Alhamdulillah.
Pertama:
Yang wajib dalam mandi junub adalah meratakan air ke semua tubuh, dan jika di permukaannya ada isolatip yang tidak bahaya untuk dilepas, maka wajib dilepas.
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata di dalam Al Mughni (1/173):
“Al Qadhi berkata terkait isolatif di atas luka, jika melepasnya tidak membahayakan maka dilepas dan dibasuh dengan benar, atau bertayamum saat luka lalu mengusap di atas lukanya. Jika melepasnya akan membahayakan, maka hukumnya sama dengan hukum gips, cukup diusap di atasnya”
Hal ini jika di atas luka, dan lebih boleh lagi jika berada di atas selain luka.
Akan tetapi jika melepas isolatip ada bahaya yang nyata dari sisi biaya, karena harganya mahal, maka boleh membiarkannya dan tayammum karenanya, untuk mencegah bahaya tersebut.
Disebutkan di dalam Akhshar Al Mukhtasharat: “Atau (boleh tayamum) karena khawatir menggunakannya (air) atau jika mencarinya akan membahayakan tubuh, biaya atau yang lainnya”.
Disebutkan di dalam Syarahnya “Al Musamma bi Kasyfil Mukhaddirat” (1/81):
“Atau (dibolehkan tayamum) jika dikhawatir dengan menggunakan air apa saja atau mencarinya akan membahayakan tubuh, seperti luka dan sangat dingin, atau dapat ketinggalan rombongan, atau menyebabkan dirinya atau orang lain kehausan, baik yang kehausan adalah manusia atau hewan yang terhormat, atau air ada tapi dibutuhkan untuk adonan atau dimasak, atau tidak tersedia kecuali dengan biaya jauh lebih besar harga serupa di tempatnya”.
Maka mereka (para ulama) menjadikan tambahan harga air mahal di atas harga serupa sebagai (salah satu) alasan dibolehkannya tayammum.
Jika anda membutuhkan alat ini dan harga isolatipnya mahal, maka jika anda mandi junub, hendaknya anda bertayammum untuk bagian yang ditutup oleh isolatip dan tidak terkena air, lalu membasuh sisi tubuh lainnya. Sama halnya dengan gips yang menutupnya melampaui tempat yang dibuutuhkan; maka sama juga, karena isolatip yang nempel tidak pada luka dan tidak bahaya untuk melepasnya, maka tidak diusap di atasnya, akan tetapi diganti dengan tayammum.
Kedua:
Tidak masalah dalam jimak, meskipun menyebabkan mandi dan butuh untuk tayammum, banyak ulama fikih membolehkan berjimak bagi orang yang tidak dapat air dan tidak makruh, dan mereka berkata: Dia cukup bertayammum.
An Nawawi –rahimahullah- berkata di dalam Al Majmu’ (2/209):
“As Syafi’i berkata di dalam Al Umm begitu juga para ulama mazhab, ‘Dibolehkan bagi seorang musafir untuk menggauli istirnya meskipun keduanya tidak mendapatkan air, dia cukup mencuci kemaluannya dan bertayamum. Para ulama mazhab kami telah bersepakat membolehkan berjimak tanpa makruh, hal ini jelas di dalam mazhab kami”.
Ibnul Mundzir telah menyatakan bolehnya berjimak dari Ibnu Abbas, Jabir bin Zaid, Hasan Al Basri, Qatadah, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan pengguna akal, Ahmad, Ishak dan pendapat ini telah dipilih oleh Ibnul Mundzir.
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Tholib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Az Zuhri bahwa mereka berkata: tidak boleh (berjimak kalau tidak ada air). Dari Malik dia berkata: “Saya tidak suka bahwa dia menggauli istrinya kecuali dia membawa air”, dan dari Atha’ dia berkata: “Jika dalam tiga malam berpotensi mendapatkan air dia tidak boleh berjimak, jika lebih dari itu maka boleh, dan dari Ahmad dengan pernyataannya makruh ada dua riwayat.
Dalil kami atas semua itu, dan dijadikan hujjah oleh Ibnul Mundzir, bahwa jimak ini boleh, kami tidak melarangnya dan tidak menjadikannya makruh kecuali ada dalil, dan inilah yang menjadi sandaran dalam petunjuk.
Adapun hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Seseorang berkata:
يا رسول الله، الرجل يغيب ، لا يقدر على الماء ، أيجامع أهله؟ قال: نعم (رواه أحمد في مسنده)
“Wahai Rasulullah, seseorang melakukan perjalanan dan tidak mendapatkan air, apakah dia boleh menggauli istrinya ?, beliau menjawab: “Ya”. (HR. Ahmad di dalam Musnadnya).
Ini tidak bisa dijadikan hujjah karena lemah. Karena dari riwayat Al Hajjaj bin Arthoh, dan dia lemah, Wallahu a’lam.
Jika perkara tersebut disyariatkan dalam mandi wajib, maka dalam mandi yang lainnya lebih utama; maka tidak masalah bagi anda dalam mandi sunnah, atau untuk kebutuhan bersih-bersih, dan anda tidak diharuskan meninggalkan hal itu, karena termasuk perkara mubah, maka tidak dilarang kecuali dengan dalil.
Adapun onani hukumnya haram dan wajib dijauhi kapan saja. Dapat dipastikan di sini, baca jawaban soal no. 329 .
Wallahu a’lam