Kamis 20 Jumadil Ula 1446 - 21 November 2024
Indonesian

Makan Sahur Setalah Terbit Fajar Karena Tidak Tahu

Pertanyaan

Saya baru tinggal di Turki kira-kira sejak tiga bulan yang lalu, saya telah berpuasa untuk mengqadha’ puasa Ramadhan pada separuh awal pada bulan Sya’ban kemarin, dan saya tidak mengetahui masalah perbedaan adzan Subuh di Turki kecuali tiba-tiba pada hari terakhir dari bulan Sya’ban, maka apakah saya harus mengqadha’ dan membayar fidyah, salah satu dari keduanya atau kedua-duanya, atau tidak ada konsekuensi apapun karena ketidaktahuan saya dalam masalah ini ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Jika anda tidak tahu waktu yang benar untuk masuknya waktu fajar di kota yang anda baru saja pindah ke sana, dan anda makan sahur setelah masuk waktu fajar, dan anda tidak tahu akan hal itu, para ulama telah berbeda pendapat terkait hukumnya orang yang makan dan minum sementara ia mengira masih ada sisa malam dan belum terbit fajar, demikian juga orang yang makan dan minum karena ia mengira terbenam matahari lalu kemudian ternyata perkiraannya salah.

Banyak dari para ulama berpendapat bahwa puasanya batal dalam kondisi seperti itu, dan diwajibkan baginya mengganti pada hari lain.

Sebagian lainnya berpendapat bahwa puasanya sah dan sempurna dan tidak ada qadha’ baginya.

Ini adalah pendapat Mujahid, Hasan dari kalangan Tabi’in dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan telah dipilih oleh Al Muzani dari kalangan Asy Syafi’iyyah dan Syiekh Islam Ibnu Taimiyah dan dianggap lebih kuat oleh Syeikh Muhammad Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah-.

Dari Sahl bin Sa’d berkata:

  أُنْزِلَتْ:   وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ، مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ   وَلَمْ يَنْزِلْ   مِنَ الفَجْرِ  ، فَكَانَ رِجَالٌ إِذَا أَرَادُوا الصَّوْمَ رَبَطَ أَحَدُهُمْ فِي رِجْلِهِ الخَيْطَ الأَبْيَضَ وَالخَيْطَ الأَسْوَدَ، وَلَمْ يَزَلْ يَأْكُلُ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُ رُؤْيَتُهُمَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ:  مِنَ الفَجْرِ   فَعَلِمُوا أَنَّهُ إِنَّمَا يَعْنِي اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ

رواه البخاري  1917  ، ومسلم  1091 

“Telah diturunkan ayat: “…Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”, dan fajar pun belum terbit, banyak orang pada saat itu ingin berpuasa, salah satu dari mereka mengikatkan benang putih dan benang hitam di kakinya, lalu ia pun terus makan (sahur) sampai ia mampu melihat kedua benang tersebut, seraya Allah turunkan setelahnya: “Dari terbitnya fajar”, akhirnya mereka pun mengetahui bahwa yang dimaksud adalah malam dan siang”. (HR. Bukhori: 1917 dan Muslim: 1091)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Dan apa yang ia tinggalkan karena ketidaktahuannya bahwa hal itu diwajibkan, seperti orang yang melaksanakan shalat tanpa tuma’ninah dan tidak mengetahui bahwa hal itu adalah kewajiban, maka mereka berbeda pendapat terkait dengan masalah ini: apakah ia harus mengulangi setelah waktunya habis atau tidak ?, ada dua pendapat yang dikenal, dan keduanya adalah pendapat di dalam madzhab Ahmad dan yang lainnya.

Dan yang benar adalah bahwa yang seperti ini tidak perlu diulangi lagi, karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah ditetapkan riwayat dari beliau di dalam kitab Shahih bahwa ia berkata kepada orang Arab badui yang shalatnya tidak baik:

  اذهب فصل فإنك لم تصل - مرتين أو ثلاثا - فقال: والذي بعثك بالحق لا أحسن غير هذا: فعلمني ما يجزيني في صلاتي  

“Pergi dan shalatlah karena sesungguhnya kamu belum shalat”, sebanyak dua atau tiga kali, lalu ia berkata: “Demi Dzat yang telah mengutus anda dengan benar, saya tidak bisa kecuali yang seperti ini, maka ajarilah aku apa yang akan mendatangkan pahala di dalam shalatku”.

Maka Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepadanya shalat dengan thuma’ninah dan beliau tidak memintanya untuk mengqadha’ shalat-shalat yang telah berlalu sebelumnya, dengan pernyataan orang tersebut:

 والذي بعثك بالحق لا أحسن غير هذا  

“Demi Dzat yang telah mengutus anda dengan benar, saya tidak bisa kecuali yang seperti ini”.

Akan tetapi beliau memintanya untuk mengulangi shalat itu saja; karena waktunya masih ada, dan dia diperintah untuk mendirikan shalat pada waktunya, adapun shalat yang telah berlalu waktunya maka beliau tidak memintanya untuk mengulanginya lagi padahal ia telah meninggalkan sebagian kewajibannya; karena ia belum tahu akan kewajiban (thuma’ninah) tersebut.

Demikian juga mereka yang telah makan (sahur) di bulan Ramadhan sampai nampak jelas benang putih dan benang hitam, mereka masih makan setelah terbit fajar dan beliau tidak meminta mereka untuk mengulanginya, karena mereka sebelumnya tidak tahu akan kewajiban tersebut, maka beliau tidak meminta mereka untuk mengqadha’ apa yang telah mereka tinggalkan karena ketidaktahuan mereka, sebagaimana juga orang kafir tidak diminta untuk mengqdha’ apa yang telah ia tinggalkan pada masa kekafiran dan kejahiliaannya”. (Majmu’ Al Fatawa: 21/429-431)

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Al Jahlu –semoga Allah memberikan keberkahan kepada anda- adalah ketidaktahuan, akan tetapi manusia terkadang dimaafkan karena ketidaktahuannya dari apa yang telah lalu bukan apa yang ia lakukan sekarang, contohnya: apa yang telah diriwayatkan di dalam dua kitab Shahih dari Abu Hurairah:

  أن رجلاً جاء فصلى صلاة لا اطمئنان فيها، ثم جاء فسلم على النبي صلى الله عليه وسلم، فقال له: ارجع فصل فإنك لم تصل، كرر ذلك ثلاثاً، فقال له: والذي بعثك بالحق لا أحسن غير هذا فعلمني  

“Bahwa seorang laki-laki yang datang lalu ia melaksanakan shalat dengan tidak thuma’ninah, kemudian ia menghadap dan memberi salam kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- seraya beliau bersabda: “Ulangi dan shalatlah lagi karena sesungguhnya kamu belum shalat”, beliau ulangi perintah tersebut sebanyak tiga kali, lalu ia berkata: “Demi Dzat yang telah mengutus anda dengan benar, saya tidak bisa kecuali yang seperti ini, maka ajarilah”.

Lalu beliau mengajarinya dan tidak memintanya untuk mengqadha’ shalat-shalat sebelumnya karena ketidaktahuannya, beliau hanya memintanya untuk mengulangi shalatnya saat itu”. (Liqo Al Bab Al Maftuh: 19/32)

Baca juga untuk tambahan manfaat jawaban soal nomor: 38543

Hasilnya adalah:

Bahwa anda dimaafkan karena katidaktahuan anda karena perbedaan waktu di kota yang baru, dan puasa anda sah. Hal demikian telah terjadi kepada sebagian para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah meminta mereka untuk mengqadha’nya.

Hanya saja, kalau anda mau berhati-hati dengan urusan agama anda dengan anda mengqadha’ hari-hari tersebut maka akan lebih baik dan lebih jauh dari keraguan dan keluar dari perbedaan pendapat sebagian ulama yang telah mewajibkan qadha’.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam