Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Alhamdulillah.
Pertama:
Akad nikah yang dilakukan dengan rukun nikah yang sempurna, kedua mempelai yang terbebas dari halangan untuk menikah, adanya ijab dari wali mempelai wanita atau yang mewakilinya, adanya kabul dari mempelai laki-laki atau yang mewakilinya, syarat sahnya nikah juga terpenuhi seperti; penentuan kedua mempelai dengan isyarat atau dengan menyebutkan namanya, keduanya menyatakan setuju menjadi pasangan suami istri, disaksikan oleh kedua orang saksi, maka pernikahan tersebut dianggap sah, dan wanita tersebut telah menjadi istri yang sah bagi laki-laki tersebut sesuai dengan syariat, meskipun belum tercatat resmi di pencatan sipil di negara tersebut. Telah dijelaskan sebelumnya dengan rinci dalam fatwa nomor: 2127.
Akan tetapi pencatatan resmi tersebut tidak bisa diremehkan, karena tanpanya akan menjadikan hak-hak terabaikan, akan selalu ada rasa curiga dan keragu-raguan, sangat rentan terjadi penipuan, apalagi dengan tingkat keagamaan yang lemah, rusaknya rasa tanggung jawab dan perasaan banyak orang.
Pencatatan resmi itu bukan menjadi syarat sah pernikahan, akan tetapi untuk menjaga hak dan menyelesaikan sengketa.
Bisa dibaca ulang tentang pencatatan resmi akad nikah pada zaman sekarang ini pada fatwa nomor: 129851.
Sedangkan anda –wahai penanya- telah menyebutkan bahwa akad nikah telah dilakukan dengan disaksikan oleh para saksi, jika wali anda yang telah mengakad-nikahkan, maka akad nikah tersebut adalah sah, namun jika anda sendiri yang menikahkan tanpa adanya wali anda, maka akad nikah tersebut tidak sah menurut mazhab mayoritas ulama dan dibutuhkan pembaharuan akad dengan adanya wali.
Yang penting adalah sebaiknya anda tidak berpisah dengan suami anda karena akad nikahnya belum dicatat secara resmi, akan tetapi menjadi kewajiban bagi anda berdua agar menjaga akad nikah yang sah tersebut disertai usaha untuk meresmikannya di pencatatan sipil. Sebaiknya anda berdua segera melengkapi syarat-syarat pencatatan resmi tersebut setelah akad nikahnya diperbaharui jika pada akad sebelumnya tidak ada walinya.
Kedua:
Adapun hukum talak secara khusus –jika akad nikahnya sah- bagi seorang wanita tidak boleh meminta talak kepada suaminya tanpa ada sebab yang dibenarkan oleh syari’at, seperti; bahwa suaminya tidak kuat agamanya, akhlaknya buruk, berlaku zalim kepadanya. Jika dia meminta talak kepada suaminya tanpa sebab yang dibenarkan, maka dia telah berlaku buruk dan menjerumuskan dirinya pada ancaman yang keras, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (1187), Abu Daud (2226) dan Ibnu Majah (2055) dari Tsauban –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Rasulullah –sallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
)أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ ) والحديث صححه الألباني في " صحيح الترمذي " .
“Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada masalah apapun, maka diharamkan baginya aroma surga”. (Hadits ini dishahihkan oleh Albani dalam Shahih Tirmidzi)
Adapun bagi seorang laki-laki: bahwa talak menjadi salah satu haknya pada lima kondisi, setiap kondisi memiliki hukumnya sendiri, dan telah dijelaskan sebelumnya pada fatwa nomor: 146949.
Kami juga telah menjelaskan pada fatwa tersebut, bahwa hukum asal dari talak adalah dilarang, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah –rahimahullah- dalam “Majmu’ Fatawa” (32/293):
“Hukum asal dari talak adalah dilarang, namun dibolehkan sesuai kebutuhan”.
Syekh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:
“Hukum asal dari talak adalah makruh (dibenci) dan pendapat lain mengatakan bahwa hukum asalnya adalah haram (dan pendapat ini ada benarnya), hal itu sesuai dengan firman Alloh –tabaraka wa ta’ala- kepada mereka yang meng-ila’ istri-istri mereka:
( فإن فاءوا فإن الله غفور رحيم * وإن عزموا الطلاق فإن الله سميع عليم )
“Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. al Baqarah: 226-227)
Alloh menutup ayat di atas dengan kedua nama-Nya:
( سميع عليم )
“Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Jika mereka berazam untuk talak dapat dirasakan bahwa Alloh –azza wa jalla- sebenarnya tidak menyukainya; karena kembali kepada istrinya (rujuk) setelah sebelumnya bersumpah untuk tidak menggaulinya, Alloh berfirman:
( فإن الله غفور رحيم )
“Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Maka hal ini menjadi jelas bahwa Alloh –Ta’ala- mencintai orang yang merujuk kembali istrinya yang di-ila’.
Adapun bagi mereka yang berazam untuk talak dapat dirasakan bahwa Allah tidak menyukai hal itu, berdasarkan firman-Nya:
)فإن الله سميع عليم )
“Maka sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Diriwayatkan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa beliau bersabda:
( أبغض الحلال إلى الله الطلاق )
“Perkara halal yang paling dibenci oleh Alloh adalah talak”.
Hadits di atas tidak shahih, akan tetapi maknanya shahih, bahwa Allah membenci talak, akan tetapi Dia tidak mengharamkannya kepada para hamba-Nya untuk memberikan keleluasaan kepada mereka. Jika ada sebab biasa atau sebab yang dibenarkan oleh syariat, maka hal itu dibolehkan dalam rangka untuk mempertahankan eksistensi wanita tersebut, jika wanita tersebut dipertahankan akan menyebabkan pelanggaran syariat yang sulit untuk dihindari kecuali setelah menceraikannya maka suaminya hendaknya mentalaknya, sama halnya jika seorang wanita kurang memahami agamanya, kurang bisa menjaga kesuciannya, dan suaminya tidak kuasa untuk memperbaikinya, maka dalam hal ini kami berpendapat: “Lebih utama agar dia mentalaknya”. Sedangkan jika tidak ada sebab syar’i atau sebab biasa (duniawi, pen), maka yang lebih utama agar tidak mentalaknya, bahkan mentalaknya pada saat itu menjadi perkara yang dibenci”. (Asilah al Bab al Maftuh / Ibnu Utsaimin: 113), bisa dirujuk juga fatwa nomor: 12902.
Ketiga:
Jika akad nikah itu telah dilaksanakan tanpa adanya wali, lalu suami istri keduanya menginginkan perceraian, maka suami tersebut juga menjatuhkan talak juga kepada istrinya, meskipun kami menghukumi pernikahan tersebut tidak sah; karena kedua mempelai telah mengklaim bahwa pernikahannya sah. Para ulama juga menggariskan talak itu tetap harus diucapkan pada kondisi yang lebih nyata dan lebih jelas kerusakan akadnya, seperti pernikahan tanpa wali dan saksi, sebagaimana yang disebutkan di dalam “Mathalib Ulin Nuha fi Syarhi Ghayatil Muntaha” (5/129):
“Jika seorang suami belum menggaulinya pada pernikahan mut’ah, atau pernikahan yang kami hukumi seperti mut’ah, seperti halnya pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali dan para saksi, maka diwajibkan bagi suami untuk mentalaknya, dan jika dia tidak mentalaknya, maka hakimlah yang membatalkan pernikahannya dan dipisahkan antara keduanya; karena termasuk pernikahan yang mengandung perbedaan pendapat”.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata dalam Fatawa Kubro li Ibni Taimiyah (3/84): “Talak itu juga bisa dilakukan pada pernikahan yang masih terdapat perbedaan pendapat, jika dia meyakini sahnya pernikahan tersebut”.
Keempat:
Yang kami nasehatkan dalam kondisi seperti ini adalah tidak menjatuhkan talak dan berusaha untuk melegalkan pernikahannya di pencatan sipil negara, namun jika tidak bisa untuk diresmikan, dan pernikahan seperti itu akan menambah beban bagi suami istri serta akan menjadi penghalang untuk merealisasikan kemaslahatan bersama sebagai suami istri, maka pada kondisi seperti itu tidak masalah untuk menjatuhkan talak.
Kelima:
Tidak ada pengaruhnya adanya perbedaan kebangsaan dalam masalah pernikahan dan talak, selama pernikahan itu telah dilaksanakan, dan diantara konsekuensi hukumnya adalah memungkinkan untuk terjadi perceraian, baik suami istri tersebut berkebangsaan sama atau berbeda.
Wallahu a’lam.