Alhamdulillah.
Pertama: seharusnya seorang mukmin menerima secara penuh terhadap hukum Allah Ta’ala dan merealisasikannya meskipun tanpa mengetahui hikmahnya. Bahkan dia merasa cukup jika itu adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman:
( وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً ) سورة الأحزاب: 36
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Dan firman Allah lainnya:
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur: 51).
Kedua: Seorang mukmin seharusnya meyakini dengan keyakinan penuh bahwa Allah Maha Bijaksana (Al-Hakim). Maka Dia tidak akan mensyariatkan atau memerintah sesuatu kecuali pasti di dalamnya terdapat hikmah yang dalam dan murni memiliki kemaslahatan atau lebih dominan (kemaslahatannya), dan Dia tidak melarang sesuatu melainkan di dalamnya terdapat murni kerusakan atau dominan (kerusakannya).
Alangkah indahnya perkataan Ibnu Katsir rahimahullah di kitab Al-Bidayah Wan Nihayah, 6/79:
“Syariat beliau (Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah syariat yang paling sempurna. Tidak ada kebaikan yang dikenal oleh akal fikiran (manusia) sebagai kebaikan kecuali dia memerintahkannya, dan tidak ada suatu kemungkaran yang dikenal oleh akal fikiran (manusia) sebagai kemungkaran melainkan dia telah melarangnya. Dia tidak memerintahkan sesuatu, kemudian ada orang yang mengatakan alangkah baiknya kalau (hal itu) tidak diperintahkan, dan dia tidak melarang sesuatu, kemudian ada yang mengatakan alangkah baiknya kalau hal itu tidak dilarang”
Hikmah terkadang dapat kita ketahui dan terkadang tidak kita ketahui. Bahkan bisa jadi yang tidak kita ketahui lebih banyak atau hanya sebagiannya.
Ketiga: Para ulama bersepakat (ijma) tentang diharamkannya puasa bagi (wanita) haid. Dan dia diharuskan mengqhada hari yang dia berbuka (puasa) karena haid, jika puasa tersebut merupakan puasa wajib seperti puasa Ramadan. Para ulama juga bersepakat (ijma) kalau wanita haid berpuasa, maka puasanya tidak sah. (Silahkan lihat soal jawab no. 50282)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hikmah tidak sahnya puasa wanita yang sedang haid. Sebagian (ulama) mengatakan: Hikmahnya tidak kita ketahui. Imam Haramain berkata: “Ketetapan bahwa puasanyanya tidak sah, tidak diketahui maknanya. Karena suci bukan (merupakan) persyaratan di dalamnya.” (Al-Majmu, 2/386).
Sebagian (lagi) mengatakan: “Hikmah bawah Allah melarang (wanita) haid berpuasa sewaktu haid adalah sebagai kasih sayang kepada (wanita tersebut). Karena keluarnya haid melemahkan dirinya, dan jika dia berpuasa dalam kondisi haid, maka akan berkumpul pada dirinya dua kelemahan, lemah disebabkan haid dan puasa. Maka berpuasa baginya akan mengakibatkan hilang keseimbangan, bahkan bisa juga membahayakan.
Syaikhul Islam berkata di kitab Majmu’ Al-Fatawa, 25/234:
“Maka kami akan menyebutkan hikmah haid dan bahwa berlaku padanya qiyas (analogi). Kami katakan, Sesungguhnya agama datang dengan keadilan pada segala sesuatu, karena berlebih-lebihan dalam ibadah termasuk melampau batas yang dilarang agama. Dia memerintahkan untuk melakukan perkara yang seimbang dalam beribadah. Oleh karena itu diperintahkan untuk menyegerakan berbuka (puasa), mengakhirkan sahur dan melarang puasa wishal (puasa terus menerus tanpa henti). Dan (Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam) bersabda: “Sebaik-baik puasa dan paling seimbang adalah puasa Nabi Daud alaihis salam, biasanya beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari dan tidak lari ketika bertemu (musuh).” Sehingga keadilan dalam ibadah menjadi salah satu maksud syariat yang sangat besar. Oleh karena itu Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah: 87). Maka mengharamkan yang halal merupakan sikap melampaui batas yang menyalahi keadilan (keseimbangan). Firman Allah lainnya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,” (QS. An-Nisaa: 160-161).
Ketika mereka (berbuat) kezaliman, mereka diganjar dengan diharamkannya (memakan) yang baik-baik. Lain halnya dengan umat ini yang moderat. Mereka dihalalkan memakan yang segala sesuatu yang baik dan diharamkan segala sesuatu yang buruk. Karenanya, orang berpuasa dilarang mengkonsumsi sesuatu yang dapat menguatkan dan dapat mensuplai tubuh, berupa makanan dan minuman, sebaliknya mereka dilarang mengeluarkan sesuatu yang dapat melemahkan badan, begitu pula dilarang baginya mengeluarkan komponen yang berguna menjadi asupan bagi tubuh yang kalau dikeluarkan, yang jika hal itu dilakukan akan membahayakan dirinya, dan dengan demikian, dia dikatakan telah melampaui batas dan bersikap tidak adil dalam ibadahnya.
Sesuatu yang keluar dari tubuh ada dua macam. Pertama, yang keluar tanpa dapat dihindari atau dengan cara yang tidak membahayakan (seperti buang air kecil dan besar). Hal ini tidak mencegah (seseorang dari puasa), karena keluarnya tidak membahayakan dan tidak mungkin ditahan juga, meskipun kita menginginkannya, bahkan bermanfaat. Begitu juga kalau tiba-tiba muntah (tanpa dia sengaja) dan tidak mungkin dicegah. Begitu juga bermimpi dalam tidur, tidak mungkin dicegah.
Akan tetapi kalau dia sengaja membuat dirinya muntah, maka muntah disini berarti mengeluarkan asupan makanan dan minuman yang dibutuhkan tubuh. Begitu juga dengan onani bersamaan dengan adanya nafsu.
Sewaktu haid berarti mengeluarkan. Sebenarnya wanita haid memungkinkan berpuasa apabila darah tidak keluar. Ketika itu maka puasanya dapat dikatakan puasa yang seimbang, karena saat itu tidak keluar darah yang merupakan unsur penguat badan. Adapun berpuasanya sewaktu haid berarti dia berpuasa saat darah yang menjadi unsur tubuhnya keluar, dan itu berarti berkurangnya bagian dari tubuhnya dan akhirnya membuat lemah. Sehingga puasanya dalam kondisi ini, menyebabkannya keluar dari keseimbangan, karenanya diperintahkan untuk berpuasa pada waktu selain (waktu) haid." .