Alhamdulillah.
Pertama.
Syariat Islam yang Allah Ta’ala turunkan kepada hamba-hamba-Nya meliputi semua yang dibutuhkan oleh manusia dalam masalah akidah, ibadah dan mu’amalah, karena ia adalah syariat penutup yang diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Nabi penutup, untuk disampaikan kepada seluruh manusia. Tidak ada Nabi dan syariah lagi setelahnya. Bahkan Isa ‘Alaihis Salam pun yang turun di akhir zaman akan berhukum dengan syariat Islam.
Barangsiapa yang merenungi Al-Qur’an, mengkaji hadits, kitab-kitab fikih klasik dan kontemporer, ia akan mengetahui hal itu dengan penuh keyakinan.
Ada hukum-hukum yang dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadits. Hukum seperti ini termasuk ke dalam dasar-dasar hukum dan lebih banyak dibutuhkan oleh manusia secara individual. Ada pula hukum-hukum yang tidak dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadits, akan tetapi ahli fikih dapat menemukan hukumnya dari dalil-dalil syar’i yang lainnya, seperti Atsar para sahabat, Qiyas terhadap hukum-hukum yang sudah dinyatakan dalam AL-Qur’an dan hadits, Istishab, Maslahah Mursalah atau Saddud Dzara’i’.
Oleh sebab itulah, Allah Ta’ala berfirman,
أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
الأنعام/ 114
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al-An’am : 114).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
النحل/ 89
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl : 89).
Dalam hadits disebutkan,
ليسَ مِنْ عمَلٍ يُقرِّبُ مِنَ الجنَّةِ إلا قد أمْرتُكم به، ولا مِنْ عَملٍ يقرِّبُ إلى النارِ إلا وقد نهْيتُكُم عنه، فلا يسْتَبْطِئَنَّ أحدٌ منكم رزقَه؛ فإنَّ جبريلَ ألْقى في رُوعي: أنَّ أحَداً منكم لنْ يخرُجَ مِنَ الدنيا حتَّى يَسْتَكْمِل رزْقَهُ، فاتَّقوا الله أيُّها الناسُ! وأجْمِلوا في الطلَبِ، فإنِ اسْتَبْطَأ أحدٌ منكم رزقَه فلا يطْلُبْهُ بمعصيةِ الله؛ فإنَّ الله لا يُنالُ فضلُه بمعْصِيَتهِ أخرجه ابن أبي شيبة في المصنف (34332)، والحاكم في المستدرك (2 / 5) وصححه الألباني في صحيح الترغيب والترهيب (1700).
“Tidak ada amal perbuatan yang mendekatkan pada surga, kecuali sungguh aku sudah memerintahkannya pada kalian. Dan tidak ada amal perbuatan uang mendekatkan pada neraka, melainkan sungguh aku telah melarangnya pada kalian. Janganlah salah seorang dari kalian memperlambat rezekinya, karena sesungguhnya Jibril telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan keluar dari dunia (meninggal dunia) sampai habiskan semua jatah rezekinya. Karena itulah, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam meraih rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh, kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, no. 34332, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2/5 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib, no. 1700).
Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Hukum-hukum syariat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hukum syariat yang dinyatakan oleh Syari’ (Allah) sendiri, seperti firman Allah,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
المائدة:3
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,” (QS. Al-Maidah : 3) dan seterusnya.
Begitu pula seperti firman Allah,
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
النساء:24
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian…” (QS. An-Nisa : 24). Makksudnya adalah dihalalkan perempuan-perempuan selain yang tidak bersuami. Contoh hukum syariat seperti ini sangatlah banyak.
Kedua, hukum syariat yang tidak dinyatakan sendiri oleh Allah, akan tetapi disebutkan oleh-Nya dalam kaidah-kaidah umum dan dalil-dalil umum syariat. Hal itu karena syariat Islam itu umum dan mencakup segala sesuatu. Tidak mungkin syariat Islam mencakup semuanya masalah itu sendiri. Jika ia mencakup segala masalah, maka akan memuat berjilid-jilid buku, yang tidak akan mampu diangkut oleh unta dan juga kendaraan.
Namuna dari kaidah-kaidah umum yang dianugerahkan oleh Allah kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Sehingga mereka mampu menganalogikan bagian-bagian parsial dengan hukum-hukum umum, contohnya seperti kaidah La dharara wa la dhirara. Meskipun dari sisi keshahihan hadits ini masih ada catatan, akan tetapi kaidah syariat menguatkan hadits ini. Maka beribu-ribu masalah yang terkait dengan bahaya (Dharar) dapat dimasukkan ke dalam kaidah La dharara wa la dhirara tanpa harus dinyatakan landasan hukumnya.
Misalnya, pada masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu ‘Anhu pernah terjadi perselisihan antara dua orang. Salah satunya memiliki dua bidang tanah. Kedua tanah itu dipisah dengan sebidang tanah milik orang lain. Pemilik dua tanah ingin mengalirkan air dari satu tanahnya ke tanah kedua melalui tanah orang lain tersebut, namun pemilik tanah (tanah pemisah) enggan dan berkata, “Tidak boleh air dialirkan di atas tanah saya.” Masalah tersebut diadukan kepada Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu ‘Anhu. Kemudian beliau memerintahkan untuk mengalirkan air ke atas tanahnya dengan paksa. Umar berkata, “Saya akan mengalirkan air itu, meskipun di atas perutmu atau di atas punggungmu.” Karena tetangga yang enggan jika air dialirkan di atas tanahnya tak lain hanya ingin menimbulkan bahaya pada temannya. Jika tidak begitu, maka sebenarnya ia juga mendapatkan maslahat. Artinya, ia bisa bercocok tanam dengan modal air yang mengalir tersebut, atau bercocok tanam dengan modal air yang merupakan kemaslahatan kedua belah pihak.” (Liqa’ Babil Maftuh, 18/122).
Ayat-ayat yang telah kami sebutkan sebelumnya dapat dipahami bahwa Al-Qur’an itu sendiri mengandung penjelasan untuk semua yang dibutuhkan oleh manusia. Menurut ulama hal ini mengandung dua hal.
Pertama, Al-Qur’an mengandung kehujjahan hadits, Ijma’ dan Qiyas. Semua masalah yang ditetapkan dengan dalil-dalil ini sah bila dikatakan bahwasanya Al-Qur’an menunjukkan dalil tentangnya.
Kedua, Al-Qur’an itu sendiri mengandung penjelasan hal-hal tersebut dari berbagai segi, meskipun kita menetapkan hukum dari sebagian masalah dengan kaidah Al-Bara’ah Al-Ashliyyah.
Di sini memang bukanlah tempat untuk menetapkan bahwa Al-Qur’an meliputi hukum-hukum syariat, tetapi lebih untuk menjelaskan bahwa syariat dengan sumber-sumber terpercayanya mendalami hukum-hukum itu, namun tentu tidak ada salahnya jika kami menyebutkan apa yang ditetapkan oleh Ar-Razi, untuk memberikan tambahan penjelasan pada perihal yang kedua, setelah Ar-Razi menyebutkan bahwa perihal yang pertama adalah pendapat Jumhur Fuqaha (mayoritas ulama fikih).
Ar-Razi Rahimahullah berkata, “Adapun pendapatnya yang mengatakan bahwa Al-Qur’an tidaklah mencakup semua ilmu pokok dan cabang, maka kami katakan bahwa ilmu pokok dengan segala kesempurnaannya tercakup di dalamnya, karena dalil-dalil pokok disebutkan di dalam Al-Qur’an dalan bentuk yang paling sempurna.
Sedangkan riwayat-riwayat madzhab dan perincian-perincian pendapat tidaklah dibutuhkan. Sementara perincian-perincian ilmu cabang, maka kami katakan, “Ada dua pendapat ulama dalam hal ini.
Pertama, mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an menunjukkan adanya Ijma’, Khabar (hadits) Ahad dan Qiyas merupakan dalil syariat. Hukum-hukum yang ditunjukkan oleh salah satu dari ketiga dalil ini, berarti pada hakikatnya ada dalam Al-Qur’an.
Al-Wahidi Rahimahullah menyebutkan makna ini dalam tiga contoh, yaitu :
Contoh pertama, Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwasanya ia berkata, “Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh Allah dalam kitab suci-Nya, yaitu wanita yang mentato dan yang meminta ditato, wanita yang menyambung rambut dan yang meminta disambung rambutnya.” Diriwayatkan bahwasanya ada seorang wanita yang membaca seluruh Al-Qur’an, kemudian mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata, “Wahai Ibnu Umi Abd, tadi malam saya membaca Al-Qur’an. Tetapi saya tidak menemuan di dalamnya laknat kepada wanita yang mentato dan yang minta ditato.” Ibnu Mas’ud berkata, “Seandainya engkau sungguh-sungguh membacanya, pasti engkau akan menemukan Allah Ta’ala berfirman,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ
الحشر : 7
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al-Hasyr : 7).
Dan salah satu yang diberikan oleh Rasulullah kepada kita adalah sabdanya,
لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ
"Allah melaknat wanita yang mentato dan yang meminta ditato.”
Saya katakan, “Makna seperti ini ada dalam Al-Qur’an dengan metode yang lebih jelas. Allah Ta’ala berfirman dalam surah An-Nisa’,
وَإِن يَدۡعُونَ إِلَّا شَيۡطَٰنٗا مَّرِيدٗا لَّعَنَهُ ٱللَّهُۘ
“...dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati Allah.” (QS. An-Nisa’ : 117-118).
Maka ia dikenakan laknat. Kemudian Allah menyebutkan sejumlah keburukan perbuatannya, dan menyebutkan secara umumnya dalam firman-Nya,
وَلَأٓمُرَنَّهُمۡ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلۡقَ ٱللَّهِۚ
“…dan akan Aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.” (QS. An-Nisa’ : 119).
Ayat ini secara tekstual menunjukkan bahwa mengubah ciptaa Allah menyebabkan laknat dari Allah.
Contoh kedua, diceritakan bahwasanya Syafi’i Rahimahullah suatu ketika pernah duduk di Masjidil Haram, kemudian berkata, “Janganlah kalian bertanya sesuatu kepadaku, melainkan aku akan menjawabnya dari kitabullah.” Kemudian seseorang bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang Muhrim (orang yang ihram) yang membunuh tawon?”
Imam Syafi’i menjawab, “Tidak apa-apa.” Orang itu bertanya lagi, “Di manakah ini dalam kitabullah?” Beliau menjawab, “Allah berfirman,
وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ
الحشر : 7
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al-Hasyr : 7).
Kemudian beliau menyebutkan isnad sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwasanya beliau bersabda,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
“Berpeganglah dengan Sunahku dan Sunah Khulafa’ur Rasyidin setelahku.”
Selanjutnya Imam Syafi’i menyebutkan isnad sampai kepada Umar Radhiyallahu ‘Anhu, bahwsanya ia berkata, “Orang yang berihram boleh membunuh tawon.”
Al-Wahidi mengatakan, “Imam Syafi’i menjawab pertanyaan orang itu dari kitabullah dengan melakukan Istinbath dengan tiga tingkatan.”
Saya katakan, “Di sini ada jalan lain yang lebih dekat, yaitu kaidah yang mengatakan bahwa pada dasarnya harta kaum Muslimin itu terjaga (Al-Ashlu fi Amwalil Muslimin Al-Ishmah). Allah Ta’ala berfirman,
لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡ
“Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah : 286).
وَلَا يَسۡئَلۡكُمۡ أَمۡوَٰلَكُمۡ
“...dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS. Muhammad : 36).
لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ
“Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. An-Nisa’ : 29).
Allah melarang memakan harta manusia kecuali dengan jalan perdagangan. Ketika tidak terjadi perdagangan, maka harta itu tetap dalam status haram. Keumuman-keumuman inilah yang menuntut seorang Muhrim (orang yang berihram) tidak mendapatkan risiko apapun ketika dia membunuh tawon. Hal itu dikarenakan berpegang pada keumuman-keumuman ayat yang mengharuskan pada satu tingkatan hukum.
Contoh ketiga, Al-Wahidi mengatakan, “Diriwayatkan dalam hadits tentang Al-Ashif yang berzina, bahwasanya ayahnya berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ‘Putuskanlah hukum di antara kita dengan kitabullah!’ Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, pasti saya akan memutuskan hukum di antara kalian berdua dengan kitabullah.’ Kemudian beliau memutuskan untuk mencambuk dan mengasingkan Al-Ashif serta merajam wanitanya jika dia mengakui.” Al-Wahidi melanjutkan, “Hukuman cambuk dan pengasingan tidak disebutkan dalam nash Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang diputuskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam putusan itu sendiri adalah Al-Qur’an.”
Saya katakan bahwasanya contoh seperti ini benar, karena Alla Ta’ala berfirman,
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ
“... agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka....” (QS. An-Nahl : 44).
Semua yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam termasuk ke dalam ayat ini. Dengan contoh-contoh ini jelaslah bahwa Al-Qur’an menunjukkan bahwa Ijma’ adalah hujjah, Khabar (hadits) Ahad adalah hujjah, Qiyas adalah hujjah. Semua hukum yang ditetapkan dengan salah satu dari ketiga metode ini pada hakikatnya ditetapkan dengan Al-Qur’an. Saat itulah tidak salah jika Allah Ta’ala berfirman,
مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ
“Tiadalah Kami luputkan sesuatu pun dalam Al-Kitab.” (QS. Al-An’am : 38).
Inilah keterangan mengenai pendapat terkait hal ini. Inilah pendapat yang didukung oleh Jumhur Fuqaha.
Kedua, tentang tafsir ayat ini ada pendapat yang mengatakan bahwasanya Al-Qur’an mencakup penjelasan semua hukum.
Keterangannya adalah bahwasanya Al-Ashlu Bara'atu Ad-Dzimmah (hukum asal dari sesuatu adalah terbebasnya atas sebuah tanggungan) untuk semua taklif. Menyatakan dzimmah (tanggungan) haruslah menyertakan dalil tersendiri. Menyatakan sesuatu pada suatu bagian yang tidak dinyatakan adanya taklif untuk itu, maka hal itu dilarang, karena bagian yang tidak disebutkan taklif padanya, maka ia tidaklah terbatas. Menyatakan sesuatu pada suatu yang tidak memiliki batas adalah suatu yang mustahil. Akan tetapi, menyatakan sesuatu tak lain hanya untuk sesuatu yang terbatas.
Misalnya, Allah Ta’ala memmpunyai seribu taklif (tanggungan) untuk hamba-Nya dan disebutkan di dalam Al-Qur’an serta memerintahkan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyampaikan seribu taklif itu pada hamba. Setelah itu Allah berfirman, “Tiadalah Kami luputkan sesuatu pun dalam Al-Kitab.” (QS. Al-An’am : 38). Maknanya, setelah seribu taklif itu Allah tidak memberlakukan taklif yang lain untuk makhluk-Nya, kemudian Dia memberikan penegasan pada ayat ini dengan firman-Nya,
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (QS. Al-Ma’idah : 3) dan juga firman Allah,
وَلَا رَطۡبٖ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ
“…dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (QS. Al-An’am : 59).
Inilah keterangan dari madzhab mereka. Mendalami masalah seperti ini hanya layak dalam ilmu Ushul Fikih. Wallahu A’lam. (Tafsir Ar-Razi, 12/527-528).
Catatan
Firman Allah Ta’ala,
مَّا فَرَّطۡنَا فِي ٱلۡكِتَٰبِ مِن شَيۡءٖۚ
“Tiadalah Kami luputkan sesuatu pun dalam Al-Kitab.” (QS. Al-An’am : 38). Tafsiran yang benar yaitu maksud dari Al-Kitab di sini adalah Lauhul Mahfuzh di mana Allah menuliskan takdir semua makhluk. Tafsiran inilah yang diriwayatkan dari Abdulah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma.
Akan tetapi yang lebih mencukupi dalam berdalil adalah firman Allah Ta’ala,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
النحل/ 89
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS. An-Nahl : 89).
Lihat Tafsir Ibnu Jarir, 9/234, Tafsir Ibnu Katsir, 3/253 dan Tafsir As-Sa’di, hal. 255.
Kedua.
Apabila terjadi masalah yang tidak dinyatakan dalam Al-Qur’an atau hadits, seperti masalah kedokteran, ekonomi dan semisalnya, contohnya seperti masalah inseminasi buatan, rekayasa genetik, bertransaksi dengan e-money, maka para ulama melakukan ijtihad untuk menyimpulkan hukumnya dengan menggunakan Qiyas, Istinbath, mengaplikasikan kaidah-kaidah umum dan memperhatikan Maqashid Syariah.
Bagaimanapun masalahnya, sangat mungkin bagi para ulama agar dapat sampai pada kesimpulan hukum syariatnya, meskipun dengan memberlakukan Istishab (kaidah Al-Ashlu fil Mu’amalah Al-Ibahah) atau kaidah Al-Ashlu fil Ibadah At-Tahrim ketika tidak ada dalil Naqli. Tidak mungkin jika ada masalah namun tidak ada hukumnya dalam syariat Islam.
Untuk tambahan penjelasan lihatlah Tafsir Adhwa’ul Bayan karya As-Syinqithy pada firman Allah Ta’ala,
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
الإسراء/9
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (QS. Al-Isra’ : 9).
Kesimpulan
Syariat Islam mencakup segala yang dibutuhkan oleh manusia berupa hukum dalam berbagai bidangnya, karena syariat Islam adalah syariat penutup bagi agama yang sempurna dan paripurna. Seperti yang difirmankan Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
المائدة/3
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Ma’idah : 3).
Wallahu A’lam.