Alhamdulillah.
Pertama:
Kikir adalah sifat yang tercela, adakah penyakit yang lebih parah dari pada kekikiran? Ungkapan para ulama berbeda-beda terkait batasannya:
Ibnu Muflih –rahimahullah- berkata:
“Sebagian ulama telah menyebutkan tentang batasan sifat kikir menjadi beberapa pendapat:
- Orang yang tidak mau membayar zakat, maka Barangsiapa yang membayarkannya maka orang ini sudah keluar dari julukan kikir.
- Menolak kewajiban termasuk di antaranya adalah zakat dan shadaqah, atas dasar ini maka jika dia mau membayar zakat akan tetapi menolak kewajiban lainnya, maka ia dianggap sebagai orang kikir. (Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Qayyim dan yang lainnya).
- Mengamalkan kewajiban dan kemuliaan, jika ia tidak mengamalkan yang kedua saja, maka dianggap sebagai orang kikir (pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Ghazali dan yang lainnya)
(Diringkas dari Adab Syar’iyyah: 3/303)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Orang bakhil (kikir) adalah yang meninggalkan apa yang wajib baginya, maka barangsiapa yang menunaikan kewajiban yang diwajibkan kepadanya, tidak disebut sebagai orang kikir. Orang kikir adalah orang yang menahan dari apa saja yang menjadi hak untuk diberikan kepada orang lain”. (Jalaul Afham: 385 dan yang serupa dengannya karya Al Qurtubi: 5/193)
Imam Al Ghazali –rahimahullah- berkata:
“Orang kikir adalah orang yang menahan diri dari apa-apa yang semestinya dia tidak boleh menahannya, baik dalam hal hukum syari’at atau yang berkaitan dengan harga diri, hal ini tidak bisa terperinci kadarnya”. (Ihya’ Ulumud Din: 3/260)
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Kekikiran adalah menahan apa yang diwajibkan kepadanya dan apa yang seharusnya dia berikan”. (Syarh Riyadhus Shalihin: 3/410)
Kedua:
Diwajibkan bagi seorang suami untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya dengan cara yang ma’ruf (baik). Nafkah ini meliputi: makan, minum, pakaian dan rumah serta semua yang dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya yang tidak dapat ditinggalkan, seperti nafkah untuk berobat dan nafkah pengajaran, dan lain sebagainya.
Nafkah juga diberikan sesuai dengan kemampuan dan keadaan suami dan secara materi, berdasarkan firman Allah :
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا
سورة الطلاق: 7
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya”. (QS. Ath Thalaq: 7)
Maka nafkah wajib yang diberikan kepada istri dan anak-anaknya akan berbeda tergantung tingkat kesulitan dan kemudahan pihak suami. Barangsiapa yang diberikan kemudahan (rizeki), maka ia memberi nafkah layaknya orang yang mudah rizekinya, maka jika ia mempersempit nafkah kepada mereka maka baru dia dianggap sebagai orang kikir; karena ia menahan tidak menunaikan hak yang seharusnya ia lakukan. Dan Barangsiapa yang kondisinya berada dalam kesulitan, maka hendaknya dia memberikan nafkah layaknya orang yang kesulitan. Barangsiapa yang termasuk kalangan menengah, maka ia akan memberikan nafkah sesuai dengan keadaannya, dan Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai apa yang telah Allah berikan kepadanya.
Dalam masalah nafkah tidak ada batasannya menurut syari’at, akan tetapi besarnya nafkah dikembalikan kepada apa yang sudah diketahui bersama oleh masyarakat.
Wallahu A’lam