Senin 22 Jumadits Tsani 1446 - 23 Desember 2024
Indonesian

Perayaan Peringatan Mengenang Sebagian Ulama

Pertanyaan

Apa hukum perayaan memperingati seratus atau empat puluh (dalam rangka) kematian salah seorang ulama’?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Termasuk perkara baru dalam agama di sebagian masyarakat Islam adalah mengadakan perayaan untuk mengenang sebagian orang yang sudah wafat, khususnya para ulama. Perayaan ini biasanya dilakukan bertepatan pada tanggal wafat orang yang dikenang. Kadang perayaan tersebut dilakukan setahun atau lebih dari itu.

Kadang perayaan tersebut berbeda antara satu dengan yang lain. Apabila dia dari kalangan masyarakat awam atau dia dikenal sebagai ulama, walaupun asalnya adalah orang-orang bodoh. Setelah berlalu 40 hari peristiwa wafatnya, mereka namakan sebagai peringatan 40 hari. Mereka berkumpul di kemah khusus atau rumah orang yang wafat lalu mendatangkan orang yang membaca Al-Quran. Lalu mereka menyiapkan hidangan seperti hidangan saat resepsi pernikahan. Merekapun menghias tempat dengan cahaya yang terang, tikar yang halus  dan mengeluarkan biaya yang besar. Tujuan mereka tak lain untuk berbangga-bangga dan riya, tidak diragukan lagi bahwa perkara ini diharamkan karena mengeluarkan harta mayat secara sia-sia dengan tujuan yang tidak benar serta tidak mendapatkan manfaat bagi mayat serta kerugian akan dialami keluarganya. Hal ini jika ahli warisnya tidak ada anak kecil. Apalagi jika ada anak kecil!! Kadang bahkan mereka memberatkan diri dengan berhutang secara riba. Nauzubillah min sakhatih (Kami berlingdung dari kemarahan-Nya). (Al-Ibda, hal. 228)

Ibnu Qayim Al-Jauziah rahimahullah berkata, “Di antara petunjuk beliau (Rasulullah) shallallahu alaihi wa sallam adalah bertakziah kepada keluarga mayat. Bukan termasuk petunjuknya berkumpul untuk bertakziah lalu dibacakan Al-Quran untuk mayat, tidak di kuburannya tidak juga di tempat lainnya. Semua itu adalah bid’ah dan perkara yang diada-adakan yang tidak disukai.” (Zadul Ma’ad, 1/527)

Ali Al-Mahfuz rahimahullah berkata, “Apa yang dilakukan masyarakat pada sekarang ini, yaitu menyiapkan makanan bagi orang yang bertakziah dan mengeluarkan biaya pada malam-malam kendurian, berikutnya pada malam Jumat atau empat puluh hari, semua itu adalah bid’ah tercela yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta salafushshaleh.” (Al-Ibda, hal. 230)

Maka, perayaan tersebut adalah perkara bid’ah, tidak terdapat atsarnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabat radhiallahu anhum, juga tidak dari para salafushaleh rahimahumullah.

Sunah dalam masalah ini adalah membuatkan makanan untuk keluarga mayat dan dikirim ke mereka, bukan mereka yang membuatnya lalu mengundang masyarakat untuk makan. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda ketika datang kabar wafatnya Ja’far bin Abu Thalib radhiallahu anhu, 

اصنعوا لآل جعفر طعاماً فإنه قد جاءهم ما يشغلهم

(رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه والحاكم وقال حديث صحيح حسن ووفقه الذهبي في تلخيصه)

“Hendaknya kalian buatkan makanan untuk keluarga Ja’far, karena sekarang mereka sedang mendapatkan musibah yang menyibukkan mereka.” (HR. Ahmad dalam musnadnya, 1/205, Abu Daud dalam Sunannya, 3/497, Kitabul Janaiz, hadits no. 3132. HR. Tirmizi dalam Sunannya, 2/234, Abwabul Jana’iz, hadits no. 1003, dia berkata, “Haditsnya hasan.” HR. Ibnu Majah dalam Sunannya, 1/514, Kitabul Janaiz, hadits no. 1610. HR. Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/372, Kitabul Jana’iz, dia berkata, ‘Hadits Shahih isnadnya dan keduanya (Bukhari Muslim) tidak meriwayatkannya. Az-Zahabi menyetujuinya (menyetujui Hakim yang menshahihkannya dalam ringkasannya).

Jarir bin Abdullah Al-Bajali mengatakan:

كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة) ا. هـ. رواه ابن ماجة في سننه (1/514) كتاب الجنائز, حديث رقم (1612)

“Dahulu kami menganggap kumpul-kumpul di keluaga mayat serta membuat makanan termasuk niyahah (histeris karena kematian yang dilarang).” (HR. Ibnu Majah dalam Sunannya, 1/514, Kitab Janaiz, hadits no. 1612)

Al-Bushairi berkata dalam Zawaid Ibnu Majah, 2/53, sanadnya shahih dan perawi-perawi  dari jalur pertamanya dengan syarat Bukhari, sedangkan dari jalur kedua sesuai dengan syarat Muslim)

Adapun jika yang diperingati adalah para ulama, maka pada hari yang sesuai dengan tanggal wafatnya setelah berlalu setahun atau dua tahun dibuat peringatan khusus. Lalu sejumlah pakar menulis artikel tentang sejarah dan kepribadiannya atau manhajnya dalam mengarang atau yang berkaitan dengannya kemudian disajikan dalam acara tersebut, atau mencetak buku-bukunya atau yang penting dan popular darinya, kemudian disebarkan ke pasar sebagai peringatan untuk mengenangnya sebagaimana mereka akui dan sebagai upaya menjelaskan perjuangannya dalam menyebarkan ilmu, mengarang dan semacamnya.

Jika yang diperingati adalah para raja dan penguasa, maka mereka peringat moment tersebut, lalu para pembesar berbicara tentang jejak kehidupannya dan perjuangannya dalam memerintah, kadang diterbitkan pula sejumlah buku terkait dengan moment tersebut.

Di antara masyarakat ada yang pergi ke kuburannya, lalu menabur bunga dan membaca surat Al-Fatihah.

Itu semua adalah  bid’ah yang tidak Allah ajarkan.

Sebenarnya tidak masalah menyebarkan kitab ulama tersebut, juga menulis riwayat hidupnya serta metodologi penulisannya dalam menulis. Bahkan justeru hal tersebut dituntut jika memang dia adalah orang yang layak untuk itu. Akan tetapi mestinya jangan dikhususkan pada waktu tertentu dan tidak diiringi dengan perayaan-perayaan atau parade ceramah dan semacamnya. Demikian pula halnya terhadap raja dan para penguasa.

  Perayaan memperingati sebagian orang yang telah wafat seperti para ulama dan sebagian orang awam adalah perkara bid’ah, cukuplah hal ini merupakan kecaman baginya.

Sesungguhnya tidak ada orang yang lebih luas ilmunya daripada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak ada orang yang paling utama dalam berdakwah menyerukan agama dan tidak ada yang lebih mulia kedudukannya, tidak ada yang lebih agung kedudukannya dibanding Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dialah sebaik-baiknya makhluk secara mutlak. Namun demikian, para shahabat tidak merayakan untuk mengenangnya, padahal tidak ada makhluk yang mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selain para sahabat yang mulia dan para tabiin serta para salafushalih rahimahullah. Seandainya itu merupakan kebaikan, niscaya mereka akan mendahului kita untuk melakukannya.

Menghormati para ulama tidak dilakukan dengan mengadakan peringatan untuk mengenangnya, tapi dengan bersungguh-sungguh untuk mengambil manfaat dari apa yang mereka tulis dan karang dengan cara menyebarkan bukunya dan membacanya, memberi catatan dan menjelaskannya serta semacamnya.

Para ulama dan salafushaleh serta orang yang datang sesudahnya telah dicatat sejarahnya, riwayat-riwayatnya dan ilmu yang telah dia sebarkan. Ulama dapat meninggalkan dan meninggalkan dunia, tapi ilmunya tetap ada berpindah-pindah dari satu generasi ke generasi.

Dengan sebab banyaknya orang yang mengambil manfaat dari ilmunya, banyak mereka yang selalu memohonkan rahmat kepadanya dan mendoakannya mendapatkan balasan pahala. Ini merupakan cara paling baik untuk mengenang mereka.

Adapun mengadakan perayaan untuk mengenangnya, mengambil berkah dari kuburnya atau bekas-bekas peninggalan-peninggalannya atau thawaf di kuburnya. Semua itu adalah bid’ah yang sebagiannya kadang-kadang sampai dalam taraf syirik kepada Allah. Kami berlindunng kepada Allah dari semua itu.

Seandainya para ulama yang dilakukan perayaan untuk mengenangnya, kuburannya dimintai berkah, itu hidup, niscaya mereka akan mengingkari orang yang melakukan dari hal itu semua.

Akan tetapi, sebagian orang disesatnya oleh hawa nafsunya dan setan, juga oleh para penyeru bid’ah yang mengincarnya, atau jabatan yang dimilikinya, sehingga dia tergelincir dalam kubangan bid’ah yang tidak ada henti-hentinya, kecuali yang ingin kembali kepada Kitabullah Azza wa Jalla dan sunah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta berpegang dengan keduanya dan berpegang pada perkara yang sudah menjadi ijmak dan kesepakatan ulama umat dan meninggalkan perkara bid’ah yang zatnya sendiri sudah buruk dan bahkan dapat menjadi sarana kepada keburukan yang lebih besar dan musibah lebih besar.

Kita mohon kepada Allah semoga kita diberikan hidayah di jalannya yang lurus, yaitu jalan yang Allah beri nikmat dari kalangan para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada dan orang-orang shalih. Semoga kita dijauhkan dari jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang sesat, Dia berkuasa atas segala sesuatu.

Refrensi: Al-Bida Al-Hauliah, Syekh Abdullah bin Abdulaziz bin Ahmad Tuwaijiry, hal. 350