Ahad 21 Jumadits Tsani 1446 - 22 Desember 2024
Indonesian

Pada Saat Dia Menikah Dulu Yang Menjadi Walinya Adalah Saudara Laki-laki Ibunya. Apakah Dia Wajib Memperbarui Pernikahannya?

98546

Tanggal Tayang : 14-11-2016

Penampilan-penampilan : 22183

Pertanyaan

Saya seorang wanita yang telah menikah sejak tujuh tahun yang lalu dan saya telah memiliki tiga orang anak. Pertanyaan saya adalah, “Ayah dan ibuku telah berpisah sejak saya masih belia, dan saya tidak pernah melihat ayah saya melainkan hanya sekali saja seumur hidupku Ayah saya telah menikah lagi dengan perempuan yang tidak tinggal sekota dengan kami dan kami sama sekali tidak memiliki hubungan lagi dengannya. Oleh sebab itu ketika saya menikah maka yang menjadi wali saya adalah saudara laki-laki ibu saya, meski pada saat itu saya memiliki saudara lelaki akan tetapi dia enggan menjadi wali bagi saya. Saya baru mengetahui bahwa hal semacam ini tidak dibolehkan, dan bahwa pada kondisi ayah tidak ada maka wajib ada orang dekat lain yang menggantikan posisi ayah. Saya tidak mengetahui apakah pernikahan saya ini sah atukah batil? Apabila pernikahan ini batil – semoga Allah tidak mentaqdirkan yang demikian – maka apa yang harus saya lakukan sekarang padahal saya telah memiliki tiga orang anak?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama : 

Saudara laki-laki dari ibu tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan, karena yang berhak menjadi wali khusus dalam pernikahan adalah mereka yang masuk dalam ashobah. Mereka adalah; Ayah, kakek, anak kandung lelaki, saudara lelaki sekandung, anak lelaki dari saudara laki-laki (keponakan laki-laki) kemudian paman (saudara lelaki ayah) dan seterusnya. 

Ibnu Qudamah Rahimahullah mengungkapkan dalam kitabnya Al Mughni, ( 7/13 ): “Tidak sah perwaliyan selain Ashobah dari para kerabat, seperti saudara lelaki ibu, paman dari ibu, paman ibu, dan kakek atau ayah kandung ibu dan yang lainnya yang jalurnya bukan dari jalur bapak, yang demikian itu telah menjadi ketetapan imam Ahmad di beberapa tempat dan seperti ini pula pendapat Imam As Syafi’i, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam Abu Hanifah.” 

Kedua : 

Ayah adalah orang yang paling berhak menikahkan anak gadisnya dibanding yang lain, dan tidak menjadi gugur haknya dalam perwalian karena kelalaiannya dalam merawat anak-anaknya. Ketidakhadirannya dalam majelis akad, baik karena dia tinggal di luar daerah atau di luar negri, tidak menggugurkan perwaliannya atau haknya sebagai wali, kecuali apabila ketidakhadirannya sangat tidak memungkinkan seperti dia merantau di tempat yang sangat jauh dan tidak mungkin bisa hadir atau tidak ada alat komunikasi yang bisa dihubungi, atau tidak diketahui keberadaannya apakah dia masih hidup ataukah sudah meninggal, maka pada saat itu perwaliannya langsung berpindah kepada orang yang berhak menjadi wali setelahnya.

Dan wajib atas kalian memberitahukan kepada orang yang melamar agar dia menjadi wali dari akad nikah anda atau mewakilkan kepada orang yang mengatur proses akad nikah. Maka jika sang ayah enggan menjadi wali, maka perwalian langsung beralih kepada orang yang berhak setelahnya yaitu kakek, apabila dia masih ada.. Jika kakek sudah tidak ada atau sudah uzur maka perwalian beralih kepada saudara laki-laki apabila dia telah dewasa atau sudah baligh. Dan apabila tidak ada seorang pun dari Ashobah yang berhak menjadi wali, maka perwalian secara otomatis kepada wali hakim atau Qadi. 

Ketiga : 

Berdasarkan hal tersebut, maka pernikahan anda telah berlangsung dengan tanpa wali, dan pernikahan dengan tanpa wali tidak sah menurut jumhur ulama. Akan tetapi dianggap sah menurut pendapat Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Jika keputusan dan ketentuan di negara anda mengambil madzhab Imam Abu Hanifah, dan mensahkan pernikahan dengan tanpa wali, maka pernikahan anda dapat berlanjut dan tidak menjadi batal. Akan tetapi apabila ketentuan di negara anda tidak atas dasar madzhab Abu Hanifah, maka akad nikah yang telah anda lakukan dianggap tidak sah. Kemudian apabila saat ini kalian berdua saling mencintai satu sama-lain, maka hendaknya anda memperbarui akad nikah dengan menghadirkan wali anda. 

Ibnu Qudamah Al Maqdisi Rahimahullah mengungkapkan dalam kitab beliau Al Mughni, 7/6,  “Setelah ditetapkan bahwa pernikahan tidak dianggap sah dengan tanpa wali, akan tetapi jika Hakim menetapkan bahwa pernikahan tersebut sah, maka tidak diperkenankan membatalkannya karena pada dasarnya di dalam masalah tersebut terdapat perbedaan pendapat ulama, dan hadits-hadits yang terdapat dan berkaitan dengan masalah tersebut ada kemungkinan mengandung multi persepsi, karena sebagian ulama ada yang menganggapnya dhaif.” 

Syekh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah pernah ditanya tentang seorang gadis yang dinikahkan oleh paman dari ibunya (saudara laki-laki ibu), lalu beliau menjawab, “Akad tersebut tidak sah, karena tidak adanya seorang wali, padahal wujud seorang wali merupakan salah satu syarat sahnya sebuah pernikahan, sedangkan saudara laki-laki ibu bukan termasuk wali dalm nikah. Maka jika wali yang sah tidak ada, pernikahan menjadi batal. Ini merupakan pendapat Jumhur Ulama dan amat terkenal dikalangan Ulama madzhab. Hal tersebut berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al ‘Asy’ari bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:

لا نكاح إلا بولي (رواه الخمسة وصححه ابن المديني)

“Tidak sah pernikahan dengan tanpa adanya wali.” (Diriwayatkan oleh lima Imam ahlul Hadits dan disahihkan oleh ibnu Al Madini) 

Dari Aisyah Radliyallahu Anha dia berkata : Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: 

أيما امرأة أنكحت نفسها بغير إذن وليها فنكاحها باطل ، باطل ، باطل ، فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها ، فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له (رواه أحمد وأبو داود والترمذي وصححه)

“Siapa saja wanita yang menikahkan dirinya sendiri dengan tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil, batil, batil, maka jika suaminya telah menggaulinya maka bagi wanita tersebut mahar dari kehormatan yang telah diberikannya dan dihalalkan baginya, dan jika ada perselisihan dari wali keluarga wanita, maka penguasa atau hakimlah yang berhak menjadi wali bagi wanita yang tidak ada wali baginya.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dan At Turmudzi dan dia telah menshahihkannya) 

Dan apabila dalam pernikahan tersebut terdapat tuduhan penipuan atau pengaduan dari pihak suami yaitu sang suami merasa bahwa dirinya telah ditipu dan dibohongi, maka tidak ada alasan untuk tidak direspon pengaduan tersebut. Apabila masing-masing dari suami istri ingin melanjutkan pernikahannya maka hendaklah mereka melaksanakan akad pernikahan lagi yang baru. Dalam hal ini tidak diperlukan adanya ‘Iddah karena pada dasarnya air (sperma) yang sudah masuk kedalam Rahim sang istri adalah airnya suaminya sendiri. Jika masing-masing dari keduanya atau salah satu dari keduanya sudah tidak lagi ingin melanjutkan pernikahannya, maka pernikahan tersebut harus dipisahkan. Hendaklah sang suami menceraikan istrinya karena pada intinya pernikahan tersebut adalah fasad atau batil yang harus dilakukan perceraian. Adapun jika salah satu dari keduanya enggan berpisah maka dalam hal ini kewajiban seorang hakim yang mengharuskan Fasakh bagi keduanya,”   (Fatawa Syekh Muhammad bin Ibrahim, 10/73).

Wallahu A’lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam