Alhamdulillah.
Pertama,
Bulan Ramadan adalah kesempatan yang agung bagi hamba yang beribadah untuk menambah ibadahnya. Dan bagi pelaku kemaksiatan, agar meninggalkan kemaksiatannya dan memperbaiki hubungan dengan Tuhannya Azza Wajalla dengan meninggalkan kemaksiatan dan memperbanyak ketaatan. Untuk memulai kehidupan baik tidak seperti kehidupan yang lalu.
Terdapat banyak hadits shahih menerangkan akan keutamaan puasa, qiyam dan beri’tikaf di bulan ini. Sebagaimana di dalamnya ada suatu malam –yaitu lailatul qadar- yang mana Allah telah menjadikan lebih baik dari seribu bulan.
Dari sini, maka jangan diingkari orang yang ingin mempergunakan hari-hari di bulan ini dengan ketaatan kepada Tuhannya. Karena jiwa siap untuk membaca Al-Qur’an dan ketaatan kepada Allah. Baik hal itu dilakukan oleh lelaki maupun perempuan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ( رواه البخاري، رقم 37 و مسلم، رقم 760)
“Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dalam keadaan iman dan mengharap pahala, maka dia diampuni dari dosa yang telah lalu.” (HR. Bukhari, 37 dan Muslim, 760)
Kedua,
Seharusnya seorang istri mengetahui bahwa suaminya mempunyai hak yang agung. Maka tidak dibolehkan mengabaikan hak-hak ini. Dan dia tidak diperkenankan menolak hak suaminya yang seharusnya ditunaikan dibandingkan dengan ibadah sunah.
Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا , وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
“Demi jiwa Muhammad yang ada di Tangan-Nya. Seorang istri belum menunaikan hak Tuhannya, sebelum dia menunaikan hak suaminya. Meskipun dia meminta dirinya dalam kondisi di dapur, maka dia (tidak diperkenankan) untuk menolaknya.” (HR. Ibnu Majah, 1853 dan dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib, 1938)
Kata ‘Al-Qatab’ untuk unta seperti dapur untuk lainnya. Maksudnya adalah anjuran untuk menuruti suaminya. Dan selayaknya dia tidak menolaknya dalam kondisi seperti ini. Apalagi dengan kondisi lainnya. (Hasyiyah As-Sindi Ala Ibnu Majah)
Karena agungnya hak suami, sehingga seorang istri diperintahkan untuk meminta izin kepada (suaminya) sebelum melakukan sebagian ibadah sunnah yang terkadang bertolak belakang dengan hak suaminya, diantaranya:
1.Puasa Sunnah, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلا بِإِذْنِهِ (رواه البخاري ، رقم 4896 ومسلم، رقم 1026)
“Seorang istri hendaknya tidak berpuasa, jika suaminya ada kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari, 4896 dan Muslim, 1026)
An-Nawawi rahimahullah berkomentar, “Ini termasuk puasa sunah yang tidak ada waktu tertentu. Dan larangan ini termasuk pengharaman, sebagaimana rekan-rekan kami menegaskan hal itu. Sebabnya adalah bahwa suami mempunyai hak menikmati (istrinya) setiap hari. Dan haknya harus ditunaikan secara langsung, tidak (boleh) ditunda karena amalan sunah juga amalan wajib yang boleh diundur." (Syarh Muslim, 7/115)
2. Keluar ke Masjid. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اسْتَأْذَنَتْ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلا يَمْنَعْهَا (رواه البخاري، 4940 ، ومسلم، رقم 442)
“Jika isteri salah seorang dari kalian meminta izin ke masjid, maka jangan dihalangi.” (HR. Bukhari, 4940 dan Muslim, 442)
3. Seharusnya seorang suami bertakwa kepada Allah terhadap istrinya, jangan dibebani melebihi kekuatannya. Kebanyakan para suami membebani para istri di siang hari dengan memasak dan malam hari membuat kue. Sehingga waktu pagi dan malamnya hilang. Sehingga tidak dapat mempergunakan siang puasanya dengan ketaatan, tidak juga waktu malamnya untuk beribadah. Di antara hak istri dari suaminya adalah dia mendapatkan kesempatan untuk beribadah di bulan ini dengan ketaatan. Maka (suami) jangan melarangnya membaca Al-Qur’an, dan qiyamul lail. Hendaknya dapat diatur diantara kedunya, agar tidak terjadi kontradiksi antara hak (suami) dengan ketaatan kepada Tuhannya dan ibadahnya. Dan ini –tentunya- dalam ibadah-ibadah sunah. Sementara kalau ibadah wajib, maka suami tidak ada hak untuk melarangnya.
Diantara petunjuk Nabi sallallahu alaihi wa sallam terhadap istri-istrinya adalah menganjurkan dalam ketaatan dan ibadah. Terutama pada sepuluh malam akhir di bulan Ramadan.
“Dari Aisyah radhiallahu’anha berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ , وَأَحْيَا لَيْلَهُ , وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ (رواه البخاري، رقم 1920 و مسلم، رقم 1174 )
“Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa sallam ketika memasuki sepuluh akhir (Ramadan) mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan istrinya. “HR. Bukhari, 1920 dan Muslim, 1174)
Kalau masing-masing telah mengetahui hak dan kewajibannya, maka keduanya akan tenang dari pertikaian dan pertengkaran yang seringkali terjadi. Kalau keduanya telah mengetahui bahwa kesempatan seperti ini terkadang tidak terulang lagi dalam kehidupannya keculai sedikit, maka hal itu akan menambah semangat untuk mempergunakan hari-hari dan malam Ramadan dengan sebaik mungkin.
Kita memohon kepada Allah tabaraoka Wa Ta’ala agar disatukan diantara dua hati anda berdua, dan dibantu untuk melakukan ketaatan dan ibadah yang bagus.
Wallahu’alam.