Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

APAKAH SHALAT WANITA DISAMPING LAKI-LAKI DENGAN ADA PEMBATAS ITU SAH?

79122

Tanggal Tayang : 27-09-2010

Penampilan-penampilan : 56762

Pertanyaan

Di negara kami ada masjid, wanitanya shalat di samping laki-laki tapi diantara keduanya ada pembatas tembok. Apakah prilaku ini sah ataukah wanita shalatnya harus dibelakang laki-laki?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama, kalau wanita shalat sejajar (disamping) laki-laki dan diantara keduanya ada pembatas baik dinding atau tempat kosong memungkinkan untuk shalat, maka shalatnya sah menurut kebanyakan ahli ilmu dari Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyyah dan Hanabilah. Adanya perbedaan diantara mereka manakala shalat di sampingnya tanpa ada pembatas. Pendapat Hanafiyah (mengatakan), bahwa batal shalatnya tiga orang laki-laki. Satu disamping kanan, yang lain samping kiri dan ketiga dibelakangnya. Dengan syarat-syarat yang telah mereka sebutkan. Hasilnya adalah wanita itu sudah ‘Musytaha’ yaitu telah berumur tujuh tahun atau yang sudah layak untuk digauli, menurut perbedaan dalam madzhab. Dan ikut dengan laki-laki dalam shalat mutlak yaitu yang ada ruku’ dan sujud. Sama-sama dalam larangan dan pelaksanaan. Dan hendaklah imam telah berniat untuk mengimami (wanita) atau menjadi imam kalangan wanita secara umum. Dengan perincian lainnya, dapat diketahui dengan merujuk ke kitab-kitab mereka. Silahkan melihat kitab AL-Mabsut, 1/183. Badai’ sonai’, 1/239. Tabyinul Haqaiq, 1/ 136-139.

An-Nawawi rahimahullah berkata dalam menjelaskan perbedaan dalam masalah, kesimpulan madzhab Hanafiyah adalah kalau laki-laki shalat sementara disampingnya ada wanita. Shalatnya tidak batal (baik) laki-laki maupun wanita. Baik dia sebagai imam atau makmum. Ini adalah madzhab kami (Syafiiyyah), dan juga pendapat Imam Malik dan kebanyakan (ulama’). Abu Hanifah mengatakan, kalau wanita (dalam kondisi) tidak shalat atau dalam kondisi shalat tapi tidak bersama shalat dengan dia. Maka shalatnya sah baik laki-laki maupun wanita. Kalau (wanita) dalam kondisi shalat ikut bersama dengan (laki-laki) –tidak dikatakan kebersamaan menurut Abu Hanifah kecuali kalau imamnya berniat menjadi imam para wanita- kalau wanita ikut bersamanya, jika ada laki-laki berdiri disampingnya. Maka shalatnya batal orang yang (berdiri) disamping wanita. Sementara shalat wanita tersebut tidak batal. Bagitu juga (tidak batal) orang yang shalat disela setelah selanya. Karena antara (wanita) dengan laki-laki ada penghalang. Kalau wanita di shaf diantara yakni imamnya, maka shalat orang yang sejajar dibelakangnya batal, dan tidak batal orang yang shalat sejajar dengan jajaran wanita. Karena ada penghalang. Kalau para wanita membuat shaf dibelakang imam, sementara dibelakang mereka ada shaf laki-laki. Maka shalat yang ada dishaf setelah (shaf para wanita) batal. Berkata, sebenarnya qiyas (analoginya) tidak batal shalat yang ada dibelakang shaf diantara shaf-shaf karena ada penghalang. Akan tetapi kami katakan, shaf para laki-laki dibelakangnya batal meskipun ada seratus shaf karena istihsan. Kalau wanita berdiri di samping imam, maka shalat imam batal karena wanita ada di sampingnya. Dan madzhabnya, kalau shalat imam batal, maka shalat para makmum juga batal. Dan shalat (wanita) itu juga batal karena dia termasuk bagian dari makmum.

Madzhab ini lemah hujjahnya. Nampak berpegang teguh dengan perincian yang tidak ada asalnya. Pegangan kami bahwa shalatnya sah sampai ada dalil shoheh syar’i yang menjelaskan batalnya (shalat) padahal mereka tidak punya (dalil). Teman-teman kami (semadzhab) mengkiyaskan berdirinya (wanita) dengan berdirinya dalam shalat jenazah, (maka shalatnya) tidak batal menurut mereka.

Wallahu’alam akan kebenarannya. Dan hanya MilikNya segala pujian, nikmat dan sanjungan. Dan denganNya (memohon) taufiq, petunjuk dan penjagaan. Selesai dari kitab ‘Al-Majmu’, 3/331. Dengan sedikit ringkasan.

Sementara kalau ada penghalang, madzhab Hanafi dan mayoritas ulama’ bersepakat bahwa shalatnya tidak ada yang batal salah satu diantara keduanya, sebagaimana di kitab ‘Tabyinul Haqoiq, 1/138.

Kedua, tidak diragukan bahwa yang sesuai sunnah adalah shaf para wanita dibelakang para lelaki. Sebagaimana kondisi zaman Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Telah diriwayatkan oleh Bukhori, 380 dan Muslim, 658. Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu bahwa neneknya Mulaikan mengundang Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam untuk makan-makan yang telah dibuatnya. Kemudian (beliau) mengatakan, berdirilah kamu semua untuk menunaikan shalat bersama kamu. Anas berkata:”Saya berdiri ke tikar yang kami punya sudah menghitam dikarenakan lama dipakai, dan kami percikkan air. Maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam berdiri sementara saya dan anak yatim membuat shaf dibelakangnya. Dan orang tua (nenek) dibelakang kami. Maka Rasulullah sallallahu’alaih wa sallam shalat bersama kami dua rakaat kemudian pulang.

Al-Hafidz (Ibnu Hajar) mengomentari dalam kitab Fath, dalam hadits ini banyak  faedahnya... (Shaf) wanita berada di belakang shaf para lelaki. Dan berdirinya wanita sendirian dalam shaf dikala tidak ada wanita lainnya. Selesai

Akan tetapi kalau terjadi seperti apa yang anda sebutkan bahwa para wanita sejajar dengan para lelaki, maka shalatnya sah wal hamdulillah.

Wallahu’alam .

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam