Kamis 25 Jumadits Tsani 1446 - 26 Desember 2024
Indonesian

Ia Diberitahu Bahwa Suntik Itu Membatalkan Puasa, Lalu Ia Pun Membatalkan Puasanya, Lalu Ia Mengqadha’nya, Maka Apa Yang Menjadi Kewajibannya ?

Pertanyaan

Takdir ilahi telah berkehendak kepada saya untuk terkena penyakit TBC paru-paru, saya telah menjalani pengobatan dengan suntikan setiap hari selama satu tahun dan obat lainnya yang dikonsumsi sebanyak tiga kali setiap harinya. Pengobatan ini bersamaan dengan datangnya bulan Ramadhan yang penuh berkah, meskipun demikian saya tetap ikut berpuasa, dan setelah berjalan 15 hari, saya seperti biasa menjalani pengobatan dengan suntik di pusat medis, di sana ditanya oleh perawat terkait puasa saya, saya jawab iya saya berpuasa, dia menolak dan mengatakan: “Mulai sekarang batalkan puasa anda”, karena mengikuti anjuran tersebut saya batalkan puasa saya pada hari yang tersisa dari bulan Ramadhan. Setelah itu saya mengqadha’ sejumlah hari yang saya tinggalkan, dan setelah saya ketahui ternyata suntik tidak membatalkan puasa, saya menyesal sekali, dan merasa telah melakukan dosa besar, meskipun niat saya jelas untuk menyempurnakan puasa pada bulan tersebut meskipun saya dalam kondisi sakit. Saya banyak mencela perawat tersebut yang telah menasehati saya untuk membatalkan puasa pada hari-hari yang tersisa dari bulan Ramadhan. Saya berharap ada penjelasan tentang pandangan syari’at Islam terkait dengan masalah ini.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Suntik yang diberikan kepada pasien ada dua macam:

  1. Ada yang mengandung gizi, maka hal ini membatalkan puasa jika sengaja menggunakannya.
  2. Yang tidak mengandung gizi, maka tidak ada dampaknya pada sahnya puasa, baik anda lakukan melalui saluran nadi atau melalui otot, sesuai dengan pendapat yang rajih (kuat) dari dua pendapat para ulama; karena bukan termasuk makanan, bukan minuman dan tidak termasuk dalam kategori makanan dan minuman.

Baca juga soal nomor: 65632 dan 49706, di sana dinukil tentang fatwa para ulama dalam masalah ini.

Bisa jadi perawat tersebut mengambil pendapat yang mengatakan bahwa suntik membatalkan puasa jika sampai ke perut.

Yang penting adalah jika pembatalan puasa anda berdasarkan atas nasehatnya, lalu anda telah mengqadha’ hari-hari puasa yang telah anda tinggalkan, berarti anda telah menyelesaikan tanggungan anda dan tidak ada kewajiban lain selain hal tersebut.

Syiekh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya tentang seorang wanita yang memakai minyak rambut di rambutnya, lalu ia diberitahu oleh saudarinya bahwa hal itu termasuk yang membatalkan puasa, ia pun membatalkan puasanya kemudian ia mengqadha’nya, maka beliau menjawab:

“Jawaban dari soal tersebut dari dua sisi: wanita tersebut telah memberikan fatwa kepada saudarinya tanpa ilmu, karena memakai minyak rambut pada saat berpuasa tidak membatalkan puasa. Adapun pada sisi yang kedua: dari sisi wanita yang mendapatkan fatwa tanpa ilmu, lalu ia membatalkan puasanya dan mengqadha’nya pada hari lain berdasarkan fatwa tersebut, ia sekarang tidak ada kewajiban apapun sekarang, karena ia telah menunaikan kewajibannya”. (Majmu’ Fatawa Syeikh Ibnu Utsaimin: 19/226)

Kedua:

Telah disebutkan di dalam soal anda: “Takdir Ilahi telah menghendaki” ini merupakan kesalahan yang sudah umum dilakukan, karena takdir tidak mempunyai kehendak, yang benar hendaknya disebutkan: “Allah telah berkehendak atau Allah telah mentakdirkan”.

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- pernah ditanya terkait dengan ucapan: “Keadaan telah berkehendak untuk terjadi begini dan begitu”, “Takdir telah berkehendak untuk begini dan begitu” ?

Beliau menjawab:

“Ucapannya “Takdir telah berkehendak” dan “keadaan/waktu telah berkehendak” termasuk kalimat yang mungkar; karena Az Zhuruuf bentuk jama’ dari zhurf yaitu waktu, dan waktu tidak mempunyai kehendak, demikian juga Al Aqdaar bentuk jamak dari qadr dan takdir tidak mempunyai kehendak, karena yang berkehendak adalah Allah –‘Azza wa Jalla-, ya kalau ada orang mengatakan: “Takdir Allah menuntut begini dan begitu”, maka tidak masalah. Adapun Al Masi’ah (kehendak) tidak boleh disandarkan kepada takdir karena Al Masi’ah adalah keinginan dan tidak ada keinginan bagi sifat karena keinginan itu milik Dzat yang disifati”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 3/113)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kesembuhan dan kesehatan kepada anda dan menambahkan ilmu dan pemahaman kepada anda.

Wallahu A’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam