Kamis 25 Jumadits Tsani 1446 - 26 Desember 2024
Indonesian

Membaca Al-Quran Saat Haid

Pertanyaan

Apakah boleh bagi wanita yang sedang haid membaca Al-Quran?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Masalah ini termasuk masalah yang diperdebatkan para ulama.

Jumhur ulama berpendapat diharamkan membaca Al-Quran bagi wanita haid sebelum dia suci. Tidak dikecualikan hal tersebut kecual bacaan yang dibaca dengan tujuan berzikir dan berdoa, tidak ditujukan membaca Al-Quran. Seperti bacaaan bismillahrrahmaanirrahim, inna lillah wa inna ilaihi raajiun, rabbanaa aatina fiddunya hasanah… dst. Sebagaimana zikir dan doa lainnya yang terdapat dalam Al-Quran. Pendapat mereka yang melarang hal tersebut dilandasi dengan beberapa dalil;

1-      Hukum wanita haid sama dengan hukum orang yang junub, karena keduanya diwajibkan mandi janabah. Sementara terdapat riwayat shahih dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, 

"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajarkan mereka Al-Quran, tidak ada yang menghalanginya dari Al-Quran selain janabah."  

(HR. Abu Daud, 1/281, Tirmizi, no. 146, Nasai, no. 1/144, Ibnu Majah, no. 1/207, Ahmad, 1/84, Ibnu Khuzaimah, 1/104. Tirmizi berkata, "Haditsnya hasan shahih, Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, "Yang benar bahwa hadits ini termasuh hadits hasan dan layak menjadi hujjah/dalil." 

2. Apa yang diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bersabda,

لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن رواه الترمذي، رقم 131)وابن ماجه، رقم 595 والدارقطني 1/117 والبيهقي، 1/89)

"Hendaknya wanita haid dan orang yang junub tidak membaca Al-Quran sedikitpun." (HR. Tirmizi, no. 121, Ibnu Majah, no. 595, Daruquthni, 1/117 dan Baihaqi, 1/89) 

Ini merupakan hadits lemah, karena berasal dari riwayat Ismail bin Ayasy dari orang-orang Hijaz. Riwayat dia dari mereka dianggap lemah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (21/460) berkata, 'Ini merupakan hadits lemah berdasarkan kesepakatan para pakar hadits." (Lihat Nashburroyah, 1/195 dan Talkhis Habir, 1/183)

Sebagian ulama berpendapat bolehnya membaca Al-Quran bagi wanita haid. Ini merupkan mazhab Maliki, juga menjadi salah satu pendapat Ahmad, sertai pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiah, Asy-Syaukani menguatkannya. Mereke berdalil dengan pendapat tersebut dengan dalil-dalil berikut ini;

1-      Asal  dalam sebuah perkara adalah dibolehkan dan halal hingga ada dalil yang melarangnya. Sedangkan dalam masalah ini tidak ada dalil yang melarang wanita haid untuk membaca Al-Quran. Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, "Dalam masalah pelarangan wanita haid untuk membaca Al-Quran, tidak terdapat nash yang jelas dan sah. Padahal telah diketahui bahwa kaum wanita mengalami haid pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa sallam, akan tetapi beliau tidak mealrang mereka untuk membaca Al-Quran, sebagaimana beliau tidak melarang mereka untuk berzikir dan berdoa.

2-      Sesungguhnya Allah Ta'al telah memerintahkan untuk membaca Al-Quran dan memuji orang yang membacanya serta menjanjikannya dengan pahala yang banyak dan besar. Maka semestinya hal tersebut tidak terhalang kecuali dengan dalil yang telah jelas. Sementara tidak ada dalil yang mencegah wanita haid untuk membaca Al-Quran sebagaimana telah dijelaskan.

3-      Mengqiyaskan wanita haid dengan orang yang sedang junub dalam hal larangan membaca Al-Quran adalah qiyas untuk sesuatu yang berbeda, karena orang yang junub dapat memilih untuk menghilangkan pencegah tersebut dengan mandi, berbeda dengan wanita haid. Demikian pula masa haid itu lama biasanya. Berbeda dengan orang yang junub, dia tetap diperintahkan untuk shalat jika telah masuk waktunya.

4-      Dengan melarang wanita haid untuk membaca Al-Quran dapat menyebabkannya kehilangan kesempatan pahala, juga dapat membuatnya melupakan hafalan Al-Quran, atau dia sendiri butuh untuk membacanya untuk belajar dan mengajar.

Dengan uraian di atas, jelaslah kekuatan dalil pihak yang membolehkan membaca Al-Quran bagi wanita haid. Namun jika wanita tersebut membatasi dirinya dengan membacanya apabila takut lupat hafalan yang dimilikinya, maka dia mengambil sikap yang lebih hati-hati.

Yang layak diperingatkan dalam masalah ini adalah bahwa perkara ini apabila wanita tersebut membacanya dengan cara menghafal, adapun membaca lewat mushaf, maka ada hukum lain. Karena pendapat yang kuat dari beberapa pendapat ulama adalah diharamkan menyentuh mushaf bagi yang berhadats. Berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala, 

 لا يمسه إلا المطهرون

"Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci." 

Begitupula berdasarkan riwayat tentang surat untuk Amr bin Hazm yang ditulis oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk penduduk Yaman, di dalamnya terdapat ungkapan,

ألا يمس القرآن إلا طاهر (رواه مالك 1/199 والنسائي 8/57 وابن حبان 793 والبيهقي 1/87)

"Tidak boleh menyentuhnya kecuali orang yang suci." (HR. Malik, 1/199, Nasai, 8/57, Ibnu Hibban, no. 793 dan Baihaqi, 1/87)

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata, "Hadits ini dishahihkan oleh sejumlah tokoh ulama dari sisi keterkenalannya. Asy-Syafii berkata, "Terdapat riwayat yang kuat itu merupakan surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam." Ibnu Abdul Bar berkata, "Ini surat yang terkenal di kalangan ahli sejarah dan sangat dikenal di kalangan para ulama sehingga tidak membutuhkan sanad, karena lebih mirip sebagai riwayat mutawatir yang diterima manusia dengan baik dan telah dikenal."

Syaikh Al-Albany berkata tentang riwayat ini, "Shahih." (Talkhisul Habir, 4/17. Lihat Nashbur-Rayah, 1/196 dan Irwa'ul Ghalil, 1/158)

Lihat: Hasyiah Ibnu Abidin, 1/159, Al-Majmu, 1/356, Kasyaful Qana, 1/147, Al-Mughni, 3/461, Nailul Authar, 1/226, Majmu Fatawa, 21/460, Asy-Syarhul Mumti, Ibnu Utsaimin, 1/291.

Karena itu, jika seorang wanita haid hendak membaca melalui mushaf, hendaknya dia memegangnya melalui sesuatu yang memisahkannya dari mushaf, seperti dengan menggunakan kain yang suci atau menggunakan sarung tangan atau membalik halaman dengan gagang, pulpen atau semacamnya. Kulit mushaf yang dijahit atau menempel, hukumnya sama dengan mushaf dalam hal menyentuhnya.

Wallahua'lam.

Refrensi: Syekh Muhammad Sholeh Al-Munajid