Kamis 18 Ramadhan 1445 - 28 Maret 2024
Indonesian

Jika Seorang Istri Menggugurkan Hak Nafkahnya, dan Tidak Mau Mempunyai Anak, Maka Apakah Ia Boleh Menikah Tanpa Ada Dokumen Akad ?

Pertanyaan

Saya telah mencari di halaman ini terkait dengan pernikahan adat (sirri), saya dapati bahwa jika rukun-rukun pernikahan itu sudah sempurna dengan adanya wali, ijab dan qabul, dua orang saksi yang adil, dan mas kawin. Dan sebelum itu ia berniat untuk menikah selamanya tidak hanya sementara, maka dengan begitu maka nikah adat (sirri) menjadi sah secara syar’i. Namun saya telah membaca dari ulama yang lainnya meskipun pernikahan adat  dalam kondisi seperti itu sudah sah menurut syari’at, namun hukumnya tetap haram; karena menelantarkan hak seorang istri dan anak-anak jika terjadi masalah, apakah pendapat ini benar ?, dan apa bedanya antara suatu perbuatan itu sah menurut syari’at namun hukumnya haram ?, pertanyaan saya berikutnya adalah: jika pernikahan adat itu haram karena dua sebab tadi, maka bagaimana kondisinya jika terjadi bersamaan ?, pertanyaan kedua: seorang istri telah menggugurkan hak nafkahnya dari sandang, pangan dan papan, ia tidak menginginkannya kecuali sedikit, dan tidak menginginkan warisan juga dan juga tidak mau melahirkan; karena ia sudah mempunyai anak laki-laki dan perempuan dari suami sebelumnya, maka apakah hukumnya berbeda dalam kondisi seperti ini, dan pernikahan adat ini berubah menjadi sah menurut syari’at dan tidak ternoda oleh keharamannya ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pernikahan itu jika syarat dan rukunnya sempurna, dari mulai ijab dan qabul (serah terima), kedua mempelai sama suka, akadnya dilaksanakan oleh wali atau wakilnya, dihadiri oleh kedua orang saksi, maka pernikahan tersebut sudah sah, meskipun belum diresmikan/dilegalkan (dalam negara), ini bagian dari bentuk pernikahan adat.

Peresmian nikah (oleh negara) pada zaman kita ini wajib, untuk menjaga hak semua pihak; suami, isteri dan anak-anak. Maka jika pernikahan itu belum diresmikan maka menjadi haram karena meninggalkan kewajiban ini, maka nikahnya menjadi sah namun berdosa bagi mereka yang menjalaninya tanpa dilegalkan (dalam negara).

Inilah makna dari sesuatu itu sah namun haram, berbeda dengan pernikahan tanpa wali, hal itu haram tapi tidak sah.

Jika seorang istri tidak mementingkan hak-haknya dan tidak mau melahirkan, maka hal itu tidak menggugurkan wajibnya legalitas, karena bisa jadi ia akan mengingkari pernikahan tersebut dan menafikannya, maka hak suami akan terlantar, istri tersebut bisa jadi meninggal dunia dan suaminya tidak memungkinkan untuk mewariskan kepadanya maka haknya menjadi terlantar, ia juga bisa jadi tetap melahirkan meskipun ia tidak ingin melahirkan, dan suaminya akan kesulitan untuk melegalkan administrasinya, maka hak anaknya menjadi terlantar, bisa jadi juga ia menikahinya hanya beberapa waktu lalu ia tinggalkan, dan tidak ingin menceraikannya, maka ia masih tetap terikat dan tidak bisa menikah lagi dengan orang lain, juga tidak bisa mengadukan ke pengadilan.

Pendapat yang mewajibkan adanya legalitas menjadi jelas, dan kemaslahatan di dalamnya menjadi besar dan nampak, kerusakan saat meninggalkan legalitas dan menganggap remeh hal tersebut sudah diketahui dan dikenal oleh banyak orang. Apalagi pada zaman ini yang banyak terjadi pengingkaran dan penelantaran hak, dan apalagi sebagian undang-undang ahwal syakhsyiyah (hukum-hukum yang menyangkut hubungan personal) menyatakan: “Telah mewajibkan majelis hakim agar tidak mendengar klaim pernikahan atau mengakuinya, kecuali jika disertakan legalitas resmi, dan inilah yang menjadi putusan pengadilan Mesir sejak tahun 1931, dan materi tersebut telah disahkan pada tahun 1951,….dan dari situ ada 99 daftar  urutan pengadilan agama dan diselaraskan dengan undang-undang nomor: 78 undang-undang terkait dengan ahwal syakhsyiyah Kuwait, dan telah ada pada materi: 92 terdapat paragraf: “Jangan mendengarkan saat terjadi pengingkaran klaim pernikahan, kecuali jika pernikahan tersebut ditetapkan dengan pernikahan berdasarkan legalitas resmi atau telah terjadi pengingkaran adanya pernikahan sebelumnya dengan dokumen resmi juga”. Selesai. (Diambil dari buku Mustajiddat Fikhiyyah fi Qadhaya Zawaj wa Thalaq/Usamah Umar Al Asyqar: 145)

Manusia pada zaman dahulu tidak memerlukan legalitas resmi ini, karena minimnya kerusakan.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- belum pernah menuliskan mas kawin, karena mereka tidak pernah menikah dengan hutang bahkan mereka mendahulukan mas kawin tersebut, kalaupun mereka menundanya hal itu sudah diketahui. Maka saat manusia berubah dengan menikahkan dengan hutang, dengan masa yang lama, dan lalu dilupakan, maka mereka perlu untuk menuliskan hal itu, dan tulisan itu menjadi dasar untuk penetapan mas kawin, dan bahwa wanita tersebut adalah isterinya”. (Majmu’ Fatawa Syeikh Islam: 32/131)

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam