Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Jika Para Nabi Fisiknya Sempurna dan Terjaga Dari Dosa (Ma’shum), Maka Bagaimana Dengan Nabi Musa Yang Lisannya Sulit Berucap dan Pernah Membunuh Seseorang Tak Berdosa ?

Pertanyaan

Saya telah membaca tentang kema’shuman para Nabi –‘alaihimus salam- dari kelemahan fisik dan akhlak, maka bagaimana dengan Nabi Musa –‘alaihis salam- yang lemah dalam berucap, dan bagaimana seorang Nabi membunuh seseorang yang tidak berdosa ? Apakah hal ini bertentangan dengan kema’shumannya ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Allah –‘Azza wa Jalla- telah memuliakan para Rasul-Nya, dan telah menjadikan mereka siap untuk menerima beban risalah dan menyampaikannya, maka Dia telah menyempurnakan fisik dan akhlak mereka, Dia juga telah memilih mereka untuk menyampaikan risalah-Nya dan risalah tersebut pun berada di tangan mereka tidak pada selain mereka:

  اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ

 الأنعام: 124 .

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan”. (QS. Al An’am: 124)

Oleh karena itu Allah telah membebaskan Kalimullah Musa dari siksaan Bani Israil, mereka menuduh Nabi Musa mempunyai aib pada fisiknya; karena mereka kalau mandi telanjang sebagian mereka melihat sebagian lainnya, sementara Musa mandi sendiri dengan menutupi auratnya, maka mereka berkata:

  وَاللَّهِ مَا يَمْنَعُ مُوسَى أَنْ يَغْتَسِلَ مَعَنَا إِلَّا أَنَّهُ آدَرُ فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ فَوَضَعَ ثَوْبَهُ عَلَى حَجَرٍ فَفَرَّ الْحَجَرُ بِثَوْبِهِ فَخَرَجَ مُوسَى فِي إِثْرِهِ يَقُولُ ثَوْبِي يَا حَجَرُ حَتَّى نَظَرَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ إِلَى مُوسَى فَقَالُوا وَاللَّهِ مَا بِمُوسَى مِنْ بَأْسٍ وَأَخَذَ ثَوْبَهُ فَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا  

رواه البخاري (278) ومسلم (339(

“Demi Allah, tidak ada yang menghalangi Musa untuk mandi bersama kami, kecuali karena buah zakarnya membesar, maka suatu ketika pada saat beliau mandi dan meletakkan pakaiannya di atas batu, lalu batu itu bergerak membawa pakaiannya, Nabi Musa pun mengejarnya dan berkata: “Pakaian ku wahai batu”, sampai Bani Israil melihat Nabi Musa dan berkata: “Demi Allah, (fisik) Musa tidak ada masalah, beliau pun mengambil pakaiannya dan memukul batu tersebut”. (HR. Bukhori: 278 dan Muslim: 339)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata setelah disebutkan hadits tersebut:

“Hadits tersebut menunjukkan bahwa para Nabi pada fisik dan akhlak mereka sangat sempurna dan barang siapa yang menisbatkan seorang Nabi dari para Nabi yang ada terdapat kekurangan pada fisiknya maka ia telah menyakitinya, dan dikhawatirkan pelakunya akan menjadi kafir”. (Fathul Baari: 6/438)

Kedua:

Kesulitan berucap pada lisan Nabi Musa –‘alaihis salam- tidak termasuk aib sejak awal, yang dikenal bahwa kekurangan tersebut bersifat baru; karena bara api yang telah ia letakkan di mulutnya semasa kecilnya, sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama tafsir.

Beberapa bentuk cedera dikemudian hari juga menimpa para Nabi sama halnya juga menimpa selain mereka. Dimana mereka juga terkadang tersakiti, terkena (luka), sehingga menyebabkan ada kekurangan fisik yang ada, sebagaimana juga telah terjadi kepada Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa keempat gigi depan beliau patah pada saat perang Uhud.

Namun demikian cacat fisik yang bersifat baru ini tidak mempengaruhi untuk menyampaikan risalah, Nabi Musa telah memohon kepada Allah agar menyembuhkan kesulitan berucap beliau:

  قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي* وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي* وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي* يَفْقَهُوا قَوْلِي

 “Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”. (QS. Thaha: 25-28)

Dan Allah –subhanah- telah mengabulkan doa beliau:

  قَالَ قَدْ أُوتِيتَ سُؤْلَكَ يَا مُوسَى

 طه  36 .

“Allah berfirman: "Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa." (QS. Thaha: 36)

Ibnu Katsir pada saat mentafsiri firman Allah tentang Fir’aun yang telah berkata:

( أَمْ أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَذَا الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ : " وَقَوْلُهُ: (وَلا يَكَادُ يُبِينُ) افْتِرَاءٌ أَيْضًا، فَإِنَّهُ وَإِنْ كَانَ قَدْ أَصَابَ لِسَانَهُ فِي حَالِ صِغَرِهِ شَيْءٌ مِنْ جِهَةِ تِلْكَ الْجَمْرَةِ، فَقَدْ سَأَلَ اللَّهَ، عَزَّ وَجَلَّ، أَنْ يَحُلَّ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِهِ لِيَفْقَهُوا قَوْلَهُ، وَقَدِ اسْتَجَابَ اللَّهُ لَهُ فِي ذَلِكَ فِي قَوْلِهِ: (قَالَ قَدْ أُوتِيتَ سُؤْلَكَ يَا مُوسَى)

" انتهى من تفسير ابن كثير (7/232)

“Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?”. Firman Allah:  (وَلا يَكَادُ يُبِينُ)  adalah kedustaan juga, bahwa meskipun pada masa kecilnya lisan beliau terkena bara api, beliau sudah memohon kepada Allah –‘Azza wa Jalla- agar melepaskan kekakuan pada lidahnya supaya mereka memahami ucapannya, Allah juga telah mengijabah doa beliau dalam firman-Nya: “Allah berfirman: "Sesungguhnya telah diperkenankan permintaanmu, hai Musa." (Tafsir Ibnu Katsir: 7/232)

Maka menjadi jelas bahwa apa yang telah menimpa lidah Nabi Musa -‘alaihis salam- tidak ada pengaruhnya untuk menyampaikan risalahnya sesuai dengan yang telah digariskan, hal itu bukan termasuk aib bagi Nabi Musa -‘alaihis salam-, tidak ada aib yang menyebabkan beliau dijauhi, juga tidak mengurangi rasa hormatnya -‘alaihis salam- ; kecuali dilihat dari sisi kedustaan dan kebohongan yang dilakukan oleh Fir’aun yang terlaknat.

Kedua:

Para Nabi adalah manusia-manusia pilihan, mereka adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah –‘Ta’ala- mereka telah dijaga dari dosa besar yang tidak bersumber dari mereka selamanya, mereka ma’shum dari dosa besar, baik sebelum diangkat menjadi Rasul atau setelahnya.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmu’ Fatawa (4/319):

“Pendapat bahwa para Nabi ma’shum (terjaga) dari dosa-dosa besar namun tidak untuk dosa kecil adalah pendapat mayoritas para ulama dan semua kelompok. Pendapat tersebut adalah pendapat mayoritas dari para ahli tafsir, hadits dan fikih. Bahkan tidak dinukil dari para generasi salaf, para imam, para sahabat, para tabiin dan yang mengikuti mereka, kecuali mereka menyepakai pendapat ini”. Selesai.

Adapun dosa-dosa kecil bisa jadi mereka pernah melakukannya atau oleh sebagian dari mereka; oleh karenanya banyak para ulama yang berpendapat bahwa mereka tidak ma’shum dari dosa kecil. Jika mereka melakukannya dan tidak mengakuinya, maka Allah –Tabaraka wa Ta’ala- yang memperingatkan mereka supaya mereka bersegera untuk bertaubat.

Di antara contohnya adalah Nabi Musa –‘alaihis salam- pernah membunuh seorang Qibti yang tidak bersalah dengan tidak sengaja. Dimana yang mendorongnya melakukan hal itu adalah untuk menolong orang yang dizholimi; karena orang-orang Qibti telah memperbudak Bani Israil dan melampaui batas-batas kewajaran.

Al Qurtubi berkata:

“Sungguh Musa membantunya karena menolong orang yang dizholimi bagian dari agama menurut semua agama semua umat, dan merupakan sebuah kewajiban dalam semua syari’at. Qatadah berkata: “Seorang Qibti ingin menyuruh seorang bani Israil untuk membawa kayu bakar untuk keperluan dapurnya Fir’aun, ia pun menolaknya, lalu ia pun meminta bantuan kepada Musa”.

Qurtubi juga berkata pada saat mentafsiri firman Allah:

قالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ

“Musa berdo`a: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku". Maka Allah mengampuninya”. (QS. Al Qashash: 16)

“Nabi Musa -‘alaihis salam- pun menyesal atas pukulannya yang menyebabkannya meninggal dunia, penyesalannya membawanya untuk tunduk kepada Tuhannya dan beristighfar dari dosanya…”.

Pembunuhannya tersebut adalah karena tersalah (tidak sengaja), dimana pada umumnya pukulan dan tinju tidak sampai membunuh.

Muslim telah meriwayatkan dari Salim bin Abdullah bahwa ia berkata:

“Wahai penduduk Irak, saya tidak bertanya tentang dosa kecil, namun kamu semua melakukan dosa besar !, aku telah mendengar ayahku Abdullah bin Umar berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

   إن الفتنة تجئ من ها هنا- وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ- مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنَا الشَّيْطَانِ وَأَنْتُمْ بَعْضُكُمْ يَضْرِبُ رِقَابَ بَعْضٍ وَإِنَّمَا قَتَلَ مُوسَى الَّذِي قَتَلَ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ خَطَأً فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: ( وَقَتَلْتَ نَفْساً فَنَجَّيْناكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُوناً)

" انتهى مختصرا من "تفسير القرطبي" (13/261(

“Sungguh fitnah itu akan datang dari sini –beliau menunjuk dengan jarinya ke arah timur- dari tempat terbitnya kedua tanduk syetan, dan sebagian kalian akan membunuh sebagian lainnya, dan Musa yang telah membunuh seseorang dari kerabat Fir’aun karena tersalah (tidak sengaja), maka Allah –‘azza wa jalla- berfirman:

 وَقَتَلْتَ نَفْساً فَنَجَّيْناكَ مِنَ الْغَمِّ وَفَتَنَّاكَ فُتُوناً 

“Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu Kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan”. (QS. Thaha: 40)

(Mukhtashar Tafsir Al Qurtubi: 13/261)

Al ‘Astholani berkata:

“Kema’shuman beliau tidak cacat karena beliau berbuat kesalahan, dimana dalam ayat (Qur’an) dianggap termasuk perbuatan syetan yang dinamakan kezholiman, karenanya beliau beristighfar. Dan sudah menjadi kebiasaannya menganggap besar dosa kecil yang dilakukannya.”. (Irsyad As Saari: 7/206)

Lebih dari itu kami berpendapat, sungguh pembunuhan kepada seorang Qibti tersebut, dimana dia juga memunyai andil menjadi penyebabnya, dan pembunuhan tersebut adalah pembunuhan yang tersalah (tidak sengaja), Musa juga tidak berniat untuk membunuhnya. Semua itu terjadi sebelum Musa –‘alaihis salam- diangkat menjadi seorang Nabi. Para Nabi tidak ma’shum dari kesalahan sebelum kenabian mereka, apalagi secara niat beliau masih benar dan adanya pemicu peristiwa.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Saya tidak mengetahui bahwa Bani Israil telah menganggap cacat seorang Nabi dari para Nabi yang ada kerena taubat pada satu masalah tertentu, akan tetapi mereka menganggap cacat para Nabi dengan mendustakan mereka sebagaimana mereka telah menyakiti Nabi Musa ‘alaihis salam, padahal Nabi Musa telah membunuh Qibti sebelum masa kenabiannya dan telah bertaubat setelah meminta untuk dapat melihat Allah dan lainnya setelah kenabiannya. Dan saya tidak mengetahui seorang pun dari Bani Israil menganggap cacat dalam masalah ini”. (Manahijus Sunnah An Nabawiyah: 2/409)

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam