Alhamdulillah.
Perusak puasa itu tertentu, ada dalilnya yang berasal dari Al Qur’an dan Sunnah. Yaitu; jima’, makan dan minum, atau yang serupa dengan makan dan minum seperti suntik suplemen, onani, bekam, muntah yang disengaja dan haid. Dan telah dijelaskan sebelumnya pada fatwa nomor: 38023.
Perbedaan antara onani dengan tabarruj (tidak menutup aurat) dalam puasa adalah bahwa onani itu sendiri sudah membatalkan puasa, berlawanan dengan puasa. Yang menjadi dalil adalah apa yang diriwayatkan oleh Bukhori: 1894 dan Ahmad: 9112 –menurut redaksi beliau- dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يَقُولُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: الصَّوْمُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
“Allah –‘Azza wa Jalla- berfirman: “Puasa itu milik-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku”.
Onani adalah syahwat, maka merusak puasa seperti makan dan minum.
Ibnu Hajar Al Haitami –rahimahullah- berkata:
“Onani itu sendiri membatalkan puasa”. (Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubro: 2/73)
Syeikh Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi berkata:
“Ketika Allah berfirman: “Dan syahwatnya” secara umum, maka meliputi syahwat besar baik dengan cara berjima’ atau dengan cara onani, dan jika keluar mani maka syahwatnya sudah terpenuhi, dan itulah syahwat besar/ puncak; oleh sebab itu ia dianggap tidak berpuasa; karena orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwat ini. Dan barang siapa yang melakukan onani berarti ia tidak meninggalkan syahwat”. (Syarh Zaad Al Mustaqni’: 4/104 sesuai dengan Maktabah Syamilah)
Telah disebutkan di dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (4/100):
“Onani dengan tangan itu membatalkan puasa menurut Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan mayoritas Hanafiyah bermadzhab demikian”.
Adapun tabarruj (tidak menutup aurat), bukan termasuk perkara yang membatalkan puasa, akan tetapi ia sama dengan dosa-dosa lainnya, seperti; ghibah, dusta yang akan mengurangi pahala puasa namun tidak merusaknya.
Dan telah disebutkan pada jawaban soal nomor: 50063 menjelaskan bahwa di antara bentuk maksiat itu adalah wanita yang tidak menutup aurat dan menampakkan perhiasannya dan bagian-bagian tubuhnya yang mengundang fitnah bagi laki-laki umumnya, hal ini mengurangi pahala puasa, bisa jadi maksiatnya bertumpuk sehingga akan menghilangkan pahala puasanya secara keseluruhan, akan tetapi tidak merusak puasa tersebut, puasanya tetap sah dan menggugurkan kewajiban berpuasa dan tidak perlu mengqadha’nya.
Wallahu Ta’ala A’lam