Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Berserikat Dalam Perdagangan. Salah Satunya Dengan Dana Sementara Yang Lainnya Dengan Tempat dan Peralatan-peralatan dan Kerja (Tenaga). Kemudian Mendapatkan Kerugian. Siapakah Yang Menanggungnya?

Pertanyaan

Saya berserikat dengan temanku berdagang kambing. Persyaratannya adalah modal pokok dari dia. Sedangkan tempat, peralatan dan kerja (tenaga) dari saya. Sementara keuntungan dan kerugian ditanggung masing-masing 50 % (Setengah-setengah). Setelah selesai (dagang) dan karena harga kambing turun, maka proyeknya mengalami kerugian. Setelah saya melihat fatwa Anda, saya mengetahui bahwa tidak diperbolehkan berbagi dalam kerugian. Sementara kerugian terjadi pada pemilik modal. Apa yang selayaknya kami lakukan? Apa mungkin saya memberikan kepadanya separuh kerugian agar saya tidak membahayakannya? Kalau kita ingin melanjutkan proyek dan membeli sejumlah barang lainnya, apakah mungkin kita menghitung keuntungan setelah kita hilangkan modal utamanya yang lama, seolah-olah proyeknya masih berjalan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama.

Kaidah dalam berserikat adalah bahwa kerugian sesuai dengan kadar modal, sementara keuntungan sesuai dengan kesepakatan dengan para mitra.

Kalau ada dua orang berserikat dengan kedua dananya, maka kerugian sesuai dengan kadar kedua dananya secara prosentasi.

Sementara apabila dua orang berserikat salah satunya dengan dana, sementara yang lain dengan kerja (tenaga), maka kerugian dananya itu dibebankan kepada pemilik modal, sementara pekerja rugi dengan pekerjaannya. Kecuali kalau pekerja itu melampaui batas atau teledor, maka kerugian dananya dibebankan kepadanya juga.

Ibnu Qudamah Rahimahullah dalam Al-Mugni (5/22) mengatakan, “Kerugian dalam perserikatan dibebankan kepada masing-masing keduanya (maksudnya kedua mitra) sesuai dengan kadar dananya. Kalau kedua dananya sama kadarnya, maka keduanya menanggung kerugian setengah. Kalau sepertiga, maka kerugiannya juga sepertiganya. Kami tidak mengetahui ada perbedaan di antara ahli ilmu. Ini juga menjadi pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i dan selain keduanya.

Dan kerugian dalam mudharabah itu dibebankan kepada pemilik modal, sementara untuk pekerja tidak terkena apa-apa. Karena kerugian ibaratnya adalah berkurangnya modal pokok, dan hal itu khusus bagi pemilik dananya. Sementara pekerja tidak terkena apa-apa. Sehingga kekurangannya itu pada dananya bukan pada lainnya. Tak lain keduanya berserikat pada capaian pertumbuhan (keuntungan).”

Apabila teman Anda itu berserikat dengan modal pokok, sementara Anda berserikat dengan modal tempat, peralatan dan kerja, kemudian Anda tidak mengambil upah atas tempat dan peralatan, kalau Anda suka rela menyumbangkan tempat dan peralatan, maka hal itu tidak mengapa dan Anda tidak terkena apapun. Jika kalian berdua telah memperhatikan hal itu dalam perserikatan. Anda berdua menghitung sewa tempat dan peralatan layaknya modal pokok sebagai sumbangsih Anda bergabung dalam perserikatan, maka Anda perkirakanlah upah sewa hal itu, sehingga Anda berserikat pada modal pokok. Sehingga ujungnya Anda telah bergabung dengan harta dan kerja. Oleh karenanya, kerugian juga dibebankan pada dana sesuai dengan kadar porsi dana Anda sesuai dengan apa yang kami telah sebutkan.

Kalau seandainya teman Anda ikut bergabung dengan 10.000 sementara sewa tempat dan peralatan itu 2000. Maka anda telah bergabung dengan 2000 dan dengan kerja Anda. Ketika terjadi kerugian, maka Anda menanggung seperlimanya. Karena prosentasi dana Anda dengan dana teman Anda itu seperlima. Maka Dia harus mengembalikan kelebihan yang telah diambilnya kepada Anda. Jika Anda mau menanggung setengah kerugiannya dengan kehendak Anda dalam rangka menghibur dan berbuat baik, maka hal itu tidak mengapa. Dan tidak boleh memberikan syarat seperti itu pada akad perserikatan ke depannya.

Kedua.

Apabila kalian berdua ingin melanjutkan proyek dan membeli sejumlah kambing lainnya, maka selesaikanlah proyek pertama. Teman Anda membawa modal pokok, dan Anda juga memegang modal pokok, lalu kalian berdua bersepakat bahwa kerugian itu sesuai dengan kadar modal pokoknya.

Jika kami mengatakan, “...selesaikanlah proyek pertama,” karena kalau teman Anda mempunyai hutang kepada Anda –yaitu sebesar kerugian- kalau Anda akan menanggung sebagian darinya, sesuai dengan perincian tadi, maka tidak diperbolehkan hutang ini menjadi modal pokok pada proyek baru. Karena syirkah mensyaratkan hendaknya modal pokok itu berupa fisik bukan hutang (tanggungan).

Dalam kitab Kasyaful Qina’ (26/48) Al-Bahuti mengatakan, “Di antaranya, yaitu syarat-syarat Syirkah adalah kedua dana (modal) harus ada sebagai mudharabah untuk menetapkan pekerjaan dan mewujudkan syirkah. Maka syirkah tidak sah jika modalnya tidak ada, begitu pula jika dananya berupa harta yang menjadi tanggungan (dzimmah), karena tidak mungkin melakukan tindakan (menjalankan usaha) dalam kondisi seperti ini yang merupakan tujuan dari syirkah.”

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan, “Syarat pertama, hendaknya modal pokok itu berupa fisik bukan hutang. Karena perniagaan yang menghasilkan tujuan syirkah, yaitu keuntungan, tidak akan terwujud dengan adanya modal berupa hutang. Sehingga menjadikan hutang sebagai modal pokok syirkah itu akan menghilangkan tujuan syirkah.”

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam