Jum'ah 26 Jumadits Tsani 1446 - 27 Desember 2024
Indonesian

Penyebab Diharamkannya Menjual Hutang Dengan Hutang. Apakah Termasuk Dalam Masalah ini Saling Berjanji Pada Penjualan Murabahah?

291561

Tanggal Tayang : 31-08-2022

Penampilan-penampilan : 4199

Pertanyaan

Jika dalam penjualan dengan system barang diserahkan kemudian dan uang pembayarannya juga diserahkan kemudian dan  boleh membuat janji jual beli sebelum akad, maka apa hikmah dibalik pengharaman penjualan hutang dengan hutang? Apakah perbedaan antara akad dan janji di sini?

Alhamdulillah.

Pertama: Menjual hutang dengan hutang, ijmak menyatakan haram.

Penjualan hutang dengan hutang, ijmak menyatakan akan keharammnya dan di antara mereka yang menyebutkan konsesus (ijmak): Imam Ahmad, Ibnul Mundziri, Ibnu Rusyd dan yang lainnya.

Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Ibnul Mundzir berkata: “Para ulama telah melakukan konsensus (ijmak) bahwa penjualan hutang dengan hutang tidak boleh. Ahmad berkata: Hal itu merupakan ijmak.

Abu Ubaid telah meriwayatkan di dalam Al Ghariib bahwa Nabi –shalllahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang untuk jual beli ‘kali’ bil kali’. Dan dia mentafsirkannya hutang dengan hutang. Hanya saja Al Atsram telah meriwayatkan dari Ahmad, bahwa beliau telah ditanya: Apakah ada hadits shahih pada hal ini ? Dia menjawab: Tidak”  (Al Mughni: 4/37)

Ibnul Qatthan berkata:

“Banyak orang para ulama yang diterima ilmunya sepakat bahwa menjual hutang dengan hutang itu tidak boleh”. (Al Iqna’ fii Masailil Ijmak: 2/234)

Hikmah dari haramnya penjualan hutang dengan hutang adalah bahwa jika penjualan itu kepada orang yang berhutang sendiri maka besar kemungkinan akan menyebabkan riba, dan jika bagi orang lain maka bisa jadi akan menyebabkan riba, atau dapat menimbulkan kerugian dan ketidakpastian atau dari sisi keuntungan yang belum terjamin.

Syeikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata:

“Penjualan Kali’ bin Kali’ adalah penjualan hutang dengan hutang, hadits dalam bab ini lemah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- di dalam Bulughul Maram, namun maknanya benar, sebagaimana juga telah dijelaskan oleh Allamah Ibnul Qayyim –rahimahullah- di dalam kitabnya “I’lamul Muwaqqi’in” dan sebagaimana juga telah disebutkan oleh selain beliau dari kalangan para ulama.

Sifatnya adalah seseorang mempunyai hutang –kepada zaid misalnya- lalu ia menjualnya kepada orang lain dengan hutang juga. Atau dia menjualnya kepada orang yang masih punya hutang kepadanya, hal itu ada unsur gharar (gambling) dan tidak adanya saling terima.

Namun jika barang dan harganya termasuk harta riba, boleh mengambil salah satu dua barang yang diperjualbelikan tersebut, dengan syarat adanya serah-terima langsung  dalam satu majelis dan harus sama jumlahnya jika keduanya satu jenis. Adapun jika keduanya berbeda jenis, boleh tidak sama, dengan syarat serah-terima langsung dalam satu majelis.

Sebagaimana diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau pernah ditanya sebagian para sahabatnya:

يا رسول الله: إننا نبيع بالدراهم ونأخذ عنها الدنانير، ونبيع بالدنانير ونأخذ عنها الدراهم، فقال النبي ﷺ: لا بأس أن تأخذها بسعر يومها ما لم تفترقا وبينكما شيء (رواه الإمام أحمد والترمذي وابن ماجة وأبو داود والنسائي، بإسناد صحيح عن ابن عمر رضي الله عنهما وصححه الحاكم)

 “Wahai Rasulullah, sungguh kami menjual dengan dirham dan menerima dengan dinar, dan kami menjual dengan dinar dan menerima dengan dirham, maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak masalah, kamu menerimanya dengan harga pada hari itu, selama keduanya belum terpisah dan ada sesuatu antar kalian berdua”. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan Nasa’i dengan sanad yang shahih dari Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhuma-. Dinyatakan shahih oleh Hakim)

Dan menurut dalil lainnya juga dalam masalah ini.

Adapun jika seseorang membeli barang dengan harga hutang kemudian dijual kepada orang lain, setelah dia menerima barang tersebut, baik dengan harga hutang atau kontan, maka tidak mengapa dalam hal ini; berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala:

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

سورة البقرة:275

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al Baqarah: 275)

Dan firman Allah lainnya:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ

سورة البقرة:282

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang, hendaklah kamu menuliskannya”. (QS. Al Baqarah: 282)

Namun tidak boleh menjual barang yang telah dia beli dengan hutang kepada orang yang telah menjual barangnya kepadanya, dengan harga yang lebih murah; karena hal itu termasuk gambaran transaksi ‘inah dan menjadi sarana riba. Dan Allah-lah pemilik taufik.

Silakan lihat hikmah dari hal itu dan rincian gambarannya di: Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah (9/176) dan setelahnya, As Syarhul Mumti’ (8/444) dan setelahnya, Syarh Zaad Al Mustaqni’ karya Syeikh As Syinqithi di Maktabah Syamilah.

Kedua: Kapan dibolehkan menjual dengan hutang?

Adapun penjualan yang tertunda/hutang, maka dibolehkan jika barangnya ada dan dimiliki oleh penjual, maka hal ini menjadi penjualan barang dengan hutang.

Jika barang belum dimiliki oleh penjual, maka keduanya berjanji agar si penjual membelikan untuknya dan kemudian memilikinya, lalu menjualnya dengan tempo/hutang, maka hal ini tidak masalah. Janji itu tidak mengikat –janji yang disyari’atkan dalam jual beli- bukan penjualan dan tidak ada resiko dan ancaman yang telah kami sebutkan pada penjualan hutang dengan hutang.

Dan karenanya jumhur ahli fikih membolehkan akad murabahah yaitu meminta seseorang membelikan suatu barang dan boleh membuat janji yang tidak mengikat di antara kedua belah pihak dalam hal itu, karena tidak ada resiko apapun.

AS Syafi’i –rahimahullah- berkata:

“Jika seseorang memperlihatkan barang kepada orang lain dan berkata: “Tolong beli barang ini dan saya akan (membelinya dengan) memberikan keuntungan kepadamu sekian. Lalu orang itu membelinya. Maka pembelian ini boleh. Dan yang berkata: “Saya akan memberikan keuntungan kepadamu di dalamnya”, adalah bersifat pilihan, jika dia bersedia maka terjadi penjualan dan jika tidak bersedia dia bisa meninggalkannya.

Demikian juga jika dia berkata: “Belikan untukku barang tertentu dengan ciri-ciri begini, atau barang terserah kamu, dan saya akan memberikan keuntungan kepadamu (dengan membelinya). Maka semua ini sama, penjualan pertama boleh dan hal ini terjadi jika ia memberikan pilihan pada dirinya, bagi dalam masalah ini sesuai dengan ciri-ciri yang kamu pesan, jika ia berkata: “Saya akan membelinya darimu dengan kontan atau hutang, maka boleh dengan penjualan pertama, dan keduanya memilih dengan penjualan lainnya, dan jika keduanya memperbaharuinya maka boleh”.

Dan jika terjadi penjualan di antara kedua pihak yang mengikat keduanya, maka akadnya rusak dari kedua sisi;

Pertama; terjadi penjualan antar keduanya sebelum barang dimiliki oleh si penjual.

Kedua; Anda dalam bahaya sebuah system jual beli dengan metode, ‘Jika engkau membelinya dengan harga sekian dan saya akan (beli dengan) keuntungan sekian.” (Al Umm: 3/39)

Sebagaimana diketahui bahwa jika janjinya bersifat mengikat pada keduanya, maka dilarang. Karena janji ini status hukumnya sama dengan jual beli.

Kesimpulannya bahwa janji tidak sama dengan  hukum jual-beli, kecuali jika janji tersebut bersifat mengikat kedua belah pihak.

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam