Alhamdulillah.
Pertama:
Ketahuilah wahai hamba Allah, bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- berada dibalik hijab, hingga tidak terlihat oleh hamba-hamba-Nya pada waktu di dunia, maka tidak satupun manusia yang mampu melihatnya, tidak juga Nabi atau yang lainnya.
قالت أم المؤمنين عائشة رضي الله عنها : ( مَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللَّهِ الْفِرْيَةَ ) رواه البخاري (4855) ومسلم (177) واللفظ له .
Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata: “Barang siapa beranggapan bahwa Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melihat Rabbnya, maka ia telah mendustakan Allah”. (HR. Bukhori 4855 dan Muslim 177, ini adalah redaksi hadits Imam Muslim)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata: “Para Imam kaum Muslimin telah bersepakat bahwa tidak seorang pun dari kaum mukminin mampu melihat Allah dengan mata kepala pada waktu di dunia, dan tidak ada yang mempermasalahkan hal ini kecuali yang terjadi secara khusus kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, padahal jumhur ulama menyatakan bahwa beliau pun tidak melihat Allah ketika di dunia, dan pendapat inilah yang didukung beberapa atsar yang shahih dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa salam-, para sahabat dan para imam kaum muslimin”. (Majmu’ Fatawa: 2/335)
Dan jika semua manusia terhalang untuk melihat Dzat Allah ketika di dunia, maka semua manusia juga tidak mampu mengetahui hakikat Dzat Allah –subhanahu wa ta’ala-, dan sifat-sifat-Nya; karena manusia tidak akan mampu membayangkan sesuatu dengan bayangan yang benar kecuali kalau ia sudah pernah melihatnya atau melihat sesuatu yang serupa dengannya; hingga yang serupa tersebut mendekatkan gambaran yang sebanarnya.
Oleh karena itu, ketahuilah -wahai saudaraku yang mulia- bahwa semua gambaran wujud yang ada di dalam fikiran anda, atau semua apa yang terlintas dalam benak anda, maka itu bukanlah Allah –Ta’ala-, yang pasti bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- lebih agung dari pada itu semua. Dan semua bentuk yang ada dalam bayangan anda selama ini merupakan bisikan dan tipu daya syetan dengan tujuan agar anda tertipu dan menganggap sesuatu yang membahayakan menjadi bermanfaat dan sesuatu yang bathil menjadi kebenaran. Imam ath Thahawi –rahimahullah- berkata di dalam aqidahnya: “Pondasi Islam tidak akan menancap kuat kecuali dengan penyerahan diri dengan sepenuhnya secara totalitas. Barang siapa yang cenderung kepada ilmu yang dilarang, dan pemahamannya tidak puas dengan bentuk penyerahan diri, maka ia akan terhalang dari kemurnian bertauhid, pengetahuan yang tulus dan keimanan yang benar. Dia juga akan menjadi ragu antara kekafiran dan keimanan, kebenaran dan kedustaan, mengakui dan mengingkari, ragu-ragu dan bingung. Bukan seorang mukmin yang membenarkan, juga bukan seorang kafir yang menduskannya”. (Matan Aqidah Thahawiyah, hal: 14)
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara kita menolak bisikan dan rayuan syetan yang merasuki hati seorang hamba terkait dengan Allah –jalla jalaluhu-. Beliau bersabda:
( يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولَ مَنْ خَلَقَ كَذَا وَكَذَا حَتَّى يَقُولَ لَهُ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ ؟ فَإِذَا بَلَغَ ذَلِكَ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ ) رواه البخاري( 3276 ) ومسلم (134)
“Syetan mendatangi salah satu dari kalian seraya berkata: siapa yang menciptakan ini dan itu?, sampai ia berkata: siapa yang menciptakan Tuhanmu?, dan kalau sudah sampai pertanyaan tersebut maka berlindunglah kepada Allah dan berhentilah”. (HR. Bukhori 3276 dan Muslim 134)
Imam Nawawi –rahimahullah- berkata: “Artinya: jika seseorang dihadapkan kepada bisikan syetan, maka kembalilah kepada Allah untuk menolak keburukannya dan segera palingkan fikiran anda dari padanya. Dan ketahuilah bahwa yang terlintas pada fikiran anda adalah bisikan syetan, ia selalu berusaha merusak dan menyesatkan, maka palingkanlah pendengaran anda dari bisikannya, dan segera melakukan kesibukan lain. Wallahu a’lam. (Lihatlah “Kalaman Mufidan fi Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin, 1/soal nomor: 18)
Adapun kedekatan (taqarrub) kepada Alah yang anda cari dalam ibadah anda merupakan sebaik-baik derajat para hamba Allah.
( أن تعبد الله كأنك تراه ؛ فإن لم تكن تراه ، فإنه يراك !! ) .
“Beribadahlah kepada Allah seakan kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak (mampu) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”.
Kedudukan mulia dan agung tersebut tidak membutuhkan usaha yang melelahkan, dan menjadikan hati anda bercabang; karena mencari sesuatu yang tidak terjangkau, yaitu; membayangkan sosok Allah –‘azza wa jalla-, namun anda hanya perlu menghadirkan sifat-sifat Agung, Sempurna dan Indah bagi Allah yang akan membantu kehadiran hati di dalam beribadah kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-. Al Hafidz Ibnu Rajab –rahimahulah- berkata: “Sabda Rasullullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang menafsiri makna ihsan, yaitu; “beribadahlah seakan kamu melihat-Nya…”, menunjukkan bahwa seorang hamba seharusnya beribadah kepada Allah sesuai dengan sifat tersebut, dengan merasakan kedekatannya dengan Allah, bahwa Dia sedang mengawasinya di depannya. Yang demikian itu akan melahirkan rasa khosyah (takut), tunduk dan penuh ta’dzim (pengagungan). Sebagaimana yang tertera dalam riwayat Abu Hurairah –rashiyallahu ‘anhu-:
" أن تخشى الله كأنك تراه " [ رواه بهذا اللفظ : مسلم (10) ] .
“Takutlah kepada Allah seakan kamu melihat-Nya”. (HR. Muslim: 10, dengan redaksi ini)
Juga akan melahirkan bentuk nasehat dalam ibadah dan berusaha keras untuk memperbaikinya, menyempurnakannya. (Jami’ Ulum wal Hikam: 1/104)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “Ihsan adalah inti semua ibadah hati yang akan melahirkan rasa malu, pengagungan, takut, rasa cinta, taubat, tawakkal, tunduk kapada Allah, merendah dan hina di hadapan-Nya, dan akan memutuskan bisikan syetan dan nafsu dan akan menyerahkan hati dan kerisauan kepada Allah.
Kedekatan seorang hamba kepada Allah akan terukur dengan derajat ihsannya kepada Allah, maka shalatnya dua orang misalnya akan sangat berbeda derajat dan keutamaannya, padahal berdiri, ruku’ dan sujudnya satu”. (Risalah Ibnul Qayyim ila Ikhwanihi: 38-39, lihat juga: “Jami Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab: 1/103/ Daar Ibnul Jauzi, “Ma’arijul Qabul: 3/999-1000)
Para ulama telah mengisyaratkan adanya beberapa perbuatan dan keadaan, barang siapa yang bersungguh-sungguh untuk merealisasikannya, maka ia akan mendapatkan pertolongan agar senantiasa dekat dengan Allah –‘azza wa jalla-. Sejauh mana usaha seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Allah –‘azza wa jalla-, maka Allah juga akan mendekat kepadanya.
Di antara perbuatan dan keadaan tersebut adalah:
1. Memurnikan tauhid dan meninggalkan syirik besar dan kecil.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata: “Ini merupakan bentuk ikhlas dan tauhid yang sesungguhnya. Barang siapa yang merealisasikannya maka ia sedekat-dekatnya makhluk kepada Allah. Dan merupakan realisasi dari kata ikhlas “Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah” (al Istiqamah: 195)
2. Mengetahui Sifat-sifat, Nama-nama dan Perbuatan Allah –subhanahu wa ta’ala-.
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “Ihsan dan Muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah), yaitu; hendaknya ia beribadah kepada Allah seakan melihat-Nya. Kondisi ini akan tumbuh dari bentuk sempurnanya iman kepada Allah, Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, hingga ia seakan mampu melihat Allah –subhanahuu wa ta’ala- di atas langit ke tujuh bersemayam di ‘Arsy, berbicara melalui perintah dan larangan-Nya, mengatur semua urusan makhluk-Nya, maka semua urusan berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya, dan semua perbuatan dan ruh hamba-hamba-Nya akan diperlihatkan kepada-Nya ketika meninggal dunia, maka Dia menyaksikan semua itu dengan hati, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya.
3. Memamahi Makna Wala’ dengan Iman dan Taqwa, sebagaimana firman Allah:
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاء اللّهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ ٦٢
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Yunus: 62)
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “Perwalian adalah kedekatan dengan Allah –‘azza wa jalla-. Wali Allah adalah orang yang dekat dengan Allah, memiliki kedudukan khusus di sisi-Nya. Al wala’ secara bahasa adalah dekat”. (Bada’i al Fawaid: 3/621)
4. Selalu menjaga shalat, dengan merasakan kedekatan dengan Allah –Ta’ala-, khususnya pada waku sujud.
Karena sujud adalah waktu seorang hamba paling dekat dengan Allah –Ta’ala-, demikian juga shalat pada sepertiga malam, Allah berfirman:
كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ١٩ العلق: 19
“… dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)”. (QS. Al ‘Alaq: 19)
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ ) رواه مسلم ( 482 ) .
“Seorang hamba berada pada posisi terdekat dengan Tuhannya ketika ia sedang sujud, maka perbanyaklah berdo’a”. (HR. Muslim 482)
Dari ‘Amr bin ‘Abasah bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
( أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنْ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ ) رواه الترمذي ( 3579 ) والنسائي ( 572 ) ، وصححه الألباني في " صحيح الجامع " ( 1173 ) .
“Sedekat-dekatnya Allah dengan hamba-Nya adalah pada sepertiga malam terakhir, maka jika kamu mampu menjadi di antara mereka yang berdzikir pada waktu tersebut maka lakukanlah”. (HR. Tirmidzi 3579, Nasa’I 572, dan dishahihkan al Bani dalam “Shahih Jami’” 1173)
5. Merealisasikan Taubat dari Dosa-dosa Kecil Maupun Dosa Besar
Syeikh Islam –rahimahullah- berkata: “Hendaknya diketahui bahwa taubat adalah kewajiban bagi setiap orang mukmin. Seseorang tidak akan mendapatkan kedekatan yang sempurna di sisi Allah, dan menjauhnya hal-hal yang dibenci kecuali dengan taubat”. (Majmu’ Fatawa: 15/55)
6. Mengingat Allah Pada Setiap Keadaan dengan dzikir, doa, tasbih, tahmid dan tahlil
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata: “Dzikir akan menjadikan seseorang dekat dengan Allah –‘azza wa jalla-, inilah kedudukan orang yang berdzikir”. (al Waabil al Shayyib: 1/96)
7. Merealisasakan Makna Khouf (rasa takut) kepada Allah –ta’ala-
Ibnul Qayyim –rahimahullah—berkata: “Rasa takut ini dalam rangka merasakan kedekatan dengan Allah, dan kedudukan di sisi-Nya. Semakin seorang hamba merasa lebih dekat kepada Allah, maka rasa takut kepada-Nya semakin tinggi; karena ia merasakan perintah Allah apa yang tidak dirasakan oleh yang lainnya. Maka ia diwajibkan untuk memelihara kedudukan tersebut dan hak-haknya apa yang tidak diwajibkan kepada yang lainnya, seperti halnya seseorang yang sedang berada secara langsung di hadapan seorang raja, maka ia akan lebih merasa takut dari pada ketika ia berada jauh darinya, karena kedekatan dan kedudukannya disisi raja tersebut, ia juga akan diminta untuk membantu dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada yang lainnya. Kondisi tersebut seharusnya juga akan terbawa ketika ia berada jauh dari raja tersebut. Barang siapa yang memahami gambaran di atas maka ia akan memahami sabda Rasulullah:
( إني أعلمكم بالله وأشدكم له خشية )
“Saya adalah orang yang paling mengetahui Allah, dan yang paling takut kepada-Nya”. (Thariqul Hijratain: 1/427-428)
Wallahu a’lam.