Jum'ah 21 Jumadil Ula 1446 - 22 November 2024
Indonesian

TIDAK MENGAPA BERDOA 'YA ALLAH TERIMALAH AMAL SALEH DARI KAMI'

146421

Tanggal Tayang : 25-08-2014

Penampilan-penampilan : 5302

Pertanyaan

Saya mendengar seorang syekh berkata, "Tidak boleh berdoa, 'Ya Allah terimalah amal saleh dari kami'. Karena hal itu maknanya Allah akan menerima amal yang buruk, padahal Allah Ta'ala Maha baik, tidak menerima kecuali yang baik. Yang benar adalah berdoa 'Ya Allah, terimalah amal kami.' Apakah hal ini benar?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Tidak mengapa berdoa dengan doa, 'Ya Allah, teimalah amal saleh dari kami.' Tidak ada larangan syariat dalam doa tersebut. Kandungan dan teks doa tersebut adalah benar dan diterima. Karena Allah Azza wa Jalla menerima 'amal yang saleh' dan tidak menerima 'amal yang buruk' 

Firman Allah Ta'ala,

لِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ (سورة النور: 38)

38. (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. (QS. An-Nur: 38)

Allah Ta'ala juga berfirman,

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا  (سورة الأحقاف : 16)

"Mereka Itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-Ahqaf: 16)

Al-Allamah As-Sa'dy berkata, 'Yang dimaksud dengan 'amal yang baik yang telah mereka kerjakan'  adalah amal yang baik dan saleh. Karena itu adalah perbuatan yang paling baik. Sebab merekapun melakukan perbuatan-perbuatan mubah (dibolehkan) dan pahala tidak diberikan kecuali sebagai balasan untuk perbuatan yang baik. Sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.." (QS. Az-Zumar: 35)

Kemudian, orang yang memohon kepada Allah agar diterima darinya amal yang saleh, tidak terbayang dalam pikirannya bahwa dirinya meminta kepada Allah juga agar tidak diterima darinya amal yang buruk. Dia menyebutkan kata 'saleh' hanyalah untuk menjelaskan sebab diterimanya sebuah amal, yaitu kesalehan sebuah amal. Ini merupakan gaya bahasa yang yang dibenarkan. Para ulama menyebutnya sebagai sifat penyingkap. Perbandingannya adalah firman Allah Ta'ala,

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ (سورة المؤمنون: 117)

"Dan Barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, Padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung." (QS. Al-Mu'minun: 117)

Al-Allamah Muhammad Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata, 'Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama bahwa firmannya, 'Tidak ada satupun dalilnya baginya tentang itu' tidak memiliki pengertian kebalikannya. Maka tidak benar seseorang jika mengatakan, 'Jika seseorang yang beribadah bersama-Nya kepada Tuhan yang lain dan dia memiliki dalil, maka tidak mengapa baginya, karena mustahil mendapatkan dalil yang membenarkan adanya penghambaan kepada Tuhan selain Allah. Justeru dalil yang pasti dan sangat banyak menunjukkan bahwa hanya Dia Allah satu-satunya yang disembah, tidak mungkin sama sekali terdapat dalil tentang penyembahan kepada selain-Nya.

Telah dinyatakan dalam ilmu Ushul bahwa penghalang diberlakukannya pemahaman kebalikannya adalah apabila sebuah sifat disebutkan secara khusus karena sesuai dengan kenyataan. Maka nash disebutkan dengan menjelaskan sebuah sifat yang sesuai kenyataan agar hukumnya dapat diterapkan. Maka penyebutannya bukan untuk mengeluarkan pemahaman yang terkandung dibalik redaksi, tapi sifat tersebut dikhususkan penyebutannya karena tepat dengan kenyataannya.

Contohnya dalam Al-Quran adalha ayat ini. Karena firman Allah Ta'ala, ''Tidak ada satupun dalilnya baginya tentang itu' merupakan sifat yang sesuai kenyataan, karena mereka beribadah kepada selain-Nya tanpa dalil. Maka sifat itu disebutkan karena sesuai kenyataan, bukan untuk mengeluarkan pemahaman dibalik kata yang terucap.

Contohnya dalam Al-Quran juga adalah firman Allah Ta'ala,

لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ  (سورة آل عمران: 28)

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin."  (QS. Ali Imran: 28)

Karena ayat ini turun terhadap satu kaum yang taat kepada Yahudi, bukan kaum mukminin. Maka firman Allah Ta'ala, 'Dengan meninggalkan orang-orang mukmin' adalah untuk menyebutkan kesesuaian dengan kenyataan, bukan untuk mengeluarkan pemahaman yang terkandung dibalik kata. Sebagai diketahui bahwa orang mukmin yang menjadikan orang kafir sebagai wali adalah dilarang dalam  semua kondisi (apakah meninggalkan kaum mukminin atau tidak)."

Adh-Wa'ul Bayan, 5/364. 

Kesimpulannya, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk berbicara tentang agama Allah Azza wa Jalla tanpa ilmu dan pemahaman. Siapa dia memaksakan untuk menyampaikan sesuatu yang tidak dia ketahui ilmunya, akibatnya menimbulkan kebingungan di tengah kaum muslimin. Hal itu tidak dibenarkan dalam syariat. Yang diwajibkan adalah berpegang teguh dengan Al-Quran dan Sunnah, mengajarkan perkara-perkara yang telah jelas hukumnya kepada masyarakat serta meninggalkan selainnya dan menyerahkannya kepada para ulama yang mumpuni.

Para ulama hingga kini masih menggunakan doa tersebut dalam doa dan khutbah mereka. Di antaranya adalah doa Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Beliau berdoa; "Kami mohon kepada-Mu agar menerima amal saleh kami dan mengampuni keburukan amal kami."

Dikutip dari situs beliau rahimahullah di link ini;

Wallahua'lam.

Refrensi: Soal Jawab Tentang Islam