Ahad 23 Jumadil Ula 1446 - 24 November 2024
Indonesian

Seorang Wanita Telah Berniat Untuk Mengqadha’ Puasa Ramadhan Pada Permulaan Azdzan Berkumandang, Maka Apakah Puasanya Tetap Sah ?

Pertanyaan

Pada hari saat hari-hari qadha’ Ramadhan saya telah berniat berpuasa bersamaan dengan awal adzan subuh dan saya lanjutkan berpuasa, maka apakah puasa saya sah ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Berniat pada malam hari adalah syarat bagi setiap puasa wajib sesuai dengan pendapat yang rajih dari dua pendapat para ulama, baik puasa qadha’ atau puasa asal, inilah pendapat jumhur ulama.

Ibnu Qudamah berkata:

“Jika puasa tersebut adalah puasa wajib, seperti; puasa Ramadhan saat pelaksanaan awal atau qadha’, puasa nadzar dan puasa kaffarat, syaratnya agar berniat sejak waktu malam masih ada, menurut imam kami, Malik dan Syafi’i. Abu Hanifah berkata: “Puasa Ramadhan dan semua yang wajib boleh berniat dari sebagian siang”. (Al Mughni: 3/109)

Yang menjadi dalil akan wajibnya penentuan niat pada sisa waktu malam, adalah riwayat dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

 من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له

رواه الترمذي (730) وصححه الألباني في "صحيح الترمذي"

“Barang siapa yang belum berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya”. (HR. Tirmidzi: 730 dan telah ditashih oleh Albani di dalam Shahih Tirmidzi)

Imam Tirmidzi berkata setelahnya:

“Ini artinya menurut para ulama tidak ada puasa bagi yang tidak berniat puasa sebelum terbit fajar di dalam bulan Ramadhan, atau saat qadha’ Ramadhan atau pada puasa nadzar, jika ia tidak berniat sejak malam masih ada maka tidak boleh, dan adapun puasa sunnah maka boleh baginya untuk berniat setelah pagi hari, ini merupakan pendapat Imam Syafi’i, Ahmad dan Ishaq”.

Kedua:

Diwajibkan bagi orang yang akan berpuasa wajib, untuk mulai berniat sebelum terbitnya fajar shadiq, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

البقرة/187

“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. (QS. Al Baqarah: 187)

Yang menjadi patokan adalah terbitnya fajar, bukan dengan adzan, maka barang siapa yang telah meyakini terbitnya fajar shadiq dan ia pun belum memulai niat untuk puasa, maka puasa wajibnya yang awal ataupun yang qadha’ tidak sah.

Adapun bagi siapa saja yang belum yakin akan terbitnya fajar, maka ia boleh menunda niat sampai batas terakhir sebelum terbitnya fajar, demikian juga kalau dia mengetahui bahwa seorang mu’adzin mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu, atau ia masih meragukan bahwa muadzin tersebut mengumandangkan adzan pada waktunya atau sebelum masuk waktu.

Baca juga jawaban soal nomor: 66202

Ketiga:

Kebanyakan para mu’adzin sekarang mereka berpatokan pada jam dan kalender (jadwal waktu shalat), tidak melihat pada (terbitnya) fajar, maka hal ini tidak bisa diyakini akan terbitnya fajar, maka barang siapa yang masih makan dan baru berniat pada saat itu, maka puasanya tetap sah, apalagi mulai menahannya pada permulaan adzan, sebagaimana kondisi yang sedang di tanyakan di atas; karena ia masih belum yakin akan terbitnya fajar.

Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- pernah ditanya:

“Bagaimanakah hukum syar’inya pada puasanya orang yang telah mendengar adzan subuh namun masih melanjutkan makan dan minum ?”

Beliau menjawab:

“Yang diwajibkan bagi seorang mukmin adalah untuk menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan lain sebagainya, jika terbitnya sudah sudah jelas baginya, dan puasanya adalah puasa wajib, seperti Ramadhan, puasa nadzar dan puasa kaffarat, sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

البقرة/187

“dan makan minumlah hingga tera3ng bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al Baqarah: 187)

Jika ia telah mendengar adzan dan tahu bahwa dia mengumandangkan adzan saat fajar terbit, maka ia wajib mulai menahan diri.

Jika seorang muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbitnya fajar, maka ia belum wajib menahan, ia masih boleh makan dan minum sampai menjadi jelas terbit fajarnya.

Maka jika ia tidak mengetahui keadaan si muadzin, apakah ia mengumandangkan adzan sebelum atau setelah terbit fajar, maka yang lebih utama dan lebih hati-hati agar ia menahan sejak mendengar adzan, dan tidak apa-apa jika ia masih makan dan minum sesuatu di tengah adzan; karena ia tidak mengetahui terbitnya fajar.

Sebagaimana diketahui bahwa mereka yang tinggal di tengah kota yang banyak terdapat cahaya lampu, ia tidak bisa mengetahui kepastian terbitnya fajar saat terbit, akan tetapi hendaknya ia berhati-hati saat beramal dengan adzan dan kalender yang menentukan terbitnya fajar dengan jam dan menit, sebagai bentuk pengamalan dari sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لا يَرِيبُكَ

“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu”.

Dan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

  مَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ  

“Barang siapa yang menjaga diri dari syubhat, maka ia telah membebaskan diri dari tanggung jawab agama dan kehormatannya”.

Dan Allah pemilik petunjuk”. (Fatawa Ramadhan, disusun oleh Asyraf Abdul Maksud: 201)

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya:

“Sejak kapan manusia mulai menahan dari makan ?, apakah seperti yang mereka katakan: “Saat muadzin memulai adzan ?, bagaimanakah hukumnya jika ia masih minum setelah selesai adzan dengan sengaja ?, apakah hukumnya sama dengan orang yang minum setelah ashar atau ia masih tetap berpuasa ?, alasan sebagian orang mengatakan: “Karena fajar itu bukan seperti lampu yang bersinar dengan cepat, masalah ini luas maka bagaimanakah hukumnya ?”.

Beliau menjawab:

“Adzan untuk shalat subuh itu, bisa jadi sebelum atau sebelum terbitnya fajar, jika setelah terbitnya fajar maka diwajibkan bagi manusia untuk menahan hanya dengan mendengar adzan; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

 إنَّ بِلالا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ، فَإِنَّهُ لا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ  

“Sungguh Bilal itu mengumandangkan adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan; karena dia tidak mengumandangkan adzan sampai terbit fajar”.

Jika muadzin tersebut berkata: “Saya telah melihat fajar subuh, dan saya tidak melakukan adzan kecuali setelah melihat fajar; maka seseorang wajib manahan sejak awal ia mendengar adzan, kecuali pada kondisi yang ia diberi keringanan di dalamnya, yaitu; saat misalnya piringnya masih ada di tangan maka ia boleh melanjutkan makannya.

Namun jika adzan yang berkumandang sesuai dengan jadwal waktu shalat, maka jadwal itu sebenarnya tidak terkait dengan realita waktu yang ada, akan tetapi jadwal itu bertumpu pada hisab (hitungan) –jadwal shalat yang beredar sekarang di tengan kita adalah jadwal Ummul Qura dan yang lainnya dengan berpijak pada hitungan- karena mereka belum melihat fajar terbit, tidak melihat matahari, kapan tergelincirnya, masuk waktu ashar, juga tidak melihat terbenamnya matahari”. (Al Liqa Asy Syahri: 1/214)

Baca juga jawaban soal nomor: 124608

Atas dasar itulah, maka puasa anda adalah sah in sya Allah; karena kami tidak yakin bahwa muadzin itu mengumandangkan bersamaan dengan awal terbit fajar.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam