Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Kedudukan Haji Dalam Islam Dan Syarat-Syarat Wajibnya

Pertanyaan

Apa kedudukan haji dalam Islam? Kepada siapa diwajibkan?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Ibadah haji ke Baitullah merupakan salah satu rukun Islam dan bangunannya yang agung. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, 

بُنِيَ الإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ ْبَيْتِ الله الحرام

“Islam dibangun di atas lima dasar; Bersyahadat bahwa tiada tuhan yang disembah selain Allah, dan bahwa Muhamad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadan dan pergi haji ke Baitullah.”

Dia merupakan fardhu, berdasarkan  Al-Quran, sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta ijmak kaum muslimin. Allah Taala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (سورة آل عمران: 97)

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” QS. Ali Imron: 97

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَرَضَ عَلَيْكُمْ الْحَجَّ فَحُجُّوا

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mewajibakan haji kepada kalian, maka hendaklah kalian tunaikan haji.”

Kaum muslimin telah sepakat (ijmak) dengan hal itu dan ini termasuk dalam perkara yang mutlak harus diketahui. Maka siapa yang mengingkari kewajibannya sedangkan dia hidup di tengah kaum muslimin, maka dia kafir. Adapun siapa yang meninggalkannya karena meremehkannya, maka dia berada dalam bahaya besar, karena sebagian ulama berkata (terhadap orang seperti itu), dia kafir. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa tidak dianggap kafir akibat meninggalkan sesuatu kecuali meninggalkan shalat saja.

Abdullah bin Syaqiq rahimahullah dari kalangan tabiin, berkata: “Tidak ada perbuatan yang apabila ditinggalkan dinilai para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebagai penyebab kekufuran kecuali shalat. Siapa yang meremehkan ibadah haji (dengan tidak melakukannya padahal dia mampu, maka dia tidak kafir berdasarkan pendapat yang kuat, akan tetapi dia dalam bahaya.”

Maka sebagai seorang muslim hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan segera menunaikan ibadah haji jika syarat-syarat wajibnya telah ada padanya. Karena seluruh kewajiban harus segera dilakukan kecuali dengan dalil. Bagaimana seorang muslim merasa nyaman meninggalkan ibadah haji padahal dia mampu melaksanakannya dan mudah untuk tiba di sana?! Bagaimana hal itu dia tunda-tunda padahal dia tidak tahu boleh jadi pada tahun depan dia tidak dapat sampai ke sana?! Boleh jadi dia menjadi lemah setelah sebelumnya mampu, atau boleh jadi dia jatuh miskin setelah kaya, atau boleh jadi dia keburu meninggal padahala haji sudah wajib baginya, lalu kemudian ahli waris tidak mempedulikannya.

Adapun syarat wajibnya haji ada lima;

Syarat pertama; Islam, lawannya adalah kafir. Orang kafir tidak wajib haji, bahkan seandainya dia melakukan haji, maka hajinya tidak diterima.

Syarat kedua; Baligh. Siapa yang belum baligh, maka kewajiban hajinya belum gugur. Seandainya dia menunaikan haji sebagai sunah, maka dia mendapatkan pahalan. Namun jika sudah baligh, dia tetap diharuskan menunaikan kewajiban tersebut. Karena menunaikan ibadah haji tidak menggugurkan kewajiban.

Syarat ketiga; Berakal, lawannya adalah gila. Orang gila tidak wajib baginya menunaikan haji, juga tidak dihajikan untuknya.

Syarat keempat; Merdeka. Seorang budak tidak wajib haji baginya. Seandainya dia menunaikan haji, maka hajinya sah dan dianggap sunah. Jika dia dimerdekakan, maka dia tetap wajib menunaikan haji. Karena haji sebelum dimerdekakan, tidak dianggap sebagai haji wajib.

Sebagian ulama berkata, ‘Jika seorang budak menunaikan ibadah haji dengan izin tuannya, maka hajinya dianggap sebagai haji wajib. Pendapat ini yang kuat.”

Kelima; Mampu secara materi dan fisik. Termasuk bagian dari mampu adalah adanya mahram bagi seorang wanita. Jika dia tidak memiliki mahram, maka dia tidak wajib haji..

Refrensi: Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah (Fatawa Ibnu Utsaimin, 21/9-11)