Alhamdulillah.
Pertama:
Hukum asalnya adalah dilarang untuk mendirikan beberapa shalat Jum’at di dalam satu kota, kecuali karena ada udzur/alasan seperti jauhnya jarak, atau sempitnya masjid yang menjadi tempat shalat Jum’at untuk menampung jama’ah shalat.
Telah disebutkan di dalam Fathul Qana’ (2/39): “Dan boleh mendirikannya, yaitu; shalat Jum’at di lebih dari satu tempat karena kondisi tertentu, seperti karena sempitnya masjid kota untuk menampung penduduknya, dan khawatir terjadinya fitnah, seperti adanya permusuhan di antara penduduk kota tersebut, maka dikhawatirkan akan memicu fitnah dengan berkumpulnya mereka di dalam satu masjid, dan karena alasan jauhnya jarak tempuh antar kampung di kota tersebut, dan lain sebagainya seperti luasnya kota tersebut dan jaraknya berjauhan, maka shalat Jum’at menjadi sah baik bagi yang terdahulu maupun yang belakangan; karena didirikan di kota yang luas di beberapa tempat tanpa ada yang mengingkari, maka sudah menjadi ijma’…
Dan di haramkan untuk mendirikan shalat Jum’at dan shalat idul fitri di lebih dari satu titik di satu kota jika tanpa ada kondisi tertentu, telah disebutkan di dalam Al Mubdi’; kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini kecuali dari ‘Atha’.
Dan jadi diharamkan pula legalitas penguasa setempat untuk mendirikan shalat Jum’at lebih dari satu titik, maksudnya jika tidak ada kebutuhan untuk itu, demikian juga legalitas untuk menambah dari jumlah yang cukup.
Maka jika mereka tetap melakukannya pada dua tempat atau lebih tanpa ada kebutuhan untuk itu, maka shalat Jum’at yang ada penguasa shalat itu atau yang ia izinkan itulah yang sah; karena mengesahkan yang lain merupakan bentuk sewenang-wenangannya dan menelantarkan jum’atnya.
Jika sama dalam hal izin dan larangannya; yaitu tidak ada perizinan dari penguasa pada keduanya, maka yang kedua menjadi batil meskipun didahului di masjid agung.
Jika di dekat anda ada masjid yang cukup untuk menampung jama’ah yang memiliki kewajiban shalat jum’at, maka anda tidak boleh mendirikan shalat jum’at yang baru, demikian juga kalian tidak boleh tidak meninggalkan shalat jum’at, akan tetapi hendaknya anda menghentikan belajar-mengajar dan menghadiri shalat jum’at –jika hal itu memungkinkan- dan tidak menimbulkan kekacauan di sekolah.
Dan jika masjid tersebut tidak menampung jumlah jama’ah, atau jaraknya jauh yang menyulitkan untuk pergi ke sana, maka anda boleh mendirikan shalat jum’at di sekolah atau di tempat lainnya; karena tidak ada syarat mendirikan shalat jum’at di masjid jami’ atau di musholla yang dipakai untuk shalat lima waktu, baca juga jawaban soal nomor: 313336
Kedua:
Mengingatkan para siswa dan mendiamkan mereka saat khutbah berlangsung, jika dilakukan oleh sang khotib maka tidak masalah, karena ia boleh berbicara dengan makmum untuk kemaslahatan tertentu, baca juga jawaban soal nomor: 45651
Dan jika dilakukan oleh dewan guru atau bagian pendidikan, maka tidak boleh. Karena diwajibkan bagi siapa saja yang menghadiri shalat jum’at untuk diam mendengarkan imam yang berkhutbah dan tidak boleh berbicara kepada orang lain, meskipun ucapan itu untuk mendiamkan mereka, barang siapa yang melakukan hal itu maka termasuk lagha (sia-sia), dan barang siapa yang lagha maka tidak ada pahala jum’at baginya:
فعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إذا قُلْتَ لِصَاحِبك والإمامُ يخطُب يوم الجمعة أنْصِتْ فقد لَغَوْتَ رواه البخاري (892)، ومسلم (851
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Jika kamu berkata kepada temanmu dan imam sedang berkhutbah pada hari jum’at: “Diamlah !”, maka kamu telah berbuat sia-sia”. (HR. Bukhori: 892 dan Muslim: 851)
Hal ini jika peringatan kepada mereka dilakukan dengan ucapan, namun jika dengan menggunakan isyarat maka boleh saja.
Wallahu A’lam