Alhamdulillah.
Telah dijelaskan sebelumnya pada jawaban soal nomor: 222367 tentang pernikahan tahlil (yang menghalalkan), bahwa pernikahan tersebut hukumnya haram dan termasuk dosa besar, juga tidak sah pernikahan tersebut, dan wanita tersebut tetap tidak halal kecuali bagi suami keduanya namun tetap haram bagi suami sebelumnya; kareka pernikahannya tidak sah dan tidak dianggap oleh syari’at.
Jika suami keduanya berniat untuk mengahalalkan suami pertamanya maka hukumnya haram baik telah terjadi kesepakatan dengan suami sebelimnya atau dengan pihak wanitanya atau dengan walinya atau tidak terjadi kesepakatan apapun sebelumnya.
Sedangkan jika pihak wanitanya yang berniat untuk menikah tahlil dan tidak diketahui oleh suami keduanya, maka para ulama berbeda pendapat tentang status hukum pernikahan tersebut, apakah pernikahan tahlil tersebut sah atau tidak ?
Sebagian mereka berpendapat bahwa niat pihak wanita tersebut tidak berdampak apapun; karena dia tidak berhak untuk menceraikan suaminya, mereka pun berkata: “Barang siapa yang tidak berhak menceraikan maka semua niatnya tidak berpengaruh apapun”, pendapat ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i.
Pendapat kedua adalah niat pihak wanita mempunyai pengaruh bahwa pernikahan tahlil tersebut tetap haram hukumnya, sama halnya dengan niat yang berasal dari suami keduanya, pendapat ini adalah pendapat dari sebagian para tabi’in.
Diriwayatkan dari Ibrahim An Nakho’i bahwa dia berkata: “Jika suami pertamanya yang berniat atau pihak wanitanya atau suami barunya untuk pernikahan tahlil, maka pernikahan tersebut tidak sah.
Dan dari Hasan dan Ibrahim an Nakho’i keduanya berkata: “Jika salah satu dari ketiganya berniat untuk menghalalkan (pihak wanita dengan suami pertamanya), maka akad nikah tersebut menjadi tidak sah, diriwayatkan oleh Sa’id”. (Iqamat Dalil ‘ala Ibthol Tahlil: 8-9)
Yang benar dalam masalah ini adalah perlu perincian sebagai berikut:
Jika seorang wanita menikah lagi dengan niat agar bisa kembali (rujuk) kepada suami sebelumnya setelah suami keduanya menceraikannya, padahal dia tidak memintanya dan tidak menjadi penyebab perceraiannya, maka niat tersebut tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap akad nikahnya dan ia juga tidak berdosa karenanya.
Namun jika dia menikah dengan tujuan agar bisa kembali lagi kepada suami sebelumnya, dan berusaha agar diceraikan oleh suami barunya, baik dengan meminta cerai kepadanya atau dengan khulu’ (menggugat cerai) atau dengan menyakitinya karena tidak menunaikan hak-hak suaminya, sampai akhirnya dia menceraikannya. Jika ternyata dia melakukan hal itu maka akad nikahnya wanita tersebut adalah haram, dan jika benar suami barunya menceraikannya maka tetap tidak dihalalkan untuk kembali kepada suami sebelumnya; karena pernikahan dengan suami baru (kedua tadi) tidak sah.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- dan beliau menjelaskan bahwa pendapat jumhur ulama yang menyatakan tentang niat seorang wanita tidak memiliki pengaruh apapun jika hanya sebatas niat saja dan tidak melakukan hal apapun, namun jika dia melakukan sesuatu yang akhirnya menjadi sebab dijatuhkan talak oleh suami barunya, maka hukumnya akan berbeda, yaitu; pernikahan tersebut bagi pihak wanita dianggap nikah tahlil.
Beliau –rahimahullah- berkata:
“Penjelasan dalam masalah ini nampaknya harus merinci niat dari seorang wanita, tentu ada beberapa tahapan, yaitu:
Tahapan Pertama:
Dia berniat jika suami keduanya itu mentalaknya atau meninggal dunia atau berpisah dengannya tanpa disebabkan oleh pihak wanita, maka dia mau menikah lagi dengan suami pertamanya. Hal ini merupakan tujuan murni yang dibolehkan oleh Allah, tanpa dibarengi dengan perbuatan wanita yang menjadi sebab perceraiannya dengan suami keduanya. Dia hanya berniat untuk melakukan apa yang dibolehkan oleh Allah. Demikian juga dari pihak suami pertamanya, kalau dia berniat bahwa jika suami keduanya nantinya menceraikan mantan istrinya atau meninggal dunia, maka dia akan menikahinya lagi, atau seorang wanita yang masih berstatus sebagai seorang istri, dia berniat jika nantinya dicerai oleh suaminya maka dia akan menikah dengan fulan. Semua gambaran di atas tidak berkaitan dengan akad dan tidak merusaknya, maka tidak membawa pengaruh apapun.
Tahapan Kedua:
Pihak wanita menjadi penyebab dijatuhkannya telak oleh suami keduanya, seperti dia minta diceraikan, atau menggugat dengan khulu’, atau memberi imbalan uang jika dia mau meceraikannya, atau menampakkan rasa cintanya kepada mantan suaminya, atau membenci hubungan pernikahan dengan suami keduanya hingga akhirnya dia menceraikannya.
Jika pada saat akad nikah pihak wanita berniat untuk menjadi sebab dalam perceraiannya, maka hal tersebut akan lebih buruk dari pada berniat untuk mengajukan khulu’ tanpa alasan yang jelas agar bisa menikah dengan laki-laki lain, maka jika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
( المُخْتَلِعات والمُنْتَزِعَات هُنَّ المُنَافِقَات )
“Para wanita yang mengajukan khulu’ dan mereka yang mencabut (keharmonisan rumah tangga) termasuk orang-orang munafik”.
Maka seorang wanita yang mengajukan khulu’ bukan karena membenci suaminya namun agar bisa menikah dengan laki-laki lain justru akan menjadi lebih berat (hukumannya).
Dan barang siapa yang berniat untuk mengajukan khulu’ sejak akad nikah dilaksanakan dan mau mengkhianati suaminya agar bisa menikah dengan laki-laki lain, maka wanita tersebut lebih utama untuk dicela dan mendapat hukuman; karena dia telah mengkhianati suami sahnya dan menipunya, kalau seandainya suaminya mengetahui sejak awal bahwa istrinya sudah berniat untuk menjadi sebab perceraiannya, maka dia tidak akan mau menikahinya, apalagi kalau dia mengetahui bahwa tujuannya menikah agar nantinya bisa menikah dengan laki-laki lain. Gambaran semacam ini tidak bisa dimasukkan dalam pendapat Ahmad –radhiyallahu ‘anhu-, karena beliau memberikan keringanan dalam hal niat wanita secara umum, niat wanita secara umum yang berharap nantinya bisa menikah dengan suami pertamanya, dan yang demikian itu tidak bisa dipastikan bahwa dia ingin mengajukan khulu’ agar bisa menikah lagi dengan suami sebelumnya, dan kalau ternyata berniat seperti itu maka dia berniat untuk melakukan perbuatan haram. Seorang wanita jika dia menikah dan berniat untuk menjadi sebab dalam perceraiannya, maka pengharamannya itu berkaitan dengan hak suaminya karena ada unsur penipuan, namun dari sisi suami akad nikahnya tetap sah; karena dia menikah dengan rasa cinta, dan dari sisi pihak wanita; karena dia tidak memiliki kuasa untuk menjatuhkan talak, dan yang mempunyai kuasa untuk itu tidak mempunyai tujuan untuk menceraikan, dan yang berniat tidak mempunyai kuasa, akan tetapi karena niat dari pihak wanita yang menyebabkan suaminya menjatuhkan talak, maka akad nikah tersebut sama halnya dengan salah satu mempelai yang diharamkan menikah karena akan membahayakan satu sama lain.
Tahapan Ketiga:
Pihak wanita menjadi sebab perceraiannya dengan suaminya, seperti kalau dia berlebihan menuntut haknya kepada suaminya, enggan berlaku baik kepadanya, namun bukan berarti dia meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri, atau berbuat sesuatu yang diharamkan yang diyakini akan keharamannya, akan tetapi selain dari pada itu, misalnya dia meminta mas kawin agar dibayar penuh kalau tidak maka akan tidak jadi menikah atau akan ditahan atau yang lainnya.
Tahapan Keempat:
Pihak wanita menjadi sebab jatuhnya talak dengan melakukan maksiat, seperti: melakukan nusyuz (membangkang kepada suami), muamalah yang buruk dalam keluarga dengan menampakkan keterpaksaan dalam memenuhi hak-haknya, atau yang semacamnya yang menyebabkannya meninggalkan kewajibannya atau melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti: suka bercerita masalah rumah tangga, atau semacamnya yang tidak diragukan lagi bahwa hal itu termasuk seberat-beratnya perbuatan yang diharamkan, dan semua yang menunjukkan akan haramnya nusyuz dan kewajiban memenuhi hak laki-laki, maka yang demikian hukumnya adalah haram.
Tahapan Kelima:
Pihak wanita melakukan perbuatan yang mewajibkan perceraian, seperti: berubah menjadi murtad.
Tahapan Keenam:
Pihak wanita berniat pada saat akad nikah untuk bercerai; karena tidak setuju dengan suaminya.
Seperti: dia menikah dengan laki-laki yang fakir dan berniat nantinya akan meminta cerai setelah bersetubuh dengannya, maka menurut salah satu riwayat Ahmad dan yang lainnya dia tetap memilikinya, jika dia awalnya setuju dengan laki-laki yang susah kemudian membencinya, maka penetapan perceraiannya ada dua pendapat yang sudah tidak asing lagi.
Namun niatnya mempunyai dampak kepada dirinya saja, namun tidak serta merta menghalalkannya dengan suami sebelumnya, karena dia tidak berniat untuk menikahi akan tetapi berniat untuk dinikahkan, sedangkan al Qur’an telah mengaitkan bolehnya kembali lagi ke suami sebelumnya dengan menikahi laki-laki lain dan telah disebutkan sebelumnya bahwa firman Allah –Ta’ala-:
( حتَّى تَنْكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ )
“…hingga dia kawin dengan suami yang lain”. (al Baqarah: 230)
Ayat ini menuntut adanya pernikahan yang sebenarnya, dilihat dari sisi pihak wanita dia menikah dengan suami yang sesungguhnya (tidak pura-pura), dan kalau dia sebagai muhallil (hanya untuk menghalalkan dengan suami sebelumnya) maka dia sama halnya dengan pejantan yang dipinjamkan, dan jika pihak wanitanya telah berniat untuk berbuat sesuatu yang akan menyebabkannya jatuhnya talak, maka pernikahannya tidak sebenarnya (hanya berpura-pura).
Beberapa tahapan yang telah kami sebutkan tentang niat pihak wanita perlu dicermati. Dan jangan pernah anda mengira pendapat Imam Ahmad dan yang lainnya bahwa niat pihak wanita tidak berarti apa-apa, hal ini mencakup jika dia berniat dengan cara yang dia kuasai, mereka beralasan bahwa seorang wanita tidak berhak menceraikan, alasan itu terbantahkan dengan gambaran ini. Lalu mereka berkata: “Sungguh niatnya seorang wanita tidak berarti apa-apa, namun jika dia berniat dan melakukan apa yang dia niatkan, mereka tidak menafikan dampak perbuatan yang disertai niat, namun jika dia berniat untuk melakukan perbuatan yang diharamkan, atau penipuan, atau makar, kemudian dia melakukannya, maka hal ini (ada pada) sisi yang lain. Melalui pembagian ini bisa diketahui kondisi masing-masing dalam masalah ini, jawabannya pun menjadi jelas sesuai dengan apa yang kami sebutkan dilihat dari sisi pendapat yang menganggap niat seorang wanita secara umum dapat berlaku, sebenarnya bisa lebih bayak dari itu, namun sampai saat ini hanya itu yang bisa disampaikan”. (Al Fatawa Kubro: 6/304-320)
Inilah yang ditarjih oleh Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- dengan berkata:
“Bagaimana jika pihak wanita yang berniat, dia setuju untuk menikah dengan suami kedua agar bisa menikah lagi dengan suami pertamanya ?, nampaknya pengarang berpendapat: niat seorang wanita tidak berpengaruh apapun, dengan alasan dia tidak mempunyai kuasa apapun, suami keduanya tidak mentalaknya; karena dia menikahi wanita tersebut atas dasar cinta, tidak ada dalam benaknya untuk menceraikan. Jika pihak wanita tidak berniat namun walinya yang berniat, maka sama hukumnya.
Oleh karenanya sebagian ahli fikih berkata yang menjadi kaidah fikih:
" مَن لا فُرقة بيده : لا أثر لنيته "
“Barang siapa yang dia tidak berhak menceraikan, maka semua niatnya tidak berpengaruh apapun”.
Atas dasar itu maka niat pihak wanita dan walinya tidak ada pengaruhnya; karena perceraian bukan di tangan mereka.
Sebagian ulama berpendapat bahwa niat pihak wanita dan walinya sama dengan niat pihak laki-laki, hal ini tentu berbeda dengan madzhab sebelumnya yang menyatakan bahwa mereka berdua tidak bisa menentukan perceraian, namun mereka berkata: “Keduanya bisa saja berusaha untuk merusak pernikahan, seperti banyak menuntut materi atau yang lainnya pada suami hingga akhirnya dia menceraikannya, pernikahan itu adalah akad antar suami istri, maka jika niat seorang suami berpengaruh, maka niat seorang istri pun juga berpengaruh”.
Menurut hemat kami, tiga orang: suami, istri dan wali. Yang niatnya berpengaruh adalah suami sesuai dengan madzhab Ahmad. Pendapat yang rajih adalah bahwa niat apapun yang dilakukan oleh salah satu dari mereka bertiga akan membatalkan akad nikah, berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
( إنما الأعمال بالنيات )
“Sesungguhnya setiap perbuatan bergantung pada niatnya”.
Seorang wali ketika melakukan akad tidak berniat agar pernikahannya berlangsung lama, demikian juga dari pihak mempelai wanitanya.
Jika ada seseorang yang berkata: “Istrinya Rifa’ah al Quradhi yang menikah dengan Abdurrahman bin Zubair –radhiyallahu ‘anhuma-, dia mengadukan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa istrinya laksana baju yang robek, maka dia berkata kepadanya: “Apakah kamu mau kembali kepada Rifa’ah ?”. Dia menjawab: “Ya”.
Tidakkah hal itu menunjukkan bahwa niat seorang istri tidak berpengaruh?, kami berpendapat: “Apakah keinginan itu terjadi sebelum akad atau terjadi setelah dia melihat suami keduanya mempunyai aib ?, nampaknya: Dia berniat setelah melihat suami keduanya mempunyai kekurangan, karena faktanya laki-laki tersebut menikahinya dan mensetubuhinya, istrinya pun tidak keberatan dengan itu, baru kemudian setelah itu dia mengadukan masalahnya.
Jadi, jelasnya kalau saja dia tidak mendapatkan sebab, maka dia tidak akan mengadukannya. Wallahu a’lam, meskipun hadits tersebut bisa saja menimbulkan interpertasi lain. (Asy Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’: 12/177-178)
Pendapat inilah pendapat yang rajih, dan dengan itu bisa diketahui jawaban dari pertanyaan anda, selama seorang istri telah menikah dengan niat agar pernikahannya tersebut menghalalkan, dan berbuat sesuatu yang menyebabkan perceraian, dengan menyampaikan kepada suami keduanya bahwa dia tidak mencintainya dan mencintai laki-laki lain, maka pernikahannya dengan suami keduanya tidak sah dilihat dari sisi pihak istri, maka pernikahan tersebut tidak bisa menghalalkannya untuk menikah lagi dengan suami sebelumnya.
Anda dan suami keduanya tidak bedosa karenanya, hanya saja anda tidak dihalalkan untuk menikahinya lagi, anda wajib berpisah dengannya.
Wallahu a’lam.