Senin 24 Jumadil Ula 1446 - 25 November 2024
Indonesian

Hukum Menggugurkan Janin Sebelum 40 Hari Agar Tidak Hamil Berturut-Turut

Pertanyaan

Seorang wanita diketahui telah hamil dua atau tiga minggu, sementara dia masih menyusui anaknya pada bulan keempat. Apakah dia dibolehkan menggugugurkan kandungannya, karena hal itu dapat menyebabkan sangat payah (karena hamil dua kali berurutan dengan selang empat bulan) kemudian anaknya masih masa menyusui sehingga mengharuskannya berhenti menyusui  selama masa kehamilan.

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Pertama:

Para ulama fikih berbeda pendapat terkait hukum menggugurkan kandungan sebelum 40 hari. Sekelompok ulama dari kalangan mazhab Hanfiyah dan Syafiiyyah dan mazhab dalam Hanabilah berpendapat membolehkan.

Ibnu Hamam rahimahullah dalam kitab Fathul Qodir, (3/401) mengatakan, “Apakah dibolehkan menggugurkan setelah hamil? Dibolehkan (menggugurkan) selagi belum berbentuk (manusia) apapun.”

Kemudian di bagian lain mereka berkata, “Hal itu (terbentuknya janin dalam bentuk manusia) tidak terjadi kecuali setelah 120 hari. Berarti maknanya mereka menganggap bahwa terbentuknya janin dalam bentuk manusia, setelah ditiup ruhnya. Jika ruh belum ditiup berarti janin dianggap belum terbentuk. Ini merupakan suatu kekeliruan. Karena berdasarkan persaksian, pembentukan janin dalam bentuk manusia  dapat terjadi sebelum masa itu.” 

Ar-Romli rahimahullah mengatakan dalam Nihayatul Muhtaj, (8/443), “Pendapat yang kuat adalah diharamkan apabila telah ditiup ruhnya secara umum dan dibolehkan sebelumnya.”

Dalam kitab ‘Hasyiyah Qolyuby (4/160), “Ya dibolehkan menggugurkannya meskipun dengan obat sebelum ruhnya ditiup, di dalamnya ada perbedaan menurut Al-Gozali.”

Sementara Mardawai rahimahullah dalam kitab Al-Inshaf, (1/386) mengatakan, “Dibolehkan minum obat untuk menggugurkan benih janin. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Wajiz dan disebutkan dalam Al-Furu. Ibnu Al-Jauzi dalam kitab Ahkamun-Nisa mengatakan, “Diharamkan.” Dalam kitab Al-Furu dikatakan, “Yang tampak dari perkataan Ibnu Aqil dalam kitab Al-Funun, dibolehkan menggugurkannya sebelum ditiupnya ruh di dalamnya,  Dan berkata, ‘Dia memiliki pandangan lain juga.”

Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Jami’ul Ulum Wal Hikam mengatakan, “Diriwayatkan dari Rifa’ah bin Rafi mengatakan, “Umar dan Ali serta Zubair dan Sa’ad duduk di sisiku dari kalangan para shahabat Rasulullah sallallahu’aliahi wa sallam, mereka sedang membincangkan masalah ‘azl (mengeluarakn sperma di luar vagina). Mereka mengatakan, “Tidak mengapa.” Ada seseorang mengatakan, “Mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pembunuhan kecil.” Ali mengatakan, ‘Tidak termasuk pembunuhan sampai melewati tujuh fase; Dari saripati tanah, kemudian air mani, kemudian segumpal darah, kemudian sekerat daging kemudian menjadi tulang belulang. Kemudian menjadi daging kemudian baru berbentuk makhluk lainnya.’ Umar mengatakan, ‘Anda benar, semoga Allah panjangkan umur anda.’” (HR. Ad-Daraquthni dalam kitab Al-Mu’talaf Wal Mukhtalaf)

Kemudian Ibnu Rajab mengatakan, “Rekan-rekan kami dengan tegas mengatakan, bahwa kalau janin telah menjadi segumpal darah, maka seorang wanita tidak dibolehkan menggugurkannya. Karena dia telah berupa anak. Berbeda kalau masih berupa benih pembuahan, belum berbentuk anak, boleh jadi gagal menjadi anak.”

Adapun ulama mazhab Maliki berpendapat tidak dibolehkan secara umum dan ini termasuk pendapat sebagian Hanafiyah dan sebagian Syafiiyyah dan sebagian Hanabilah. Ad-Dardir dalam kitab As-Syarhul Al-Kabir (2/266) mengatakan, “Tidak dibolehkan mengeluarkan sperma yang telah dibuahi dalam rahim meskipun sebelum empat puluh hari. Kalau telah ditiup ruh, maka diharamkan berdasarkan ijmak (konsensus).”

Dan di antara para ulama fikih ada yang memberi batasan dibolehkannya dengan adanya uzur (alasan). Silahkan lihat Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah (2/57).

Hai’ah Kibarul Ulama telah memutuskan; 

  1. Tidak dibolehkan menggugurkan kandungan dalam semua fase kecuali ada alasan syar’i dan dalam kontek yang sangat sempit sekali.
  2. Kalau kandungan masih dalam fase pertama, yaitu masa empat puluh hari, dimana dalam penggugurannya ada kemaslhatan syar’i, atau menghindari bahaya, maka dibolehkan menggugurkannya. Adapun kalau penggugurannya dalam masa ini karena khawatir kesulitan dalam mendidik anak-anaknya atau khawatir tidak mampu dalam biaya kehidupan dan pendidikannya atau karena masa depannya. Atau mencukupkan diri dengan yang anak yang ada dari suami istri, maka tidak dibolehkan.” Selesai dari Al-Fatawa Al-Jami’ah, (3/1055).

Terdapat dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, (21/450),

“Asalnya dalam masalah kehamilan seorang wanita tidak dibolehkan menggugurkannya pada semua fasenya kecuali kalau ada alasan syar’ai jika kehamilah itu masih berupa sperma yang baru dibuahi yaitu masih berumur empat puluh hari atau kurang, jika dalam penggugurannya ada kemaslahatan syar’i atau karena mencegah terjadinya bahaya yang akan terjadi pada sang ibu, maka dibolehkan menggugurkan dalam kondisi seperti ini. Hal itu tidak termasuk kekhwatiran kesulitan dalam mendidik anak-anaknya atau tidak mampuan atas biaya atau pendidikannya atau cukup dengan bilangan tertentu dari anak-anaknya dan alasan semisal itu yang tidak syar’i.

Kalau kehamilan lebih dari empat puluh hari, maka haram menggugurkannya. Karena setelah empat puluh hari menjadi segumpal darah yaitu permulaan pencipaan manusia. Maka tidak dibolehkan menggugurkannya setelah sampai pada fase ini sampai ada ketetapan dari komite dokter yang terpercaya kalau kelangsungan kehamilannya akan berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup ibunya. Dikhwatirkan terjadi kematian jika terus mengandungnya.”

Yang tampak, tidak mengapa menggugurkan kandungan dalam kasus yang ditanyakannya kalau hal itu ada bahaya yang akan terjadi pada ibunya dengan kehamilan yang terus menerus atau bahaya yang terjadi terhadap anak susuannya.

Wallahu a’lam

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam