Alhamdulillah.
Imam Bukhori (986) meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah –radhiyallahu ‘anhuma- berkata: Bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sekembalinya dari shalat id, beliau melewati jalan yang berbeda dari sebelumnya”.
Seorang mukmin dituntut untuk mampu berqudwah kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- meskipun belum mengetahui hikmah perbuatan Rasul tersebut. Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman:
( لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً ) الأحزاب/21.
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab: 21)
Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata: Ayat ini menjadi pondasi utama untuk berqudwah kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- baik perkataannya, perbuatannya, dan dalam semua aktifitasnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hikmah di balik anjuran melewati jalan yang berbeda sekembalinya dari shalat id:
Al Hafidz berkata:
“Saya mendapatkan sekitar 20 pendapat dari perbedaan para ulama, dan telah kami ringkas dan kami pilah mana yang tidak kuat”.
Al Qadhi Abdul Wahab al Maliki berkata: “Disebutkan tentang hal itu beberapa hikmah, di antaranya mendekati kebenaran, akan tetapi kebanyakannya jauh dari kebenaran”.
Di antara hikmah melewati jalan yang berbeda sepulang dari shalat id adalah:
1.Agar kedua jalan tersebut menjadi saksi bagi Rasulullah, dikatakan pula: agar semua penduduk dari kedua jalan tersebut dari bangsa manusia dan jin menjadi saksi beliau juga.
2.Agar kedua jalan yang berbeda tersebut mendapatkan keutamaan yang sama dengan dilewatinya Rasulullah atau mengharap berkah beliau.
3.Karena jalan menuju mushalla id Rasulullah berada di sebelah kanan, jika beliau pulang juga melewati jalan yang sama maka akan berada di sebelah kiri. Makanya beliau melawati jalan yang lain. Pendapat ini tentu membutuhkan dalil dan bukti.
4.Untuk menampakkan syiar-syiar Islam bagi kedua jalan tersebut, atau menampakkan dzikir pada kedua jalan tersebut.
5.Untuk menakut-nakuti orang-orang munafik dan yahudi dan menjadikan mereka marah, karena banyaknya jama’ah yang bersama Rasulullah. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Bathal.
6.Sebagai bentuk waspada beliau akan tipu daya salah satu dari kedua kaum tersebut. Pendapat ini manuai banyak pembahasan.
7.Menebarkan rasa bahagia kepada orang-orang di kedua jalan tersebut, atau agar mereka mendapatkan barakah beliau, atau agar mereka mendapatkan manfaat dari beliau dalam hal fatwa, pelajaran, qudwah, petunjuk, shadaqah atau salam kepada mereka.
8.Untuk mengunjungi kerabatnya dan menyambung silaturrahim.
9.Agar beliau merasa optimis dengan bergantinya suasana akan maghfirah dan ridha Allah –subhanahu wa ta’ala.
10.Karena apabila beliau berangkat beliau juga membagi shadaqah sampai tidak tersisa, maka dari itu beliau pulangnya melewati jalan yang lain agar tidak menolak orang yang meminta kepada beliau. Pendapat ini sangat lemah dan membutuhkan dalil.
11.Jalan yang beliau lewati semula lebih jauh dari pada jalan pulangnya. Maka beliau ingin memperbanyak pahala dengan memperbanyak langkah ketika berangkat, dan ingin mempercepat sampai ke rumah ketika pulang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ar Rafi’i. pendapat ini juga membutuhkan dalil, kerena pahala setiap langkah kaki juga terhitung ketika pulang, sebagaimana hadits Ubay bin Ka’ab –radhiyallahu ‘anhu- yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan yang lainnya.
12.Karena para malaikat berdiri di jalan-jalan, maka Rasulullah menginginkan kedua kelompok malaikat pada kedua jalan tersebut bersaksi atas beliau.
Ibnul Qayyim –rahimahullah- menyebutkan beberapa hikmah di atas dalam bukunya “Zaadul Ma’ad” 1/449, kemudian beliau berkata: “Yang benar adalah bahwa beberapa hikmah di atas dan hikmah yang lain ada kemungkinan Rasulullah melakukannya”.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Apabila ditanya, apa hikmah bahwa Rasulullah melewati jalan yang berbeda?, jawabannya adalah: berqudwah kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
( وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلاً مُّبِيناً )
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzab: 36)
Maka inilah hikmahnya, lalu beliau menyebutkan beberapa hikmah yang disebutkan oleh al Hafidz di atas. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 16/222).