Kamis 25 Jumadits Tsani 1446 - 26 Desember 2024
Indonesian

Menghadiahkan Pahala Zikir Kepada Kedua Orang Tua

Pertanyaan

Apakah aku boleh mengucapkan  ‘Subhanallah' sebanyak  100 kali atau zikir lainnya, dengan harapan pahala tersebut untuk ayah dan ibuku? Perlu diketahui bahwa ayahku telah meninggal dunia sementara ibuku masih hidup.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Para ulama berbeda pendapat terkait dengan menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah mati, apakah sampai pahalanya? Ada dua pendapat,

Pendapat pertama, bahwa semua amal saleh yang dihadiahkan kepada mayat akan sampai kepadanya, di antaranya bacaan Al-Qur’an, puasa, shalat dan ibadah-ibadah lainnya.

Pendapat kedua, bahwa tidak akan sampai amal saleh apapun kepada mayat kecuali ada dalil bahwa amal itu sampai ke mayat. Dan ini adalah pendapat yang kuat. Dalilnya adalah firman-Nya:

 وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى  

(سورة النجم: 39)

“Dan tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya,” (QS. An-Najm: 39)

Juga berdasarkan sabdanya sallallahu’alihi wa sallam: “Ketika seseorang mati, maka amalannya akan berhenti kecuali tiga (amalan); shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakan.” (HR. Muslim, no. 1631 dari Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Telah wafat paman Nabi sallallahu alaihi wa sallam; Hamzah radhiallahu anhu, istri beliau Khadijah dan tiga anak perempuannya. Tidak ada riwayat bahwa beliau membacakan Al-Qur’an, Shalat Dhuha, puasa, atau shalat untuk mereka. Dan tidak informasi  satupun dari shahabat. Seandainya dianjurkan, mereka (pasti) akan mendahului kita untuk melakukan itu. Adapun dalil yang menunjukkan pengecualian berupa sampainya pahala kepada mayit adalah haji, umrah, puasa wajib, shadaqah dan doa.

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya terkait firman Allah

 وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى 

"Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’i dan pengikutnya mengambil kesimpulan hukum bahwa bacaan (Al-Qur’an) tidak sampai jika pahalanya dihadiahkan kepada mayat. Karena ia bukan amal dan jerih payahnya. Oleh karena itu Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam tidak menganjurkan dan tidak mengajak umatnya untuk itu. tidak pula memberi petunjuk baik secara jelas atau isyarat. Tidak dinukil seorang pun dari para shahabat radhiallahu anhum. Jika hal itu suatu kebaikan, pasti mereka akan mendahului kita (berbuat demikian). Dalam masalah ibadah, hendaknya membatasi dengan perkara yang telah dikhususkan oleh nash, tidak diperkenankan mengalihkannya dengan berbagai macam qiyas dan logika. Adapun doa dan shadaqah, hal itu telah disepakati sampainya (kepada mayat) karena dengan tegas dinyatakan dalam syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/258)

Kemudian kalau kita terima bahwa pahala amal shaleh itu sampai kepada mayat, maka yang  lebih utama dan bermanfaat untuk mayat adalah doa. Kenapa kita meninggalkan apa yang dianjurkan Nabi sallallahu alihi wa sallam dengan melakukan perkara-perkara lain yang tidak dilakukannya. Dan tidak juga dilakukan seorang pun dari shahabatnya. Semua kebaikan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi sallallahu alaihi wa sallam dan shahabatnya.

Syekh Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya tentang menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan shadaqah untuk ibu, baik (beliau dalam kondisi) hidup atau mati?. Beliau menjawab: “Kalau bacaan Al-Qur’an,  para ulama berbeda pendapat, apakah pahala sampai kepada mayat. Para ulama berbeda dalam dua pendapat (antara yang mengatakan sampai atau tidak). Yang terkuat adalah tidak sampai (pahala kepada mayit) karena tidak ada dalil. Dan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan kepada orang-orang yang telah wafat dari kalangan umat Islam seperti puteri-puteri beliau yang wafat saat beliau sallallahu alaihi wa sallam masih hidup. Sepengetahuan kami, hal itu  tidak pernah dilakukan para shahabat radhiallahu anhu. Yang lebih utama bagi orang mukmin adalah meninggalkan hal itu dan tidak membacanya untuk mayit maupun untuk yang masih hidup. Begitu  juga tidak melakukan shalat untuk mereka. Begitu juga amalan sunnah dengan berpuasa untuk mereka. Karena semuanya itu tidak ada dalil.

Asal dari ibadah adalah tauqifi (hanya membatasi pada hal) yang ada perintahnya dari Allah subhanahu wata ala atau Rasul-Nya sallallahu’alaihi wa sallam dalam syariatnya. Sementara shadaqah, hal itu bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan (ijma) umat Islam. Begitu juga doa, bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan umat Islam. Tidak diragukan bahwa shadaqah dan doa bermanfaat bagi orang yang hidup. Sementara kedua orang tuanya masih hidup, bisa mengambil manfaat dengan doanya orang yang berdoa, begitu juga sadaqah bermanfaat ketika masih hidup.  

Menunaikan haji untuknya kalau mereka lemah karena sudah tua atau sakit yang tidak mungkin sembuh, juga bermanfaat baginya. Karena telah ada ketetapan dari beliau sallallahu alaihi wa sallam, bahwa seorang wanita bertanya: ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji, sementara ayahku mendapatkannya sudah tua, tidak mampu dalam perjalanan. Apakah saya (boleh) menunaikan haji untuknya? Beliau menjawab: “Tunaikanlah haji untuknya." 

Kemudian, ada juga orang lain yang datang kepada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua, tidak mampu menunaikan haji dan (naik) kendaraan. Apakah (boleh) saya menunaikan  haji dan umrah untuknya?" (Beliau menjawab), "Hajikan untuk ayahmu dan umrohkan.”

Ini adalah dalil bahwa menghajikan untuk mayat atau yang masih hidup tapi lemah karena usianya  atau wanita lemah karena sudah tua renta adalah boleh. Begitu juga shadaqah, doa, haji atau umroh untuk mayat begitu juga bagi yang lemah, semuanya ini bermanfaat baginya menurut semua ahli ilmu.  Begitu juga puasa untuk mayat, kalau dia mempunyai kewajiban puasa baik karena nadzar, kaffarah (tebusan) atau puasa Ramadhan, berdasarkan keumuman sabda beliau sallallahu’alaihi wa sallam: ”Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai beban puasa, maka walinya yang (menggantikan) puasanya. (Mutafaq alaih).

Begitu pula hadits-hadits lain yang semakna. Akan tetapi barangsiapa yang terlambat puasa Ramadhan karena alasan yang dibenarkan agama seperti sakit, bepergian kemudian meninggal dunia sebelum ada kesempatan mengqadhanya, maka tidak (perlu) diqadhakan juga tidak perlu memberikan makanan, karena dia ada udzur (alasan agama).” Selesai, Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Syekh Ibnu Baz, 4/348.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, apakah seseorang dibolehkan bershadaqah dengan harta lalu (niat) menyertakan selainnya dalam pahala? Beliau menjawab:”Sesorang dibolehkan bershadaqah dengan niat untuk ayah, ibu dan saudaranya dan siapa saja yang dikendaki umat Islam. Karena pahala itu banyak. Sementara shadaqah jika ikhlas karena Allah dan dari hasil yang halal, akan dilipat gandakan berlipat-lipat. Sebagaimana firman Allah ta’ala:

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   

(سورة البقرة: 261)

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 261)

Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam menyembelih satu kambing untuknya dan untuk keluarganya.” (Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 18/249)

Dengan penjelasan tersebut, jelas bahwa apa yang anda sebutkan tentang menghadiahkan pahala zikir kepada dua orang tua anda tidak sah menurut pendapat yang kuat. Baik dia masih hidup atau sudah mati. Akan tetapi nasehat bagi anda adalah memperbanyak doa dan bershadaqah untuk keduanya. Karena sesungguhnya semua kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dan para shahabat yang mulia.

Wallalhu’alam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam