Kamis 25 Jumadits Tsani 1446 - 26 Desember 2024
Indonesian

Hukumnya Menghitung Kebaikan, Informasi Bagi Siapa Saja Yang Mengkhatamkan Al Qur’an Maka Ia Akan Mendapatkan Ini dan Itu Kebaikan, Sesuai Dengan Huruf Al Qur’an

Pertanyaan

Bagaimanakah hukumnya menghitung kebaikan ?, seperti ucapan seseorang bahwa Al Qur’an itu jumlah hurufnya sekian dan setiap huruf mengandung 10 kebaikan, dan jika anda telah membacanya semuanya maka anda akan mendapatkan sekian, yaitu; 10 kebaikan X jumlah ayat Al Qur’an, atau misalnya ada seorang syeikh yang membaca Al Qur’an dan disisinya ada penghitung kebaikan untuk setiap huruf yang ia baca ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Tirmidzi (2910) telah meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

  مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ ، وَلَامٌ حَرْفٌ ، وَمِيمٌ حَرْفٌ

 وصححه الشيخ الألباني رحمه الله في " صحيح سنن الترمذي " .

“Barang siapa yang telah membaca satu huruf dari kitabullah maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi 10 kebaikan, aku tidak mengatakan alim laam miim satu huruf, akan tetapi alif itu satu huruf, laam itu satu huruf, dan miim itu satu huruf”. (Telah ditashih oleh Syeikh Albani rahimahullah di dalam Shahih Sunan at Tirmidzi)

Para ulama telah berbeda pendapat menjadi dua pendapat terkait dengan maksud dari huruf yang tertera di dalam hadits, apakah yang dimaksud adalah huruf yang mabni (tidak bisa berubah/yang tertera) atau huruf makna (kontekstual/yang mempunyai arti):

Syeikh Abdul Karim Al Khudhair –hafizhahullah- anggota ulama besar di Kerajaan Saudi Arabia berkata:

“Perbedaan pendapat di antara para ulama terkait dengan huruf, apakah huruf mabni atau huruf makna ?, ini merupakan masalah khilafiyah di antara para ulama dan sebuah atsar yang memberi pengaruh pada perbedaan yang besar; karena kalau kita katakan: “Kalau yang dimaksud dengan huruf itu adalah huruf mabni, maka satu kali khatam seperti yang kami sebutkan kemarin terdapat 3.000.000 kebaikan lebih, dan jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan huruf adalah huruf makna, maka kami katakan: maka tidak tetap, tidak juga seperempatnya dari pahala tersebut, yaitu; 700.000 kebaikan, kira-kira seperempatnya. Banyak di antara para ulama yang menguatkan pendapat yang huruf mabni, inilah yang menjadi impian dari para pembaca Al Qur’an untuk memperbanyak kebaikannya. Di antara mereka ada yang mengatakan: Bahwa yang dimaksud dengan huruf adalah huruf makna, pendapat dari Syeikh Islam menunjukkan hal itu, seakan beliau cenderung kepada pendapat yang menyatakan bahwa huruf yang dimaksud adalah huruf makna.

Firman Allah –Ta’ala-:

  أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ

سورة الفيل

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?”. (QS. Al Fiil: 1)

Kata “ألم “ tiga huruf mabni, akan tetapi menurut huruf makna adalah dua. أ kata tanya satu huruf. Dan لم adalah dua huruf.

كيف satu huruf menurut huruf makna, dan tiga huruf menurut huruf mabni, mentarjih (mencari pendapat terkuat) dalam masalah seperti ini adalah perkara yang sulit; karena huruf tersebut bisa masuk pada dua istilah tersebut secara bersamaan”. (Syarah Manzhumah Al Mimiyah fil Adab As Syar’iyyah)

Kedua:

Menghitung huruf-huruf Al Qur’an hukumnya  tidak mengapa diperbolehkan, sebagian generasi salaf telah melakukannya.

Disebutkan di dalam Tafsir Ibnu Katsir (1/99):

Dari Mujahid; inilah yang bisa kami hitung dari Al Qur’an, yaitu; 321.180 huruf.

Al Fadhl berkata, dari ‘Atha’ bin Yasar: “323.015 huruf”.

Atas dasar itulah maka, jika seseorang berkata; sungguh jumlah huruf-huruf Al Qur’an sekian dan sekian, maka barang siapa yang telah membaca Al Qur’an seluruhnya, maka diharapkan ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan jumlah tersebut, dan satu huruf itu dilipatgandakan sepuluh kebaikan, maka tidak masalah dalam hal ini; karena haditsnya menunjukkan makna tersebut, tinggal menentukan jumlah huruf Al Qur’an berdasarkan khilafiyah tersebut di atas.

Ketiga:

Menghitung-hitung kebaikan atau menaruh alat penghitung untuk kebaikan, agar seseorang menghitung berapa jumlah yang ia baca dari Al Qur’an, maka sebagian ulama salaf telah memakruhkannya.

Sebagaimana juga dihawatirkan bagi pelakunya merasa ujub dan tertipu dengan amalnya sendiri, setiap kali ia melihat banyaknya jumlah huruf yang ia baca.

Disebutkan di dalam Mushannaf bin Abi Syaibah (2/162):

“Bahwa Abdullah –Ibnu Mas’ud- ia tidak suka menghitungnya dan berkata: “Apakah ia akan membangga-banggakan kebaikan-kebaikannya kepada Allah ?”.

Disebutkan di dalam Sunan Ad Darimi (286) di dalam hadits Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- yang panjang, di antaranya adalah:

 قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حصًا نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ ، قَالَ : " فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ... الحديث

“Mereka berkata: “Wahai Abu Abdurrahman, kita hitung takbir, tahlil dan tasbih dengan batu (tasbih)”, beliau menjawab: “Hitung-hitunglah keburukan kalian, maka aku menjadi jaminan bahwa tidak ada kebaikanmu yang hilang sedikitpun, celaka kamu semua wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian….(Al Hadits).

Beliaunya –radhiyallahu ‘anhu- telah mengingkari penghitungan kebaikan.

Hal itu semakin menjadi jelas, jika kami ketahui bahwa mendapatkan pahala yang khsusus ini atau sejumlah kebaikan adalah sebagai bentuk janji untuk mendapatkan kebaikan, hanya saja pada skala perorangan kebaikan itu tidak ditetapkan kecuali setelah diterimanya amalnya, penerimaan amal itu perkara yang ghaib, seorang hamba tidak tahu apa yang ada di sisi Allah, maka hendaknya seorang hamba tidak lalai akan hal itu, maka hendaknya memperbesar harapan kepada Tuhannya akan penerimaan-Nya ini, karunia Allah itu luas, hendaknya urusannya di antara dua hal:

  1. Memperbesar kecintaannya kepada Rabbnya dan berbaik sangka kepada-Nya.
  2. Khawatir bahwa amalnya dikembalikan lagi kepadanya (ditolak)

Maka janganlah sampai tertipu.

Dari ‘Aisyah istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- -radhiyallahu ‘anha-:

  سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ هَذِهِ الآيَةِ: وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ قَالَتْ عَائِشَةُ: أَهُمُ الَّذِينَ يَشْرَبُونَ الخَمْرَ وَيَسْرِقُونَ؟ قَالَ: لاَ يَا بِنْتَ الصِّدِّيقِ، وَلَكِنَّهُمُ الَّذِينَ يَصُومُونَ وَيُصَلُّونَ وَيَتَصَدَّقُونَ، وَهُمْ يَخَافُونَ أَنْ لاَ تُقْبَلَ مِنْهُمْ أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ

رواه الترمذي (3175) ، وصححه الألباني .

“Saya pernah bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tentang ayat ini: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, ‘Aisyah berkata: “Apakah mereka itu orang-orang yang minum khomr dan mencuri ?”, beliau menjawab: “Tidak wahai putrinya Abu Bakar As Shiddiq”, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat dan bersedekah, dan mereka merasa takut kalau amalnya tidak diterima, merekalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan dan berkompetisi”. (HR. Tirmidzi: 3175)

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam