Alhamdulillah.
Pertama:
Orang yang berhadats tidak boleh memegang mushaf tanpa penghalang, di dalam madzhab jumhur ahli fikih; berdasarkan yang tertera pada surat Amr bin Hazm yang telah ditulis oleh Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada penduduk Yaman, yang di dalamnya tertera:
ألا يمس القرآن إلا طاهر رواه مالك (468) وابن حبان (793) والبيهقي (1/87)
“Tidaklah ada yang menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang bersuci”. (HR. Malik: 468 , Ibnu Hibban: 793 dan Baihaqi: 1/87)
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata:
“Dan hadits ini telah dinyatakan shahih dengan kitab tersebut oleh sekelompok para imam tidak dari sisi sanadnya namun dari sisi keterkenalannya, Imam Syafi’i berkata di dalam kitab Risalah nya: “Mereka tidak menerima hadits ini sampai ditetapkan menurut mereka bahwa ia adalah tulisan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“.
Ibnu Abdil Barr berkata: “Ini adalah tulisan terkenal menurut ulama sejarah, apa yang di dalamnya diketahui menurut para ulama karena keterkenalannya tidak dibutuhkan sanad, karena hal itu lebih mirip dengan mutawatir pada saat diterima, karena manusia menerima dan mengenalnya”. Selesai. (At Talkhish Al habiir: 4/17 dan hadits ini telah dinyatakan shahih oleh Syeikh Albani di dalam Irwaul Ghalil: 1/158)
Kedua:
Sampul mushaf yang bersambung –yaitu; yang tertempel di mushaf dengan lem atau dengan dijahit...atau yang lainnya- mengambil mushaf tidak boleh menyentuhnya tanpa wudhu’, dan demikian juga ujung kertasnya.
Telah ada di dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (7/38):
“Jumhur ulama fikih telah berpendapat dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah bahwa dilarang bagi orang yang tidak berwudhu’ untuk menyentuh sampul mushaf yang bersambung, dan pinggirannya yang tidak ada tulisannya dari lembaran mushaf, dan sisi putih di antara baris yang ada, demikian juga termasuk lembaran yang kosong dari tulisan semuanya, hal itu karena ia mengikuti apa yang tertulis dan menjadi hal sakral, dan kesakralan sesuatu itu mengikutinya dan mengambil hukumnya. Dan sebagian Hanafiyah, Syafi’iyyah telah berpendapat bahwa hal itu dibolehkan”. Selesai.
Adapun sampul yang terpisah dari mushaf, di mana ia lebih sebagai kantong yang dimasukkan dan dikeluarkan mushaf darinya, maka tidak masalah menyentuhnya tanpa berwudhu’, meskipun ada mushaf di dalamnya.
Maka dibolehkan menyentuh mushaf dengan penghalang yang terpisah, seperti kantong yang di simpan mushaf di dalamnya, dan sarung tangan dan yang serupa dengannya.
Disebutkan di dalam Kasyful Qana’ (1/135):
“Bagi orang yang berhadats membawa mushaf dan apa yang terkait dengannya, termasuk sampulnya, yaitu; kantongnya dengan tanpa menyentunya, karena larangan ini telah ada tentang menyentuh, dan membawa bukan termasuk menyentuh, ia bisa membuka halamannya dengan lengan bajunya atau dengan dahan kayu dan yang serupa dengannya, seperti kain lap dan kayu; karenanya ia tidak termasuk menyentuhnya. Ia boleh menyentuh mushaf dari belakang dengan pembatas sebagaimana yang telah lalu”. Selesai dengan diedit.
Ketiga:
Dibolehkan bagi yang berhadats –hadats kecil atau besar- untuk menyentuh kitab-kitab tafsir, menurut pendapat jumhur ulama fikih, kecuali sebagian dari mereka memberikan syarat bahwa tafsir yang ada di dalamnya hendaknya lebih banyak dari Al Qur’annya, dan sebagian lainya ada yang tidak mensyaratkan hal itu.
Telah ada di dalam Al Musu’ah Al Fiqhiyyah (13/97):
“Dibolehkan menurut jumhur ulama fikih bagi orang berhadats untuk menyentuh, membawa dan mengkaji kitab-kitab tafsir, meskipun di dalamnya terdapat ayat-ayat Al Qur’an, meskipun ia dalam kondisi junub, mereka berkata: “Karena tujuan dari tafsir ini adalah makna Al Qur’an, bukan membacanya, maka tidak berlaku kepadanya hukum AL Qur’an”.
Kalangan Syafi’iyyah telah menyatakan dengan jelas bahwa bolehnya ini dengan syarat tafsirnya lebih banyak dari Al Qur’an, karena tidak ada unsur merusak keagungannya pada saat itu, dan tidak juga tidak bermakna mushaf. Tapi Hanafiyah berbeda dalam hal ini, mereka mewajibkan berwudhu’ untuk menyentuh kitab-kitab tafsir”. Selesai.
Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Dan adapun kitab-kitab tafsir maka boleh disentuh (tanpa wudhu’) ; karena dianggap sebagai tafsirannya, dan ayat-ayat yang ada di dalamnya lebih sedikit dari tafsirnya yang ada di dalamnya.
Dan yang mendasari hal ini adalah Nabi –shalallallahu ‘alaihi wa sallam- menulis surat kepada orang-orang kafir, di dalamnya ada ayat-ayat Al Qur’an, maka hal itu menunjukkan bahwa hukumnya menurut kebanyakan dan mayoritas. Adapun jika tafsir dan Al Qur’annya sama seimbang, maka jika yang dibolehkan bertemu dengan melarangnya, dan ia tidak bisa membedakan salah satu dari keduanya dengan penguat, maka dominan dihukumi sebagai Al Qur’an.
Dan jika tafsirnya lebih banyak, meskipun dengan jumlah sedikit maka diberikan hukum sebagai tafsir”. Selesai. (As Syarhu Al Mumti’: 1/267)
Dan telah ada di dalam Fatawa Lajnah Daimah: (4/136): “Dibolehkan menterjemah makna Al Qur’an dengan bahasa selain bahasa Arab, sebagaimana dibolehkan mentafsiri maknanya, dengan bahasa Arab, dan hal itu menjadi penjelas untuk makna yang telah difahami oleh si penerjemah Al Qur’an, dan tidak bisa disebut sebagai Al Qur’an.
Dan karennya seseorang boleh menyentuh terjemah makna Al Qur’an dengan selain bahasa Arab dan tafsirnya dengan bahasa Arab, sementara ia dalam kondisi belum wudhu’”. Selesai.
Wallahu A’lam