Alhamdulillah.
Pertama:
Wahai saudaraku, anda sudah sangat baik dengan pertanyaan anda ini; karena hal ini menunjukkan kesungguhan dan ketaatan anda agar tidak hilang atau berkurang karena kemaksiatan yang merajalela.
Kita semua wajib mengetahui juga bahwa hakikat puasa adalah tidak hanya sekedar meninggalkan makan dan minum, akan tetapi Allah telah mensyari’atkan ibadah puasa ini untuk menghasilkan ketaqwaan. Oleh karenanya puasa yang benar adalah puasa dari kemaksiatan dengan meninggalkannya, menjauhinya, menahan diri tidak melakukannya, ini merupakan puasa hati tidak hanya puasa fisik saja. Makna umum dan khusus dari hadits telah menunjukkan apa yang telah kami sampaikan, demikian juga bahwa pendapat para ulama juga telah menjelaskannya.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
رواه البخاري 1804
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya”. (HR. Bukhari: 1804)
Dalam hadits lainnya disebutkan:
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ
رواه أحمد، رقم 8693
“Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja, dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. Ahmad: 8693 dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban: 8/257 dan Syeikh Albani dalam Shahih Targhib: 1/262)
Para sahabat dan genarasi terdahulu dari umat ini mereka telah bersemangat untuk menjadikan puasa mereka menjadi pensuci diri dan fisik mereka, dan menjadi pembersih dari maksiat dan dosa.
Umar bin Khattab –radhiyallahu ‘anhu- telah berkata:
“Puasa itu tidak hanya dari makan dan minum saja , akan tetapi juga (puasa) dari kedustaan, kebatilan dan kesia-siaan”.
Jabir bin Abdillah Al Anshori berkata:
“Jika kamu berpuasa, maka hendaklah berpuasa juga pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari kedustaan dan dosa. Dan jauhilah menyakiti pembantu, jadikanlah hari berpuasamu penuh ketundukan dan ketenangan, dan janganlah kamu jadikan hari fitri dan hari puasamu sama saja”.
Dari Hafshah binti Sirin –beliau adalah wanita alim dari kalangan tabiin- berkata:
“Puasa itu laksana benteng, selama pelakunya tidak merusaknya, dan perusaknya adalah ghibah”.
Dari Maimun bin Mahran berkata:
“Puasa yang paling mudah adalah meninggalkan makanan dan minuman”.
Beberapa riwayat di atas telah disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla: 4/308
Setelah ini kami tidak heran kalau ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa puasa orang yang terjerumus ke dalam kemaksiatan adalah batal, meskipun pendapat yang benar adalah tidak membatalkan puasa, namun bisa dipastikan ketidaksempurnaan puasanya dan menyimpang dari hakekat puasanya.
Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata:
“Ghibah itu membahayakan puasa. Telah dikisahkan dari ‘Aisyah dan menjadi pendapat Imam Auza’i juga berakata: “Sungguh ghibah itu membatalkan puasa, dan wajib mengqadha puasa pada hari tersebut.”
Ibnu Hazm telah berlebihan dengan berkata: “Setiap maksiat yang sengaja dilakukan oleh orang yang berpuasa membatalkan puasanya jika dia mengingat puasanya, baik berupa perbuatan maupun perkataan; berdasarkan keumuman sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:
فلا يرفث ولا يجهل
“Tidak ada perkataan kotor dan bodoh”.
Dan berdasarkan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- lainnya:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh jika dia meninggalkan makan dan minumnya”.
(Fathul Baari: 4/104)
Syeikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Adapun hal-hal yang diwajibkan kepada kita untuk berpuasa adalah –bisa jadi kalian akan merasa aneh jika saya mengatakan- : “Sungguh yang diwajibkan kepada kita untuk berpuasa darinya adalah puasa dari kemaksiatan, manusia wajib berpuasa dari seluruh kemaksiatan; karena inilah yang menjadi tujuan awal berpuasa, berdasarkan firman Allah –Tabaraka wa Ta’ala-:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
سورة البقرة: 183
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al Baqarah: 183)
Dia Allah tidak mengatakan: “Agar kalian merasa lapar !”, atau “Agar kalian merasa haus !”, atau “Agar kalian menahan diri dari (menggauli) istri !”, tidak; Dia berkata: “Agar kalian bertakwa”. Inilah tujuan utama dari puasa, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah merealisasikan hal itu dan menguatkan dengan sabdanya:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh jika dia meninggalkan makan dan minumnya”.
Jadi, bahwa manusia berpuasa dari kemaksiatan kepada Allah –‘azza wa jalla- merupakan puasa yang sebenarnya, adapun puasa yang dzahir adalah puasa dari semua yang membatalkan puasa. Menahan diri dari semua yang membatalkan puasa dalam rangka beribadah kepada Allah dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari, berdasarkan firman-Nya:
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْل
سورة البقرة: 187
“Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”. (QS. Al Baqarah: 187)
Inilah puasa yang kami katakan sebagai puasa zahir (fisik), puasanya tubuh saja. Adapun puasanya hati adalah tujuan yang utama yaitu puasa dari seluruh kemaksiatan kepada Allah –‘Azza wa Jalla-.
Atas dasar inilah maka, barangsiapa yang berpuasa dengan puasa zahir fisik saja, namun dia tidak berpuasa hati, maka puasanya sangat kurang. Kami tidak mengatakan puasanya batal, akan tetapi yang kami katakan puasanya kurang, sebagaimana yang kami katakan tentang shalat.
Tujuan dari shalat adalah khusu’ dan merasa hina di hadapan Allah –‘Azza wa Jalla-, shalatnya hati sebelum shalatnya fisik. Namun jika seseorang shalat dengan fisiknya dan belum shalat dengan hatinya, seperti halnya jika hatinya berada di mana-mana, maka shalatnya sangat kurang, akan tetapi tetap sah secara zahir, sah tapi sangat kurang. Demikian juga berpuasa sangat kurang jika seseorang tidak berpuasa dari bermaksiat kepada Allah, akan tetapi tetap sah; karena ibadah di dunia dinilai secara zahir saja”. (Liqaat Al Bab Al Maftuh: 116/1)
Kedua:
Para ulama telah membagi kesabaran menjadi tiga bagian: Sabar dalam taat, sabar dari maksiat, dan sabar terhadap takdir. Puasa menggabungkan ketiga macam kesabaran.
Ibnu Rajab Al Hambali –rahimahullah- berkata:
“Dan bentuk kesabaran yang paling utama adalah puasa; karena puasa telah menggabungkan ketiga bentuk kesabaran tersebut; karena merupakan bentuk kesabaran dalam taat kepada Allah, sabar dari maksiat kepada Allah; karena seorang hamba meninggalkan syahwatnya karena Allah sementara jiwanya ada kecenderungan ke arah sana, oleh karenanya telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Allah –‘Azza wa Jalla- berfirman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Setiap amal bani Adam untuk dirinya, kecuali puasa karena puasa adalah milik-Ku dan Aku-lah yang akan memberinya balasan”.
Karena dia telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya karena Aku (kata Allah). Dan dalam puasa juga ada sabar terhadap takdir berupa kesulitan yang dialami orang yang berpuasa dengan rasa lapar dan hausnya” (Jami Ulum wal Hikam, no. 219)
Maka barangsiapa merealisasikan puasa sebagaimana yang telah disyari’atkan oleh Allah maka dia akan meraih pahala yang besar dari Allah –Tabaraka wa Ta’ala- dan cukuplah dengan firman-Nya:
إِنَّمَا يُوفَّى الصَّابِرونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَاب
سورة الزمر: 10
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (QS. Az Zumar: 10)
Ketiga:
Agar seorang muslim mampu menjaga puasanya dari kekurangan yang disebabkan oleh kemaksiatan, maka dia wajib merealisasikan kesabaran dari maksiat. Sebagian ulama berkata: “Sungguh kesabaran dari maksiat lebih besar dari kedua bentuk sabar lainnya; karena godaan keburukan banyak terjadi dalam kemaksiatan.”
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Di sini ada masalah yang diperbincangkan banyak orang, dari kedua bentuk sabar yang manakah yang lebih utama? Sabarnya seorang hamba dari maksiat atau kesabarannya dalam ketaatan? Sebagian kelompok menguatkan bahwa yang lebih utama adalah yang pertama, dengan alasan bahwa sabar dari maksiat merupakan tugas para shiddiqin (orang-orang yang jujur) sebagaimana pernyataan generasi salaf: “Perbuatan baik itu dilakukan oleh orang baik dan orang jahat, dan tidak ada yang mampu meninggalkan maksiat kecuali orang yang jujur”, mereka berkata: “Hal itu karena tuntutan kemaksiatan itu lebih dahsyat dari pada tuntutan untuk meninggalkan ketaatan. Tuntutan kemaksiatan itu kepada perkara yang nampak kasat mata dan diminati oleh nafsu dan dinikmatinya, sementara tuntutan untuk meninggalkan ketaatan adalah kemalasan, pengangguran, kehinaan, dan tidak diragukan lagi bahwa tuntutan kemaksiatan lebih kuat. Mereka berkata: “Karena tuntutan kemaksiatan itu berkumpul di dalamnya, tuntutan hawa nafsu, syetan, sebab-sebab dunia, kolega seseorang, keinginan menyerupai dan kecenderungan tabiat. Semua tuntutan ini menarik keinginan seorang hamba untuk melakukan maksiat. Jika semuanya berkumpul dan nampak di dalam hati, maka kesabaran yang mana yang lebih kuat menjawabnya, dan kalau bukan karena Allah yang menjadikannya sabar maka kesabaran tidak akan datang kepadanya.
Pendapat ini sebagaimana yang anda ketahui alasannya sangat kuat.
(Thoriq Al Hijratain: 414)
Sabar dari kemaksiatan akan muncul dari beberapa sebab, maka silahkan anda renungi, di dalamnya terdapat sifat detail tentang penyakit dan resep pengobatannya.
Ibnul Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Sabar dari kemaksiatan dapat tumbuh dari banyak sebab:
- Seorang hamba mengetahui keburukannya, kehinaannya, dan Allah telah mengharamkannya dan telah melarangnya untuk menjaga dari kehinaan, sebagaimana seorang ayah yang penyayang menjaga anaknya dari hal yang akan membahayakannya. Sebab inilah yang menjadikan orang yang berakal untuk meninggalkannya meskipun tidak dikaitkan dengan ancaman adzab.
- Rasa malu kepada Allah –subhanahu wa ta’ala-. Jika seorang hamba kapan saja mengetahui bahwa Allah sedang melihatnya, mengetahu kedudukan-Nya dalam dirinya, dan dia berada dalam jangkauan penglihatan dan pendengaran-Nya, maka dia akan merasa malu, malu kepada Tuhanya karena akan mengundang murka-Nya.
- Memelihara nikmat dan kebaikan-Nya yang anda rasakan, karena dosa itu akan mencabut nikmat dan itu bisa dipastikan. Tidaklah seorang hamba berbuat dosa kecuali akan hilang darinya nikmat dari Allah sesuai dengan kadar dosa tersebut, dan jika dia bertaubat dan kembali, maka kenikmatan tersebut akan kembali atau yang serupa dengannya. Dan jika dia tetap berada pada dosanya maka nikmat itu tidak akan kembali, dan dosa-dosa itu akan terus menghilangkan nikmat sampai kenikmatan akan dicabut semua. Allah –Ta’ala- berfirman:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS. Ar Ra’du: 11)
Nikmat terbesar adalah nikmat keimanan. Dosa zina, mencuri, minum-minuman keras, merampok, akan menghilangkan nikmat tersebut dan mencabutnya.
Sebagian generasi salaf mengatakan: “Saya telah melakukan dosa, maka aku dijauhkan dari qiyamullail selama satu tahun”
Sebagian lainnya mengatakan: “Saya telah melakukan dosa, maka aku dijauhkan dari memahami Al Qur’an”,
Terkait dengan hal ini dikatakan dalam sebait syair:
إِذَا كُنْتَ فِي نِعْمَةٍ فَارْعَهَا ... فَإِنَّ الْمَعَاصِي تُزِيلُ النِّعَم
“Jika kamu mesarakan kenikmatan maka peliharalah # karena kemaksiatan akan melenyapkannya”.
Intinya, kemaksiatan itu laksana api yang akan melumat kenikmatan, sebagaimana api melumat kayu bakar, kami berlindung kepada Allah dari hilangnya kenikmatan dari-Nya dan perubahan keselamatan dari-Nya.
- Takut kepada Allah, takut akan murka-Nya, hal ini akan kuat menancap dengan membenarkan janji dan ancaman-Nya, beriman kepada-Nya, kepada kitab-Nya, kepada Rasul-Nya. Sebab ini akan menguat dengan ilmu dan keyakinan dan akan lemah dengan melemahnya keduanya.
Allah –Ta’ala- berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (QS. Fathir: 28)
Sebagian generasi salaf berkata: “Cukuplah ilmu itu dengan takut kepada Allah dan merasa tertipu dengan Allah adalah kebodohan”.
- Cinta kepada Allah, inilah yang menjadi sebab terkuat hadirnya sifat sabar untuk tidak menyimpang dari ajaran-Nya dan bermaksiat kepada-Nya. Karena seorang pencinta akan mentaati orang yang dicintainya. Dan setiap kali kerajaan cinta menguat di dalam hati, maka tuntutannya untuk taat dan meninggalkan maksiat kepada-Nya akan lebih kuat. Sungguh kemaksiatan dan penyimpangan itu terjadi karena lemahnya cinta dan kerajaannya. Sangat berbeda antara seseorang yang enggan untuk melanggar aturan tuannya karena takut kepada cambuk dan sanksinya dan seseorang yang tidak mau melanggar aturan karena cintanya kepada tuannya.
- Karena kemuliaan jiwa, kebersihan, keutamaannya dan menjaga diri dari memilih sebab-sebab yang akan menurunkan derajatnya, merendahkan kedudukannya, menghinakannya, dan menyamakannya dengan orang-orang rendahan.
- Karena kuatnya pengetahuan akan buruknya dampak kemaksiatan dan mara bahaya yang akan muncul setelahnya, seperti; hitamnya wajah, gelap dan sempitnya hati, kegalauannya, sedih, sakit, terbelenggu, kegundahan yang sangat, bercerai-berai, lemah di hadapan musuhnya, jauh dari hiasannya, kebingungan dalam urusannya, penolongnya akan berlepas tangan darinya, menjauh dari musuhnya yang nyata, ilmu yang sebelumnya sudah siap menjadi jauh, lupa dengan apa yang sudah diraih atau hafalannya menjadi lemah, dihinggapi penyakit dan bisa jadi akan menjadikannya mati; karena dosa-dosa itu akan mematikan hati.
Intinya, bahwa dampak maksiat yang buruk itu lebih banyak dari apa yang diperkirakan oleh seorang hamba, maka kebaikan dunia dan akhirat dengan memenuhinya dengan taat kepada Allah, sedangkan keburukan dunia dan akhirat dengan memenuhinya dengan maksiat kepada Allah.
Pada sebagian atsar Allah –subhanahu wa ta’ala- berfirman: “Barangsiapa yang taat kepada-Ku, maka dia akan sengsara dengan taat kepada-Ku, dan Barangsiapa yang durhaka kepada-Ku, maka dia akan bahagia dengan maksiat-Ku”.
- Karena pendeknya angan-angan, dan pengetahuannya bahwa dia akan cepat pindah (dari dunia ke akhirat). Laksana seorang musafir yang telah memasuki sebuah desa namun bersegera ingin keluar darinya, atau seperti orang yang berkendara yang bernaung di bawah pohon lalu pergi dan meninggalkannya. Karena dia mengetahui kedudukannya yang rendah dan cepat sirna, dia bersungguh-sungguh untuk meninggalkan apa yang akan memberatkan, membahayakan dan tidak bermanfaat baginya. Dia juga bersungguh-sungguh untuk pindah dengan kebaikan yang ada di hadapannya. Tidak ada yang lebih bermanfaat bagi seorang hamba kecuali pendeknya angan-angan, dan tidak ada yang lebih membahayakan kecuali mengulur-ngulur dan panjang angan-angan.
- Menghindari berlebihan dalam hal makan, minum, pakaian, tidur, berkumpul dengan banyak orang. Kuatnya dorongan kepada maksiat muncul karena banyak hal-hal yang berlebihan. Dia akan menuntut alokasi waktu sehingga yang mubah pun menjadi sempit dan beralih kepada yang haram. Sesuatu yang paling membahayakan bagi seorang hamba adalah menganggur, waktu lowong. Karena jiwa itu jangan dibiarkan diam, karena kalau tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka ia akan sibuk dengan hal-hal yang membahayakan.
- Yang mampu menggabungkan semua sebab-sebab tersebut adalah bersemayamnya pohon keimanan di dalam hati. Maka seorang hamba mampu bersabar dari kemaksiatan tergantung kekuatan imannya, setiap kali imannya lebih kuat, maka kesabarannya lebih sempurna. Jika keimanannya lemah maka lemah pula kesabarannya.
Barangsiapa yang keimanannya telah meliputi hatinya dengan penjagaan dan pengawasan Allah kepadanya, dia akan mengharamkan apa yang telah Allah haramkan kepadanya, membenci pelakunya karena Allah. Keimanannya juga telah merasakan adanya pahala, siksa, surga dan neraka. Maka ia akan menahan diri untuk tidak melakukan hal tersebut sesuai dengan ilmu yang telah diketahuinya.
Barangsiapa yang mengira bahwa dia kuat meninggalkan penyimpangan dan maksiat tanpa iman yang kuat dan kokoh, maka dia keliru. Jika cahaya iman menguat di dalam hati dan menerangi semua arah dan cahayanya pun telah menyebar ke seluruh penjuru, maka cahaya tersebut akan menyebar ke seluruh anggota tubuh. Maka mereka akan segera merespon dengan cepat kepada penyeru keimanan, dan merasa terikat untuk taat dan tunduk tidak merasa berat dan benci. Bahkan mereka merasa senang dengan ajakan untuk itu, sebagaimana seorang laki-laki merasa bahagia dengan ajakan kekasihnya yang telah berbuat baik kepadanya untuk meraih kemuliaannya. Maka setiap waktu dia akan menunggu-nunggu penyeru keimanan tersebut, bersiap untuk menepatinya, dan Allah telah mengkhususkan rahamat-Nya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Pemilik keutamaan yang besar.
(Ringkasan dari Thariq Al Hijratain: 408 – 414)
Yang diminta dari seorang muslim adalah agar ia mengenali hakekat yang diinginkan oleh Allah dari ibadah puasa, dan mengetahui faktor pemicu kemaksiatan, sehingga ia akan menjauhinya, meninggalkannya, membencinya, dan apa yang telah kami nukil dari pernyataan Ibnul Qayyim menjelaskan masalah ini dan menjelaskan dengan sebaik-baik penjelasan.
Baca juga jawaban soal nomor: 12468
Wallahu A’lam