Ahad 23 Jumadil Ula 1446 - 24 November 2024
Indonesian

Apakah Kembali Lagi Sebagai Seorang Muhrim Jika Dia Belum Melakukan Thawaf Ifadhah Pada Saat Hari Raya Idul Adha ?

36833

Tanggal Tayang : 19-08-2017

Penampilan-penampilan : 1955

Pertanyaan

Saya telah mendengar bahwa bagi siapa saja yang belum melaksanakan thawaf ifadhoh pada hari raya idul adha, dia harus kembali lagi dalam keadaan muhrim sampai dia melaksanakan thawaf, apakah yang demikian itu dibenarkan ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Hal ini telah diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha- . Syiekh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- juga pernah ditanya dalam masalah ini, seraya beliau menjawab:

“Pertanyaan kalian tentang hadits Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha- yang menyatakan bahwa bagi siapa saja yang belum melaksanakan thawaf ifadhoh sebelum terbenamnya matahari pada hari raya idul adha harus kembali lagi sebagai seorang muhrim, saya beritahukan bahwa hadits tersebut adalah dho’if (lemah) tidak bisa dijadikan dalil, tidak bisa dinyatakan sebagai sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dilihat dari berbagai aspek, di antaranya adalah:

1.Dari segi sanadnya.

Hadits tersebut muaranya menurut Imam Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Khuzaimah kepada Muhammad bin Ishak penulis sejarah yang terkenal, dia berkata: “Abu Ubaidah bin Abdullah Zam’ah telah mengabarkan kepada kami dari bapaknya, dari ibunya dari Ummu Salamah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( إذا أنتم أمسيتم قبل أن تطوفوا بهذا البيت عدتم حرما كهيئتكم قبل أن ترموا الجمرة حتى تطوفوا به(

“Jika kalian telah memasuki waktu sore dan belum melaksanakan thawaf di sekitar Ka’bah ini, maka kalian kembali lagi sebagai seorang muhrim dalam keadaan sama dengan sebelum kalian melempar jumroh sampai anda melaksanakan thawaf terbut”.

Adapun Ibnu Ishak maka di dalam kesendiriannya (dalam meriwayatkan) ada sebagian yang mengingkarinya, Imam Ahmad pernah ditanya tentang hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishak sendirian, apakah anda menerimanya ?, beliau menjawab: “Demi Alloh, tidak”.

Muhammad bin Yahya berkata: “Hadits hasan baginya adalah hadits gharib”. Ad Daruquthni berkata: “Para imam berbeda pendapat tentang hadits tersebut, dan tidak bisa dijadikan pegangan, akan tetapi tetap tetap diriwayatkan”. (Tahdzib: 9/39-46)

Bisa jadi hadits ini termasuk dalam periwayatannya dia sendiri yang mungkar.

Adapun Abu Ubaidah bin Abdullah bin Zam’ah disebutkan di dalam At Taqrib (2/448): “Dapat diterima dari yang ketiga”.

Disebutkan juga di dalam Al Muhalla (7/142) tentang dirinya: “Dia tidak dikenal sebagai periwayat hadits, juga tidak terkenal bahwa dia sebagai penghafal, jika –hadits Ummu Salamah- benar, maka kami akan segera berpendapat demikian”.

Ath Thawahi telah mentakhrij (menjelaskan periwayatannya) dalam Syarh Ma’ani al Atsar (2/228) tentang hadits Ummu Salamah akan tetapi dari jalur Ibnu Luhai’ah, disebutkan dalam At Taqriib (1/144) tentangnya: “Dia jujur dari yang ketujuh, hafalannya bermasalah setelah buku-bukunya terbakar. Riwayat Ibnu Mubarak dan Ibnu Wahab tentang dirinya lebih adil dari pada yang lainnya”.

Saya berkata: “Secara umum telah dinyatakan lemah oleh para penghafal, dan sebagian mereka jika diriwayatkan selain dari “’Abadilah” (para Abdullah)”.

Maka jika demikian sanad haditsnya, tidak diriwayatkan kecuali dalam periwayatan mereka perlu dikritisi ulang, para imam besar para perawi hadits dan para penghafalnya dari jalurnya Bukhori dan Muslim dan yang setara dengan mereka berpaling darinya, padahal hal tersebut termasuk perkara yang mudah diketahui oleh banyak orang, dan ada banyak alasan dan sebab untuk meriwayatkannya, semua itu menjadi dalil bahwa hadits itu tidak ada sumbernya.

2.Dari segi matannya (redaksi haditsnya).

Matannya janggal; karena hadits-hadits yang terdapat dalam Shahihain dan di dalam kitab hadits yang lain jelas dan saling menguatkan bahwa tahllul yang pertama dilakukan sebelum thawaf di sekitar Ka’bah tanpa ada batasan dan dilakukan sebelum terbenamnya matahari, seperti perkataan ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-:

( كنت أطيب النبي صلى الله عليه وسلم لحله قبل أن يطوف بالبيت )

“Saya pernah memberikan wangi-wangian kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- karena dia sudah bertahallul sebelum berthawaf di Ka’bah”.

Hal itu tidak mungkin menjadi terikat dengan hadits yang janggal tersebut, oleh karenanya Ath Thahawi berkata dalam Syarh Ma’ani al Atsar (2/229) pada saat disebutkan hadits ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-: “Hal itu bertentangan dengan hadits Ibnu Luhai’ah yang telah kami sebutkan diawal bab ini, dan yang ini lebih utama; karena mutawatir dan penukilannya shahih yang tidak didapatkan pada yang lainnya”.

3.Dari sisi pengamalannya.

Hadits itu tidak diamalkan oleh umat, baik dari para imamnya, ulamanya, kecuali hanya sedikit setelah generasi para sahabat jika penukilannya benar dari mereka, Ath Thabari berkata dalam kitabnya “Al Qura li Qashidi Ummil Qura” (472) pada saat menyebutkan hadits tersebut: “Ini adalah hukum yang saya tidak mengetahui seorang pun yang mengatakan demikian”.

Imam Nawawi berkata dalam Syarh Muhadzab (8/185) dari Baihaqi bahwa dia berkata: “Saya tidak mengetahui seorang pun dari ulama fikih yang menyatakan demikian”, saya (Nawawi) berkata: “Maka hal itu menjadi mansukh (dihapus), telah terbukti dengan ijma’ yang menasakhnya, ijma’ tidak bisa menasakh dan dinasakh akan tetapi menunjukkan dalil yang menasakhnya”.

Nawawi bersepakat dengan Baihaqi bahwa keduanya tidak mengetahui yang menyelisihinya, bahkan menjadikannya sebagai ijma’ yang menunjukkan bahwa hadits tersebut adalah mansukh, yaitu; bahwa umat tidak mengamalkannya, akan tetapi perkataan Nawawi –rahimahullah- masih dipertanyakan; karena mengklaim bahwa hadits tersbut telah dihapus mengharuskan bahwa yang dimansukh (dihapus) itu benar adanya. Ternyata hadits tersebut tidak mempunyai dasar sampai diklaim telah dimansukh.

Hal ini telah dinukil oleh sebagian orang dari Urwah bin Zubair salah seorang dari ahli fikih yang tujuh telah menyatakannya, bisa jadi beliau memahami hal itu dari perkataannya yang menukil dari perkataan Ath Thabari dalam kitabnya Al Quro (470): “Bahwa tidak dihalalkan baginya wangi-wangian bagi yang belum thawaf di Ka’bah setelah hari Arafah, meskipun dia belum maksimal dalam beribadah”. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Mansur.

Saya mengatakan hal itu karena jauh sekali kemungkinannya bahwa Urwah bin Zubair berkata demikian karena hadits Ummu  Salamah kemudian menyembunyikan pernyataan seperti Thabari dan Baihaqi.

Atas dasar inilah maksud dari perkataan Urwah: “Bahwa tidak dihalalkan wangi-wangian sampai dia berthawaf di Ka’bah”, ini adalah perkataan yang terkenal, perbedaan dalam masalah tersebut sudah tidak asing lagi. Perbedaannya dengan maksud dari hadits Ummu Salamah begitu jelas, bahwa hadits Ummu Salamah menunjukkan bahwa tahallul sebelum thawaf di Ka’bah, akan tetapi jika menunda thawaf sampai terbenamnya matahari pada hari raya idul adha, maka dia kembali lagi dalam keadaan muhrim.

Sedangkan yang dinukil oleh Thabari dari Urwah menunjukkan akan kehalalan wangi-wangian sebelum thawaf, antara ini dan itu nampak jelas perbedaannya.

4. Ketepatannya menyelisihi ketepatan dasar-dasar syari’at dan kaidah-kaidah yang baku.

Ketepatan dasar-dasar syari’at menyatakan bahwa seorang pelaku ibadah jika telah menyelesaikan ibadah tersebut, maka tidak bisa kembali lagi kepadanya kecuali dengan niat yang baru, inilah salah satu indikasi yang melemahkan hadits di atas, jika hadits tersebut benar maka tentu wajib mengamalkannya, dan setiap kaidah pastilah mempunyai pengecualian.

Inilah yang dimudahkan oleh Alloh untuk menuliskannya pada kesempatan yang singkat ini.

Semoga Alloh –Ta’ala- senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua kepada jalan yang benar, dan mengamalkan petunjuk sunnah dan al Qur’an, karena Dia Maha Kuasa untuk melakukan hal itu.

Berasal dari tulisan singkat Syeikh –rahimahullah- sendiri.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam