidak tahu bahwa hal itu menyebabkan adanya kaffarat yang berat, maka kaffarat tersebut tidak gugur, tetap wajib untuk dibayarkan. Adapun jika dia mengira bahwa perbuatannya tidak ada konsekuensinya, bahwa hal itu tidak diharamkann, maka tidak ada kewajiban apapun baginya”. (Fatawa Nur ‘Ala Darb, Ibnu Utsaimin: 2/11 sesuai dengan urutan Maktabah Syamilah).
Wallahu A’lam