Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

TIDUR MEMBATALAKN WUDU DIKALA PULAS

Pertanyaan

Apa dalilnya bahwa tidur itu merupakan pembatal wudu?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Dalil bahwa tidur adalah pembatal wudu, telah ada ketetapannya dalam hadits Sofwan bin Assal radhiallahu anhu dalam dalam kitab Sunan, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلا مِنْ جَنَابَةٍ ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ  (رواه الترمذي، رقم 89، وحسنه الألباني)

“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak melepaskan khuf (kaos kaki kulit) kami selama tiga hari tiga malam jika kami dalam bepergian kecuali dari janabat. Akan tetapi (kami tidak perlu mencopot khuf) dari buang air besar, air kecil (kencing) dan tidur.” (HR. Tirmizi, no. 89, dinyatakan hasan oleh Al-Albany).

Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat, tentang apakah tidur membatalkan wudu atau tidak, menjadi beberapa pendapat, di antaranya;

Pendapat pertama, bahwa tidur membatalkan wudu secara mutlak, baik ringan maupun berat dan dalam kondisi apa saja. Ini adalah pendapat Ishaq, Al-Muzani, Hasan Al-Basri, Ibnu Munzir, berdasarkan hadits Sofwan bin Assal radhiallahu anhu yang lalu. Disana disebutkan bahwa tidur merupakan salah satu pembatal wudu tanpa ada dibatasi dengan kondisi tertentu.

Pendapat kedua, bahwa tidur bukan pembatal wudu secara mutlak. Berdasarkan hadits  Anas bin Malik,

"Sesungguhnya para shahabat radhiallahu anhu menunggu pelaksanaan shalat Isya pada masa Rasulullah sallalahu alaihi wa sallam sampai kepalanya terkantuk-kantuk, kemudian mereka shalat tanpa berwudu."

(HR. Muslim, no. 376. Dalam riwayat Al-Bazzar (dikatakan bahwa) ‘mereka berbaring')

Ini adalah pendapat Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu dan Said bin Musayyab.

Kedua pendapat ini saling bertolak belakang, masing-masing mengambil dalil dari satu sisi. Maka mayoritas ulama menggabungkan di antara dalil-dalil ini. Mereka mengatakan, sesungguhnya tidur  membatalkan wudu dalam kondisi tertentu, dan tidak membatalkan dalam kondisi yang lain. Meskipun mereka berbeda pendapat tentang cara menggabungkan dalil.

Pendapat ketiga, kalau tidurnya dalam kondisi duduk menempel diatas lantai, maka tidak batal, dan kalau tidak duduk, maka hal itu membatalkan (wudu), bagaimanapun posisinya. Ini adalah mazhab Hanafi dan Syafi’i. (Al-Majmu, 2/14)

Pendapat keempat, tidur membatalkan wudu kecuali tidur ringan, baik duduk maupun berdiri. Ini merupakan mazhab Hambali. Silakan lihat kitab Al-Inshaf, 2/20-25. Dikecualikannya tidur ringan, baik duduk maupun berdiri, karena dalam kondisi demikian, tempat keluarnya hadats tertutup, sehingga perkiraan kuat dia tidak keluar hadats.

Pendapat kelima, tidur membatalkan wudu, apabila  tidurnya banyak, bukan tidur sedikit bagaimanapun posisinya. Ini adalah pendapat Malik dan riwayat dari Ahmad.

Perbedaan antara tidur banyak dan sedikit, bahwa tidur banyak itu adalah tidur pulas yang dimana seseorang tidak merasakan hadats apabila terjadi hadats. Sedangkan tidur sedikit adalah apabila  seseorang merasakan hadats kalau keluar hadats, seperti keluarnya angin.

Pendapat ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Ini juga pilihan ulama kami sekarang ini, seperti Syekh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin dan para ulama di Al-Lajnah Ad-Daimah. Dan inilah pendapat yang benar, karena  dengan pendapat ini dapat mengkompromikan semua dalil. Karena hadits Sofwan bin Assal menunjukkan bahwa tidur dapat membatalkan wudu, sedangkan hadits Anas radhiallahu anhu menunjukkan bahwa ia tidak membatalkan (wudu). Sehingga hadits Anas dipahami dengan tidur ringan yang mana seseorang masih dapat merasa hadats atau terjadinya hadats, sedangkan hadits Sofwan dipahami sebagai tidur yang pulas, dimana seseorang tidak merasakan adanya hadats.

Hal ini dikuatkan oleh sabda Beliau sallallahu alaihi wa sallam:

العين وِكَاء السَّهِ ، فإذا نامت العينان استطلق الوكاء (رواه أحمد، 4/97،  وحسنه الألباني في صحيح الجامع، رقم 4148)

“Mata itu tali (penutup) dubur, kalau kedua mata tidur, maka tali itu terlepas.”

(HR. Ahmad, 4/97, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Al-Jami, no. 4148)

Wika (وكاء) adalah benang untuk mengikat qirbah (tempat minum dari kulit).

As-sahi (السه)yaitu dubur.

Maksudnya bahwa terjaga itu merupakan tali dubur, yaitu penjaga sesuatu yang keluar darinya. Kalau dia masih terjaga akan merasakan apa yang keluar darinya. Kalau tidur, maka akan terlepas talinya.

At-Thayyib berkata: “Kalau seseorang terjaga, dia dapat menahan apa yang ada di perutnya, namun kalau tertidur akan hilang pilihannya dan sendi-sendinya melemas.” (kitab Aunul Ma’bud)

Kalau seseorang tidak dapat mengendalikan talinya yang sekiranya jika berhadats, dia tidak dapat merasakan pada dirinya, maka tidurnya itu membatalkan (wudu), dan kalau tidak, maka hal itu tidak (membatalkan).

Silakan lihat kitab Asy-Syarhul-Mumti, 1/275.

Ash-Shan’ani berkata dalam kitabnya Subulus Salam, 1/97, “Yang lebih dekat pada kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidur merupakan pembatal wudu berdasarkan hadits Sofwan. Akan tetapi perkataaan ‘tidur’, dalam hadits tersebut masih bersifat umum. Sedangkan hadits Anas menjelaskan tentang tidurnya para shahabat; Bahwa mereka tidak berwudu meskipun mendengkur, bahwa mereka berbaring, bahwa mereka sadar  dan bahwa mereka bergerak. Pada prinsipnya mereka (para shahabat) adalah orang-orang mulia  dan mereka tidak bodoh tentang perkara yang membatalkan wudu. Apalagi Anas menyebutkan para shahabat secara mutlak, sebagaiman telah diketahui bahwa di antara mereka ada para ulama yang mengetahui masalah-masalah agama, apalagi masalah shalat merupakan perkara paling agung di antara rukun Islam. Apalagi mereka yang sedang menunggu shalat bersama Nabi sallallahu’alaihi wa sallam adalah tokoh para shahabat.

Jika demikian halnya, maka keumuman hadits Sofwan dikhususkan dengan tidur pulas yang tidak dapat merasakan apa-apa. Adapun perkara mendengkur, berbaring dan bergerak-gerak yang disebutkan dalam hadits Anas, dipahami bahwa hal itu selagi mereka belum pulas, sebab kadang ada orang yang mendengkur dipermulaan tidurnya sebelum pulas, begitu pula, berbaring tidak mesti pulas.”

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam kitab Majmu Fatawa, ketika beliau menyebutkan perkara yang membatalkan wudu, (di antaranya) tidur yang banyak, sekiranya seseorang yang tidur tidak merasakan seandainya keluar hadats. Adapun kalau tidurnya sebentar, dimana orang yang tidur masih dapat merasakan kalau keluar hadats, maka hal itu tidak membatalkan wudu. Tidak berbeda, apakah tidurnya dalam posisi berbaring, duduk bersandar atau duduk tanpa bersandar.

Yang penting adalah kondisi hadirnya hati, dimana kalau keluar hadats dirinya dapat merasakannya, maka jika demikian halnya, wudunya tidak batal.  Adapun kalau kondisinya ketika keluar hadats tidak dapat dia rasakan, maka dia harus berwudu.

Hal tersebut, karena tidur itu sendiri bukan sebagai pembatal (secara langsung) akan tetapi sebagai kondisi yang memungkinkan (terjadinya) hadats. Maka jika (kemungkinan) hadats itu tidak ada pada seseorang karena kalau terjadi dia  dapat merasakannya, maka berarti hal itu (tidur) tidak membatalkan wudu. Dalilnya adalah bahwa tidur itu sendiri bukan pembatal adalah bahwa tidur yang ringan tidak membatalkan wudu. Kalau sekiranya (tidur) membatalkan, maka wudu akan batal (dengan tidur), sedikit maupun banyak, sebagaimana batalnya wudu dengan keluarnya air seni, sedikit maupun banyak.

Hal serupa juga dinyatakan dalam kitab Fatawa Ibnu Baz, 10/144, dikatakan:

“Tidur membatalkan wudu kalau pulas dan telah menghilangkan perasaan. Sebagaimana diriwayatkan oleh shahabat yang mulia Sofwan bin Assal Al-Muradi radhiallahu anhu “Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak melepaskan khuf (kaos kaki kulit) kami selama tiga hari tiga malam jika kami dalam bepergian kecuali dari janabat. Akan tetapi (kami tidak perlu mencopot khuf) dari buang air besar, air kecil (kencing) dan tidur.” (HR. Nasai dan Tirmizi, redaksi berasal darinya. Dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah).

Dan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Mu’awiyah radhiallahu’anhu dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam sesungguhnya beliau bersabda:

“Mata itu tali (penutup) dubur, kalau kedua mata tidur, maka tali itu terlepas.”

(HR. Ahmad dan Thabrani, dan dalam sanadnya ada kelemahan)

Akan tetapi ada beberapa (hadits) yang menguatkannya seperti hadits Sofwan tadi, sehingga hadits ini menjadi hasan. Sementara mengantuk tidak membatalkan wudu karena hal itu tidak menghilangkan perasaan. Dengan demikian hadits-hadtis yang ada dalam bab ini dapat dikompromikan.”

Ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Daimah berkata: “Tidur pulas adalah kondisi yang dapat  membatalkan wudu. Barangsiapa yang tidur pulas di masjid atau tempat lain, maka dia harus mengulangi wudu, baik tidur dalam kondisi berdiri, duduk maupun berbaring. Baik ditangannya (ada) tasbih atau tidak. Kalau tidurnya tidak pulas seperti mengantuk yang tidak hilang perasaan padanya, maka dia tidak harus mengulangi wudu sebagaimana hal itu telah disebutkan dalam hadits yang shahih dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan perincian tersebut." (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/262)

Mereka juga mengatakan: “Sesungguhnya tidur ringan yang tidak menghilangkan perasaan padanya, tidak membatalkan wudu. Terdapat riwayat shahih bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat Isya pada suatu kesempatan, hingga para shahabat Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam terkantuk-kantuk kepalanya (untuk menunggu shalat), kemudian mereka shalat tanpa berwudu.”  (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/263)

Silakan lihat Al-Majmu, 2/14-24, Mawahibul Jalil, 1/312, As-Syarhu Al-mumti, 2/189-191.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam